23. post traumatic stress disorder

18 16 0
                                    


Matahari mengintip malu-malu dari Jakarta dibalik gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Hari yang cerah nan sejuk ini adalah hari minggu. Hari yang dimana harusnya setiap orang menikmati liburan bersama keluarga atau teman. Namun, hari itu Samuel wajib melakukan drainase.

Samuel mengernyit sebal. Ia memicingkan matanya diiringi dengan alisnya yang tersentak secara bersamaan. Dahinya mengerut pertanda bahwa Aaron harus datang secepat mungkin. Samuel bolak-balik memutar bola matanya ke arloji yang menempel di tangan kanannya. Sudah hampir satu jam ia menunggu di depan markas Bramsel.

"Kalo ga karena temen aja udah gue banting tuh bocah," kesal Samuel yang sedari tadi mengoceh tidak jelas.

Tak lama, laki-laki berpostur tegap dengan rambut cepak keluar dari markas Bramsel. "Skui." laki-laki itu dengan santainya melangkahkan kakinya menuju mobil Samuel. Samuel kemudian berdiri dan matanya berkeliling mencari barang yang bisa ia lemparkan ke kepala Aaron.

"Ck, sebenarnya yang sakit lo atau gue sih. Kenapa gue yang jadi nungguin lo?" sentak Samuel yang kesabarannya sudah menipis bahkan lebih tipis dari tisu.

Aaron tersenyum kecil. Ia memicingkan matanya dan memperlihatkan tatanan giginya. Samuel masih menunjukkan ekspresi sebalnya dan kemudian ia berjalan melewati Aaron dan masuk ke dalam mobil.

***

"Gue pengen ngomong serius." Aaron membuka percakapan di antara kedua mereka. Ia memutar bola matanya ke arah Samuel.

Samuel kemudian mengerutkan keningnya. Ia menyipitkan kantung matanya dan menatap intens lelaki yang berada di depannya. Semoga kali ini nih bocah ga ngelunjak, batin Samuel. Samuel tanpa mengatakan sepatah kata apapun membiarkan Aaron mengungkapkan isi hatinya.

"Jadi gini---" Aaron menghela nafas panjang lalu mendengus. "Gue cuma minta satu, lo jangan pernah nyerah, oke? Buat gue, cewe itu dan buat Bramsel. Apapun yang terjadi lo harus semangat," sambung Aaron yang kemudian ia menepukkan bahu sebelah kanan Samuel.

Samuel memalingkan bola matanya ke arah langit-langit. Ia terbungkam dalam sejenak. Biasanya, pria itu adalah seorang pecicilan yang tidak bisa tenang terutama di depan temannya. Namun, jika sudah seperti ini Samuel enggan untuk bermain-main.

Samuel kemudian menghela nafasnya lalu mendengus. Sampai akhirnya ia tersenyum kecil pada Aaron. "Dah kui, lagian gue bukan cowo lemah kali." Samuel melangkahkan kakinya menuju ertiga putih yang terparkir di depan mereka. Aaron membuntut dari belakang seraya mendecak sebal.

***

Mereka akhirnya tiba di halaman rumah sakit yang tengah menyambut Samuel dan Aaron. Samuel sejenak memandangi sehamparan koridor rumah sakit dari balik jendela mobilnya. Ia kemudian tersenyum kecil menatap langit-langit. Aaron menuruni mobil Samuel dan menunggu pria itu selesai berhalusinasi.

"Woi," teriak Aaron yang sukses membuat Samuel melepaskan imajinasinya. Ia lupa bahwa pria yang ia sebut temannya itu tengah menunggunya sedari tadi. Ia tertawa kecil lalu dengan langkah pelan keluar dari mobilnya sendiri.

"Di tempat ini lagi." Samuel melangkahkan kakinya memasuki koridor rumah sakit. Semerbak wangi herbal obat-obatan yang ia benci memenuhi hidungnya. Aaron mengikuti dari belakang Samuel.

***

"Atas nama Samuel Wijaya Dewantara," teriakan suara perempuan menggema. Samuel kemudian bangkit berdiri dan mengacungkan telapak tangan kanannya pada Aaron sebagai isyarat agar pria itu mau menunggunya disana selagi ia melakukan pengecekan. Samuel mengikuti perempuan dengan dress putih dari belakang menuju ruangan dokter.

"Saya sarankan kamu untuk berhenti menghisap rokok. Saya merasa paru-paru kamu sudah semakin gawat," ucap seorang pria paruh baya yang duduk tepat di depan Samuel.

Samuel membelalak. Bagaimana bisa dokter itu tahu bahwa dirinya menghisap rokok? Ia bahkan belum melakukan pengecekan hari ini. "Maksudnya dok?" tanya Samuel dengan mata yang berbinar seakan penuh tanya.

Dokter tersebut menghela nafasnya panjang. Ia kemudian memicingkan matanya lalu berdiri. "Saya lupa bilang kamu kemarin. Jadi, silahkan duduk," perintah sang dokter dengan menunjuk ke arah tempat duduk yang berada tepat di depannya.

Pikun banget gue ya Tuhan. Gue lupa kalo kemaren gue hampir mati aduhh malu banget kalo begini. Batin Samuel dalam hatinya.

Setelah berbincang cukup lama mengenai masalah paru-parunya, akhirnya Samuel melakukan drainase pada parunya. Operasi saat itu dimulai. Aaron sedari tadi mondar-mandir di depan ruang operasi.

Selang demi selang berhasil masuk ke dalam dada Samuel. Sayatan yang telah terbuka untuk memasukkan tabung dada dijahit kembali setelah sebelumnya telah di perban steril agar tidak mudah lepas.

"Pasien memasuki kanker paru-paru kronis, tabung ini akan ada disana dalam jangka waktu yang cukup lama," ucap salah seorang dokter pada rekan dokternya yang lain. Setelah pembedahan tersebut selesai, Samuel kemudian dibawa ke ruang rawat inap mengingat biusnya yang belum selesai.

Aaron diperbolehkan memasuki ruang kamar tidur Samuel. Ia tak kuasa menahan air mata yang ingin tumpah membasahi pipinya. Melihat laki-laki itu menahan semuanya sendiri membuat Aaron terus memukuli dadanya.

"Andai dari dulu gue bisa buat lo bahagia, mungkin ga bakalan kayak begini, El."

Aaron memandangi ventilator yang melekat pada hidung Samuel. "Bukan orang lain yang butuh bahagia, diri lo juga," titah Aaron dengan air mata yang menetes membasahi pipi serta selimut rumah sakit yang dikenakan Samuel. Aaron membuka handphone milik Samuel yang sedari tadi ia pegang lalu mengambil foto Samuel yang tengah terbaring lemah. Ia kemudian mengirimnya ke group chat Bramsel dan kepada seorang wanita, Davina.

Laut dan RahasianyaWhere stories live. Discover now