24. angin tahu kemana ia akan berhembus

9 1 0
                                    

"Kenangan yang lo buat itu gabakal bisa dilupain sama orang lain, El." Aaron meneteskan air matanya sendu seraya mencengkram erat selimut yang terselubung membaluti tiap tubuh Samuel.

Tak lama, monitor ICU yang berada tepat di depan Aaron berbunyi kencang. Tubuh Samuel tersendat layaknya ada sesuatu yang akan terjadi. Aaron melepaskan seruannya yang keras lalu berlari dengan buru-buru, berusaha mencari dokter atau siapapun yang dapat menolong dirinya.

"DOKTER, SUSTER, ATAU SIAPAPUN. TOLONGIN BUNG WOI!"

Seorang wanita berperawakan tinggi dengan baju serba putih tiba-tiba menghampiri dirinya. Aaron segera berlari menuju ruang Samuel dirawat. Sialnya, laki-laki itu tidak diperbolehkan untuk memasuki ruangan rawat inap tersebut. Dari balik kaca bening, Aaron hanya memandangi Samuel yang kini tengah berbaring lemah disana.

Aaron tak kuasa jika harus menahan tangisnya lebih lama lagi. Semakin ia mengingat masa lalunya, semakin air mata itu ingin tumpah menemui kalbunya.

"Lo bego, bung. Kalau aja lo bangun, abis lo gue pukuli," pekik Aaron seraya memukuli kaca bening yang menjadi media dirinya melihat Samuel yang tengah di rawat didalam.

****

Davina baru saja terbangun dari tidurnya. Ia meraba-raba sekitar kasurnya berharap ia akan menemukan sesuatu. Ia mendapatkan handphone nya yang berada tepat di samping kepalanya.

Kalau begini, gue bakalan kena radiasi terus ga sih? Lirihnya dalam hati.

Davina melihat tulisan jam yang tertera disana dan mendapati angka sudah menunjukkan pukul 10.20 WIB. Belum sempat mencerna apa yang terjadi, ia meregangkan otot tubuhnya agar mencapai klimaks nya.

"HAH? PUKUL 10?" teriak Vina tak percaya bahwa dirinya akan terjaga dari tidurnya sesiang itu. Ia membuka kembali handphonenya dan berusaha mencerna apa yanh sebenarnya terjadi.

Di sela-sela matanya mencari kenyataan, sebuah pesan dari Samuel menarik perhatiannya. Ia memilih untuk membalasnya nanti karena Davina berpikir Samuel ingin mengajaknya kencan. Davina mematikan ponselnya lalu mendekapnya di kedua dadanya dan tersenyum seraya memejamkan matanya.

****

"Beliau telah sadar. Mungkin ini akan sedikit menyakitkan bagi beliau untuk itu, beliau perlu sedikit istirahat selama beberapa hari." Laki-laki berpostur tegap dengan jas putih panjang keluar dari ruang IGD dan berjalan menghampiri Aaron.

Aaron tersenyum simpul. Dengan langkah cepat, ia berlari ke arah Samuel.

"Bego!"

Samuel tersenyum kecil, "Kenapa sih? Baru aja gue sadar." Samuel kemudian mengatur posisi duduknya sesuai standar kenyamanan dirinya.

"Ini tamparan kasih sayang dari gue. Gausah berpura-pura sempurna, gue benci orang munafik. Kenapa lo nyembunyiin rahasia dan luka ini sendirian, El?" Aaron terlihat histeris dengan raut wajahnya yang berusaha menahan sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia jatuhkan. Bibirnya bergetar mengeluarkan kata-kata yang selama ini ia tahan.

Samuel membalas bentakan itu dengan senyuman. Ia memalingkan wajahnya sejenak dari pandangan Aaron. Bukan karena Aaron jelek, tapi karena dirinya butuh ketenangan sejenak untuk berpikir. Ia mengehela nafasnya dalam-dalam seolah ditimpa oleh seribu masalah dalam seketika waktu. "Sorry, gara-gara gue jadi begini. Tapi, gue percaya kalau dunia itu ga selamanya memalingkan wajahnya dari gue. Gue percaya suatu hari Tuhan bakalan kasih gue kebahagiaan yang selama ini gue cari. Gue beruntung, gue bersyukur punya kalian, Bramsel, yang selama ini ada di sisi gue." Samuel menahan air matanya yang hendak bercucuran membasahi pipinya. Terdengar suara katup bibirnya yang bergetar memecah keheningan ruangan kala itu. "Gue gatau mau bilang apa lagi." Puncak tangis air mata Samuel kemudian membludak. Ia mengusap air matanya sambil tersenyum, tidak ingin mengkhawatirkan Aaron yang masih berdiri disana.

Aaron ingin memanaskan emosinya dengan seketika namun ia tidak kuat jika harus disuruh mengingat kondisi Samuel. Ia hanya bisa menahan ekspresi wajah marahnya. Karena bagaimanapun Samuel menutupi semuanya, hal itu tetaplah salah.

***

Davina baru saja selesai membersihkan dirinya setelah waktu tidur malamnya yang panjang. Saat ia tengah menyisir gelombang rambut yang baru saja ia basuh, dering telepon handphone Davina berbunyi. Sejenak ia ingin mengabaikan dering telepon tersebut namun tampaknya si penelepon mendesak Davina untuk segera mengangkatnya.

Davina kemudian mendekat ke arah handphone nya dan mendapati ada banyak sekali dering telepon yang ia lewatkan sampai-sampai kontak tersebut berubah menjadi nomor spam.

Setelah membuka teleponnya, ekspresinya berubah menjadi tumpul. Nama kontak yang hampir membuatnya tidak percaya adalah "Dhio Mahendra" lelaki yang seharunya tidak pernah peduli pada dirinya. Namun, pada hari ini melewatkan lebih dari beberapa dering telepon.

Davina kemudian menjawab telepon yang telah ia lewatkan dari tadi. "Halo." Suara sayu Davina berusaha untuk membuka percakapan di antara kedua mereka. "Vin, gue kerumah lo sekarang," sela Dhio. Suara yang tampak samar tersebut sukses membuat Davina terkejut.

"Ada acara apa dateng kerumah gue, Dra?" tanya Vina dengan suara yang lembut. Ia berusaha untuk tetap tenang meskipun perkataan Dhio barusan menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya.

"Samuel dirawat di rumah sakit. Lo gamau jengukin dia?" tanya Dhio kepada gadis tunarungu tersebut.

Mata Davina terbelalak tidak percaya. Handphone yang ia genggam erat-erat di dekat daun telinganya kini terjatuh. Bibirya bergetar dan matanya berkaca-kaca.

"Halo!" Dhio berusaha menyadarkan Davina melalui suara telepon tersebut.

Davina kemudian sadar dan berusaha meraih handphonenya. "Iya, gue disini. Lo mau pergi jam berapa, Dra?" tanya Davina seraya menahan air matanya untuk tidak tumpah terlebih dahulu sampai Dhio mematikan teleponnya.

"Sekarang, gue otw, ya!" Ucap Dhio dengan antusias. Kemudian, laki-laki itu mematikan telepon diantara kedua mereka.

Disaat itulah air mata yang telah ia bungkam pecah. Ia menangis sejadi-jadinya. Air mata terus membasuhi pipinya. Davina terkulai lemas di atas kasurnya dan berusaha mengusap air matanya yang telah jatuh membasahi pipinya, bahkan kasurnya. Davina menunduk merasa banyak penyesalan dalam dirinya yang seharusnya tidak ia lakukan.

Laut dan RahasianyaWhere stories live. Discover now