16. Broken

106 16 0
                                    

Berantakan.

Mungkin itu yang menggambarkan seluruh kondisi Gendhis saat ini. Studio miliknya berantakan, wajahnya kusut berantakan, pikirannya pun berisik berantakan. Ia bagai tengah hidup dalam antah berantah tanpa tujuan.

Sebab ulahnya sendiri yang menghilangkan jalan.

Pintu unitnya yang terbuka menampilkan sosok Kareen yang datang membawa satu plastik berisi makanan. Gadis ayu itu berjalan menuju Gendhis yang hanya terduduk bagai tanpa tenaga di atas sofa. Pandangan kosong itu adalah luka tersendiri bagi Kareen yang tengah menatapnya.

"Hei." Kareen menyingkirkan anak rambut yang berada di dahi Gendhis. "Makan dulu ya, dari pagi lo belum makan."

Gendhis hanya tergugu, menatap Kareen dengan pandangan tidak mengerti. Bagai perintah Kareen adalah sesuatu yang ia butuhkan penjelasannya.

"Makan, Gi. Gue bawain nasi padang langganan kita di depan kampus lo itu. Ya?"

Kareen dengan telaten membukakan kotak nasi yang ia bawa, membersihkan sendok untuk Gendhis, dan juga membukakan satu botol minuman dingin yang ia bawa.

"Reen," Panggil Gendhis pelan.

Kareen menoleh, memasang senyuman termanis yang pernah Gendhis lihat. "Apa? Makan yuk, gue suapin ya?"

Gadis itu kemudian menyendokkan nasi beserta beberapa lauk untuk ia suapi Gendhis.

"Kenapa lo masih baik sama gue?"

Masih terdapat senyuman yang terpatri di bibir Kareen. "Kenapa gue harus jahat sama lo kalo gue bisa baik?"

"Gue jahat sama lo."

Kareen justru tertawa. "Kata siapa? Jahat apanya? Lo habis rampok gue emang?"

"Reen." Sekali lagi Gendhis memanggil gadis itu, ia tidak sedang bercanda. Ia menginginkan jawaban yang serius dan mungkin tulus.

"Karena gue mau, Gi. Karena gue mau tetep temenan sama lo yang bebal banget kalo dikasih tau, karena gue mau tetep punya Gigi gue yang selalu ayo kalo gue ajakain makan mie, karena gue masih mau punya lo yang selalu ngerti kapan gue butuh lo sebagai temen, kakak, ataupun nyokap gue. Karena gue mau. Lo mau jawaban yang gimana lagi?"

Basah sudah pipi memerah Gendhis. Mengalir anak sungai dari sudut matanya. Ia menunduk. Gagal membuka mulut untuk suapan makanan dari Kareen dan justru menangis.

"Gi," Kareen berkaca-kaca. Ia menaruh kembali sendok yang berada di tangannya dan menarik Gendhis ke dalam dekapannya. Membiarkan sahabatnya itu menangis dengan meminjam pundaknya. Tangannya menepuk pelan punggung Gendhis. Mencoba menenangkan.

"Lo tuh ngeyel banget, Gi. Gue kadang kesel banget sama itu. Tapi di lain sisi gue ngerti lo kenapa. Perbaiki semuanya ya? Nggak harus kayak semula, tapi jangan tinggalin semuanya dengan luka, ya?"

Pelan, Gendhis mengangguk dalam dekapan Kareen.


-


Suara derap langkah kaki menggema di lorong sepi rumah sakit. Gendhis berlari, secepatnya ia memacu langkah kakinya menuju ruang ICU yang berada di ujung lorong. Pandangan matanya tertuju ke arah dua orang yang tengah berpelukan di depan ruangan. Itu Maminya dan Renjana.

"Mami." Panggil Gendhis, langkahnya terhenti ketika Renjana menariknya untuk berhenti. "Bapak kenapa?" tanyanya tidak sabaran. Perempuan ayu itu menggeleng pelan seraya mengusap air matanya.

"Bapak baik-baik aja, Nduk." Satu hela napas panjang Gendhis terdengar. "Cuman tadi sempet drop sebentar. Mami cuman kaget."

Gendhis mendudukkan dirinya di atas lantai, berhadapan dengan Maminya. Lega bukan main.

KalopsiaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora