3. lembayung (Revisi)

50 44 4
                                    

Pak supri kemudian mengajar seperti biasa. Seperti biasa, Dhio tidak menyukai pelajarannya entah karena gurunya atau karena dirinya yang memang tidak ingin belajar mengenai alam. Dhio selalu gundah di setiap pelajaran geografi. Rasa jenuh pun selalu membuat otaknya perlahan mati rasa.

Saat bel istirahat menggema, Dhio menagih janji Samudra yang akan mentraktirnya bakso kacang kesukaan Samudra.

Dhio menarik tangan Samudra dari mejanya dan membawanya ke kantin serta menyembunyikan senyumannya yang terpaksa untuk menutupi rasa laparnya.

Dengan langkah cepat dan jalan yang pasrah, Samudra akhirnya memilih untuk menepati janjinya.

"Buk, bakso kacang 2 mangkok," teriak Samudra pada ibu kantin. Mereka kemudian memilih bangku paling pojok.

Dari kejauhan, Dhio melihat Davina yang sedang berusaha untuk berjalan keluar dari koridor entah kemana.

"Jagain bakso gue." dia langsung berlari menghampiri Davina.

"Gue boleh nolongin lo?" kedua tangan kanan Dhio menyentuh pundak Davina.

Davina menatap ke arah Dhio sejenak. Ia memperhatikan pupil matanya yang melebar ketika berada di dekatnya.

Mereka berdua berjalan di sepanjang koridor sekolah yang ramai karena memang pada saat itu jam istirahat. Perut Dhio yang sudah keroncongan terpaksa harus ia korbankan demi menolong Davina.

Daripada gue dapat mimpi buruk seumur hidup.
Lirihnya dalam hati dengan menarik nafasnya dalam-dalam.

Davina menuntun langkahnya dan Dhio sampai tiba di depan perpustakaan yang sunyi. Memang sekolah itu sangat sedikit minat bacanya.

"Lo gapapa disini?" tanya Dhio di depan pintu perpustakaan saat Davina sudah memasuki perpustakaan.

"Gapapa, makasih ya udah mau nolongin gue," ketus Davina

"TELEPON GUE KALO BUTUH SESUATU." Dhio berlari dari muka pintu kembali ke kantin.

Sial. Cewe itu berhasil ngeracuni pikiran gue
Dhio memilih bodo amat dan melahap bakso kacang yang sudah mulai mendingin.

Bel masuk kemudian berbunyi, setelah 5 menit mengintip Davina didepan ruang kepala sekolah, ia masih tidak mendapati dirinya keluar dari perpustakaan. Dhio terus mematung disana sembari nyerocos pada orang lain yang menganggap dirinya aneh.

Dhio kemudian memutuskan untuk kembali ke perpustakaan. Bukan karena dia peduli, namun ia khawatir nama baik ibunya akan dipandang buruk oleh orang lain.

Di perpustakaan, Vina sibuk memilah novel yang akan ia baca untuk referensinya menulis. Ia tidak sadar bel sudah bergema di sekolah itu dari tadi.

Tiba-tiba seseorang menarik tangan Vina darisana.

"Lo ga denger? tuli lo ya?!!" bentak Dhio.

"Kenapa?" Vina secara tiba-tiba berbalik menghadap kearah Dhio.

"Udah bel masuk. Makanya gausah keasikan lo disini," pinta Dhio.

"Gue bisa sendiri. Mau dihukum guru juga biarin. Lo duluan aja." Vina kembali memilih novel.

Keras kepala banget nih anak.
Dhio dengan kesal memutuskan untuk pergi dari sana. Ia berlari kembali menelusuri koridor agar tidak telat masuk kelas padahal ia sudah telat sedari tadi.

Memasuki ruang kelasnya, Dhio mendengus di samping sahabatnya tersebut. Dhio terlihat lunglai dan ekspresi wajahnya mengeras berharap sahabatnya peka.

"Lo gapapa?" tanya Dhio.

Laut dan RahasianyaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz