13. Ucapan maaf

35 11 0
                                    

Sinar bulan yang biasanya menyinari gelapnya malam kini nampak redup, bahkan keindahannya tertutup oleh tebalnya awan yang cukup hitam.

Angin yang berhembus kencang cukup membuat bulu kuduk merinding, membuat siapa saja enggan untuk berlama-lama di dalam kedinginan.

Tapi salah satu remaja ini sengaja untuk mendinginkan diri, bahkan angin yang sepoi-sepoi itu tak mengindahkan dirinya untuk beranjak.

Sejenak ia menatap langit, mengumpulkan beberapa memori yang baru saja terjadi.

Dari dirinya yang baru saja keluar dari rumah sakit, rencana yang sudah tersusun tetapi gagal begitu saja, dan sebuah penolakan yang bahkan masih terasa abu-abu.

Ia menghela nafas, memikirkan semua hal yang cukup menguras energi.

Apakah sikapnya salah?

Ia menghela nafas sekali lagi, terlihat jelas jika hal itu membuatnya frustasi.

"Daripada lo ngelamun ga jelas kek gini, mending sekarang ke rumah Cia buat tau jawabannya."

Ucapan itu terdengar seperti sebuah jawaban dari semua teka-teki yang ada di kepalanya.

Akhirnya dengan tekad yang kuat, ia bergegas pergi untuk mencari jawaban yang lain.

"Gue pergi ya Ka!"

Setelah mengucapkan itu, ia segera menjalankan motornya dengan kecepatan rata-rata.

Untung saja jalanan sedikit lenggang, jadi dengan membawa motor yang cukup kencang tidak membuat kegaduhan di jalanan.

Setelah beberapa menit membawa kendaraan itu, Gatha segera turun untuk menemui seseorang. Siapa lagi kalau bukan Cia.

Tok tok tok

"Cia," panggilnya sembari mengetuk pintu. Dilihat dari keadaan rumah seperti tak berpenghuni.

"Ini ada orangnya ga sih?"

Gatha mencoba lagi, bahkan ia sampai mengintip ke arah jendela.

Kosong dan gelap.

Ah, mungkin penghuninya sedang bepergian.

"Gue tempel note aja deh, siapa tau Cia lagi di rumah temennya," monolognya seperti itu.

Setelahnya ia bergegas pergi, tetapi sebelum itu matanya memandang lama rumah tersebut.

"Baik-baik ya Cia, kalo lagi pergi jangan lupa kabarin pas sampe rumah."

---

Salah satu remaja memandang langit-langit kamar dengan sendu, pipinya sudah basah dengan air mata yang sedari tadi tak henti-hentinya untuk mengalir.

Hatinya terasa sesak, mengingat sebuah kenyataan yang menimpa dirinya.

Kini dirinya bimbang, tak tau lagi mau bersikap seperti apa.

Yang hanya bisa ia lakukan sekarang adalah... menangis dalam diam. Seolah-olah tak ada hari lagi untuk dirinya menangis.

Tak ada sebuah jeritan untuk menuntaskan sebuah emosi, ia hanya memilih diam. Bersamaan dengan rasa sesak yang menyeruak dalam dada.

Ia berharap, semoga esok hari... dirinya bisa kembali ceria. Mengesampingkan sebuah rasa sesak yang sekarang tengah dirasa.

---

"Gatha, bisa kita ketemu sore ini?"

Gatha yang sedari tadi melamun sedikit terkejut dengan suara notifikasi yang berasal dari ponselnya.

Ketika melihat siapa yang mengirim pesan, ia tersenyum lebar.

Ini yang ia tunggu-tunggu sedari tadi.

Setelah membaca pesan tersebut, Gatha segera membalas. Ia mengiyakan ajakan tersebut, tak lupa mengetikkan sebuah tempat yang akan mereka jumpai.

Gatha senang, setidaknya Cia ada kabar hari ini. Walaupun ia sempat khawatir dengan keberadaan Cia semalam.

Beberapa jam berlalu, kini Gatha sudah bergegas untuk pergi ke sebuah cafe tempat di mana ia dan Cia akan bertemu.

"Gue pergi ya Ka!"

"Jangan lupa pesenan gue Tha!"

Mendengar itu Gatha hanya mengacungkan jempolnya, ia segera menjalankan motor miliknya dengan kecepatan kencang. Takutnya gadisnya menunggu.

Setelah sampai di tempat, terlihat seorang remaja yang ia kenali. Setelah diamati lebih dalam, ternyata itu adalah Cia.

"Hai, udah lama?" tanyanya sedikit berbasa-basi, Cia yang sempat terkejut pun langsung tersenyum mengangguk.

"Lumayan."

Raut wajah Gatha merasa bersalah, Cia yang sadar pun langsung terkekeh pelan. "Santai aja Tha," katanya santai.

"Maaf ya udah nunggu lama." Cia hanya tersenyum sembari mengangguk.

"Kamu tadi malam ke rumah ya?" tanya Cia yang membuat Gatha langsung mengangguk.

"Iyaa, kamu darimana?"

"Aku ke rumah nenek, makanya rumah sepi," ucapnya sedikit berbohong.

Gatha percaya-percaya saja, setelah ucapan itu mereka terdiam sejenak.

"Cia, aku minta maaf buat kemarin. Mungkin terlalu tiba-tiba untuk kamu, makanya kamu kaget gitu aja."

Cia menggeleng pelan. "Harusnya aku yang minta maaf Tha, aku udah lancang banget ninggalin kamu di tengah-tengah kerumunan. Pasti kamu malu ya?"

Gatha tersenyum maklum. "Aku justru khawatir sama kamu, takutnya kamu tersinggung sama ucapan aku kemarin."

"Aku enggak tersinggung sama sekali Tha, aku cuma ga nyangka aja kalo kamu bakal ngomong gitu sama aku." Cia menghela nafas terlebih dahulu. "Maaf, aku belum memikirkan sebuah jawaban dari pernyataan kamu kemarin. Menurut aku... itu terlalu tiba-tiba. Jadi... boleh aku pikirin lebih dulu?"

Gatha mengangguk. "Ga masalah kalo kamu pikir-pikir dulu, aku juga ga bakal maksa kok. Yang penting kamu merasa nyaman dengan itu semua."

"Makasih ya Tha, udah ngertiin aku." Gatha mengangguk pelan, tangannya mengusap lembut kepala Cia dengan sayang.

"Kamu pesen makanan gih, nanti biar aku yang bayar."

Cia meringis pelan, ia merasa tak enak hati ini. "Maaf Gatha, aku harus cepet-cepet pulang. Kerjaan aku masih numpuk di rumah."

Seketika Gatha terkekeh. "Lupa lagi ya sama tugas sekolah?" Cia hanya mengangguk lesu.

"Gapapa, besok masih bisa ketemu di sekolah. Yuk aku anterin!"

Gatha mengambil telapak tangan Cia untuk ia genggam, setelahnya langkah kaki itu berjalan menuju sebuah motor yang menemani Gatha selama ini.

"Silakan naik tuan putri." Cia tersenyum malu, setelahnya ia naik ke motor dengan bantuan bahu Gatha.

"Sudah siap pangeran." Gatha tertawa, ia segera melajukan motor itu dengan pelan. Takut sang tuan putri kenapa-kenapa.


𝐋𝐨𝐧𝐞𝐥𝐲 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang