14. Moral

94 14 0
                                    

Elang uring-uringan sejak keluar dari unit milik Renjana. Gendhis sama sekali belum menjawab pesannya sejak semalam. Bahkan membacanya saja tidak. Ia kesal karena dibuat menunggu dalam ketidak pastian.

Tanpa menanti Gendhis membalas pesannya, Elang segera menuju unit milik gadisnya itu. Dalam pikirannya, toh tidak mungkin Gendhis membiarkan Kenan masuk ke dalam unitnya. Bahkan lelaki itu saja tidak tau tepatnya unit milik Gendhis yang berstatus sebagai tunangannya.

Sekali lagi panggilan Elang teralihkan. "Shit. Lo dimana sih, anjir? Bales gue." Makinya pada ponselnya.

Elang sama sekali tidak mengindahkan peringatan Renjana sebelum dirinya meninggalkan unitnya tadi. Bahwa ia harus menanti. Setidaknya hingga Gendhis sendiri yang mengabari. Sayangnya Elang benar-benar tidak suka dibuat khawatir.

Gendhis Ayu menghembuskan napas dengan begitu panjang ketika ia membukakan pintu setelah Kenan meninggalkan unitnya. Ia menatap lelaki di hadapannya itu dengan penuh tanya.

"Lumpuh lo nggak bisa bales pesan gue?"

Gadis itu mendengus. Ia melangkah masuk dengan Elang yang menyusul dan menarik pergelangan tangannya dengan kasar. "Ngapain aja lo sama Kenan?"

Si Cantik menghentikan langkah. Menarik tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman Elang. "Mana janji lo yang bakal dateng dari tadi malem? Sekarang jam berapa, Elang Danurejo? Bullshit, lo."

Elang tersenyum miring. Ia tidak menyukai ketika Gendhis balas mengungkit ucapannya yang tidak berhasil ia tepati karena tiket kereta yang tercepat untuk pulang datang di pukul dua dini hari.

Kepala yang sama-sama terasa panas, amarah yang saling membuncah mulai mewarnai pertemuan mereka di pagi itu. Suasana yang tidak ingin saling terkalahkan menguasai udara di sekitar. Tetapi hal ini adalah hal yang biasa terjadi di antara mereka.

Saling tidak ingin mengalah ataupun terkalahkan. Saling ingin memenangkan egonya masing-masing. Untuk kemudian saling bersatu kembali. Bagai air yang bertemu dengan angin, yang kemudian akan menciptakan sebuah badai hebat sebelum mereda.

Hal-hal yang menarik mereka berdua untuk saling terjatuh selalu di luar nalar. Mereka bertengkar hebat di bawah hujan deras tengah malam untuk kemudian berbaikan.

"Jawab gue, ngapain aja lo sama Kenan?" mata sayu milik Elang itu tidak akan pernah mampu membuat siapa saja berani melawan.

Tapi mungkin hal itu tidak berlaku bagi Gendhis yang semakin mendongak dan mempertemukan mata keduanya. Disusul dengan langkah yang perlahan mundur karena Elang yang mengurung tubuhnya antara di antara lelaki itu dan tembok. "Jawab."

Parfum maskulin milik Elang menusuk penciuman Gendhis dengan tajam. Seperti tengah memperingatkan Gendhis untuk berhati-hati dengan dirinya.

"Gue? Ngapain aja sama Kenan?" sebelah alis Gendhis terangkat. "Apa urusannya sama lo?"

"Answer it, Gi."

"Kalo gue nggak mau?"

Kesabaran Elang benar-benar diuji. Gendhis Ayu dengan segala kepura-puraanya, wajah sok polosnya itu ujian tersendiri bagi Elang. Begitu bibirnya menyapu lembut bibir gadis itu disusul dengan ia beri sebuah gigitan kecil, Gendhis masih enggan menjawab. "Jawab, Gi."

Satu gelengan pelan jawaban Gendhis ketika tangannya dengan mudah terkunci pada satu tangan Elang. "Kenapa gue harus jawab?"

Tatapan mata Elang seolah menegaskan jika gadis itu akan menyesali ucapannya yang tidak menjawab pertanyaannya. Sesuai perkataan Renjana, Elang itu kekanak-kanakan. "You'll regret it."

Kemudian diikuti bibir Elang yang mempertemukan miliknya dengan Gendhis. Terburu. Entah saling mengejar apa. Hingga membuat bibir milik Si Cantik membengkak yang disusul dengan kancing piyamanya yang terbuka.

KalopsiaWhere stories live. Discover now