11. Sedikit membaik

29 11 0
                                    

Setelah Cia pergi, Alaska menghela nafas lega. Untung saja Cia percaya dengan alasan yang ia berikan itu.

Karena tak mau membuang-buang waktu, Alaska segera mengambil beberapa barang untuk dibawa ke rumah sakit.

Tadi sebelum pulang, ia memang sudah bertemu dengan dokter yang menangani Gatha. Katanya, Gatha harus dirawat selama beberapa hari di sini.

Masalah izin ke sekolah, ia pikirkan nanti. Yang terpenting temannya ini sehat dulu seperti semula.

Setelah membereskan semuanya, ia segera meluncur ke rumah sakit. Kasian si Gatha sendirian, apalagi dia jomblo.

Mungkin sebentar lagi status itu akan terganti.

"Woy, bukannya istirahat. Malah asik mabar lo!" Baru saja sampai, Alaska melihat Gatha yang tengah adik memiringkan ponsel itu. Sudah terlihat jelas jika Gatha bermain game.

"Yang sakit kaki gue, bukan tangan!" Alaska hanya memutar bola matanya malas.

"Gue tadi ketemu Cia, dia ke kost-an."

Gatha yang tengah asik memainkan ponsel pun langsung menoleh. "Serius? Terus dia ngapain?"

"Ya tanya lo lah, kenapa chat-nya ga dibales. Yaudah gue bikin alesan kalo lo lagi pergi ke luar kota sama ortu, terus hp nya dicopet."

"Bagus, gue kira lo bakal bocorin keadaan gue," ujar Gatha sembari menyengir lebar. Alaska yang mendengarnya hanya menatap dengan sinis.

"Gue ga sekejam itu ya!"

---

"Gimana keadaan teman saya dok?"

Sekarang Alaska tengah berada di ruang dokter, ia menanyakan keadaan Gatha.

"Dari hasil pemeriksaan, terjadi memar dalam kakinya. Untung saja tidak ada keretakan atau patah tulang, jadi teman adek bisa cepat sembuh."

Alaska bernafas lega, untung saja masih aman temannya itu. "Untuk biayanya, bagaimana ya dok?"

"Masalah biaya, silakan adek ke loket pembayaran." Alaska mengangguk mengerti.

"Oh iya, untuk wali dari adek Gatha ada?"

"A-ada dok, tapi mereka lagi sibuk. Mungkin akan telat datangnya." Alaska menjawab dengan ragu, pasalnya ia tak tau--apakah orang tua Gatha akan ke sini atau tidak.

"Baik, adek bisa kembali ke ruangan temannya."

"Terima kasih dok."

Setelah berbincang sebentar, Alaska langsung menuju ke ruang yang ditempati oleh Gatha.

Dalam langkahnya ia bersyukur, karena Gatha tidak mengalami cedera yang parah. Hanya saja memang harus dirawat selama beberapa hari di sini.

"Tha." Gatha yang tengah berbaring pun langsung menoleh, alisnya ia angkat karena rasa penasaran.

"Ortu lo... dihubungin ga?"

Gatha mengangguk. "Iyaa lah, kalo enggak siapa yang mau bayarin gue?" Seketika Alaska tertawa.

"Bener juga, lo kan ga punya duit ya?" Gatha mendengus kesal.

"Kaya lo punya aja," dengusnya yang membuat sang empu tertawa keras.

"Btw, ini gue izin ke sekolahnya gimana? Lo sakit atau izin?"

"Izin aja, males kalo nanti pada jengukin." Alaska langsung mengangguk mengerti.

"Gue ngeles apa lagi ya ke Cia? Takutnya dia nanya-nanya lagi."

Gatha menghela nafas panjang. "Terserah lo mau ngeles apa, yang penting masih ada sambungannya sama kebohongan kemarin."

"Gue ga mau dia kepikiran, makanya gue sengaja nyembunyiin ini."

"Emang dia mikirin lo?" Seketika bantal yang sempat Gatha tiduri sudah beralih ke muka Alaska.

"Tai lo!"

---

Terhitung sudah tiga jari Gatha dirawat, dan belum ada tanda-tanda jika kedua orangtuanya menjenguk.

Bahkan untuk menghubungi dirinya saja tidak, entah mereka terlalu sibuk atau sudah lupa jika mempunyai seorang anak.

"Gini amat dah nasib gue, punya keluarga tapi kayak ga punya," keluh Gatha merasa bosan.

"Kasian, untung nyokap gue ke sini. Ya setidaknya lo ga ngenes-ngenes amat lah." Gatha mendengus kesal, memang benar sih. Semalam ibunya Alaska menjenguknya.

"Ini ortu gue ga inget anak apa ya?"

"Sebenernya inget Tha, cuma mereka ga sudi punya anak kayak lo. Udah ada tempat tinggal enak-enak, eh malah milih bayar di kost-an."

"Ngaca deck!" Alaska tertawa keras, kalau urusan ini memang keduanya sama. Saling ke luar dari rumah masing-masing, tentunya untuk mendapatkan posisi 'rumah' yang sebenarnya.

Keduanya langsung terdiam tatkala melihat seseorang yang baru saja membuka pintu.

Terlihat ibu Gatha yang membukanya.

"Gimana keadaan kamu nak?" tanyanya sembari mengelus pucuk kepala sang anak.

"Baik ma, kok baru ke sini? Masih inget punya anak?" Sindiran itu hanya dibalas senyuman oleh sang ibu, ia memang baru saja menjenguk karena dari kemarin sibuk untuk bekerja.

"Maaf ya, mama sibuk banget dari kemarin. Ini aja mama sengaja pulang lebih awal biar bisa jenguk kamu." Gatha mengangguk mengerti.

"Sendirian?"

"Kaya ga tau papa kamu aja Tha." Seketika tawa sumbang itu menggelegar.

"Oh iya, kamu belum makan kan? Nih mama bawa makanan." Sang ibu sengaja mengalihkan pembicaraan, agar suasana disekitarnya tidak canggung.

"Alaska juga ikut makan ya, tante bawa banyak kok."

"Iyaa tante, terima kasih."

"Tha, kata dokter berapa lama lagi di sini?" Gatha yang tengah fokus ke makanannya pun langsung mengalihkan atensinya.

"Kurang tau sih ma, mungkin sebentar lagi."

"Jaga diri baik-baik ya, mama ga selalu mantau kamu. Apalagi sekarang kamu sudah tidak tinggal di rumah lagi." Mendengar itu membuat hati Gatha terenyuh, apalagi nada yang penuh kesedihan itu.

"Iyaa ma, Gatha akan selalu ingat nasihat itu."

Akhirnya Gatha memilih menghabiskan makanannya, membahas masalah yang berkaitan dengan keluarga memang sangat sensitif baginya.

𝐋𝐨𝐧𝐞𝐥𝐲 ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora