20. senja

19 14 0
                                    

Bel pulang sekolah berdengung. Seperti runtititas biasanya, Davina mengemas buku-buku miliknya ke dalam tas. Lagi dan lagi Dhio mendekati Davina.

Kenapa gue hari ini?
Lirih Dhio dalam hati seolah dia berubah menjadi pria gila cinta. Dia melangkahkan kakinya ke meja Davina namun hatinya melarang. Perasaannya menahan dirinya. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja seraya memandangi Davina.

Secara mendadak, Clarissa memegang tangan Dhio. Ia hendak menariknya dari sana tapi ia merasa jengkel melihat Dhio yang sedari tadi memandangi Davina. Clarissa ikut menatap tajam secara intens ke arah Davina.

"Dhi, lo ga pulang?" tanya Clarissa pada Dhio dengan suara yang menggerutu.

"Ngapa sih lo. Balik duluan aja, bikin mood orang rusak aja," bentak Dhio memalingkan wajahnya dari Clarissa dan kembali ke meja duduknya.

Dhio membatalkan niatnya untuk menghampiri gadis tersebut. Clarissa mengepalkan tangannya dan wajahnya memerah. Dia mengikuti jalan Dhio dan merengek seperti anak kecil.

"Dhi gue lebih sempurna dari tu cewe." Clarissa memegang tangan kanan Dhio.

Dhio berdiri dengan muak. Ia memalingkan wajahnya dan berjalan dengan cepat menuju keluar kelas. Clarissa semakin jengkel.

"Yahaha makanya jadi cewe jangan kegatelan,"cibir Samudra yang mengikuti Dhio dari belakang.

Clarissa semakin jengkel dan dia langsung pergi dari sana.

****

Samuel menunggu Vina di parkiran sekolahnya berharap gadis tersebut ingin pulang dengannya. Ia melekatkan tubuhnya ke mobil belakangnya seraya menyipitkan matanya untuk mencari keberadaan gadis tersebut. Sudah hampir satu jam ia disana, namun tetap saja gadis itu tidak kunjung melewati jalan tersebut.

Berfikir bahwa Vina sudah meninggalkan sekolah, Samuel memutuskan untuk pulang dibandingkan berdiri disana tanpa tujuan yang jelas.

Samuel mengemudikan mobilnya dan keluar dari gerbang sekolah. Matanya tak sengaja menangkap sosok Vina yang tengah berdiri di lapangan sekolah seperti sedang menunggu sesuatu. Dia menghampiri Vina dengan segera namun ia memasuki mobil avanza putih.

Samuel merasa jengkel dan memukulkan setir mobilnya dengan keras. Ia memutar bola matanya berusaha untuk membuang pandangan yang tidak sedap dipandang.

***

Dhio dan Davina pulang bersama. Kali ini, Dhio merasa canggung berdua dengan gadis tersebut. Ia ingin mengajak Davina untuk makan siang bersama namun segan kalau gadis itu menolaknya.

"Lo mau ga makan siang bareng gue?" tanya Dhio tanpa melirik ke arah Davina.

Davina melirik Dhio dengan mengerutkan dahinya. Matanya menyipit masih meragukan ajakan pria tersebut. Ia kemudian menghela nafasnya perlahan lalu tertawa kecil.

"Mau. Asal yang bayari Dhio," ketusnya tertawa kecil.

Dhio melirik kecil Davina dengan senyumannya yang indah. Ia seketika tersipu dan menghindari kontak mata antara dirinya dengan Davina. Mulutnya melengkung membentuk senyuman.

"Boleh asal lo mau," jawab Dhio dengan singkat.

Davina membelalak tak percaya bahwa pria itu akan mempercayai kata-katanya. Ia kemudian tersipu. Baginya dunia ini adalah panggung sandiwara tak semudah itu untuknya percaya.

"Yaudah mau langsung?" tanya Davina.

Dhio mengangguk pelan dengan wajahnya yang masih menegang. Kemudian mereka memilih makan siang disebuah rumah makan sederhana.

***

Selesai memilih menu, keheningan diantara keduanya tidak bisa dihindari. Davina fokus dengan novelnya sedangkan Dhio tidak tahu harus berkata apa. Dirinya seketika menjadi seorang bayi saat berada di hadapan Davina.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo. Tapi sulit rasanya bibir gue buat ngomong," ungkap Dhio.

Bola matanya piknik kesana kemari karena merasa ragu dengan keputusannya. Davina hanya memandangnya seraya menaikkan kedua alisnya. Hatinya berdegup seakan ingin copot dari sarangnya.

Ya Tuhan, tolong hambamu ini.
Rapal Dhio dalam hatinya.

"Ngomong apa?" tanya Davina.

Secara spontan, Dhio berdiri dan menghentakkan meja, "Lo mau ga jadi pacar gue?!" Dhio menenggelamkan wajahnya jauh dari pandangan Davina. Ia kemudian mendengus dengan cepat seakan baru berlari sejauh 10 kilometer padahal ia hanya mengatakan beberapa kalimat.

Kemana Dhio Mahendra yang tidak tahu malu itu ya Tuhann.
Dia kembali duduk dan memejamkan matanya. Dia tersipu, wajahnya memerah seakan tidak percaya ia baru saja melontarkan kalimat yang akan ia sesali.

Davina tersenyum simpul dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Dhio. Ia berfikir bahwa pria itu hanya bercanda pada dirinya. Sandiwara dunia harus ia hindari demi kelangsungan hidupnya.

"Jadi, apa jawaban lo?" setelah beberapa menit mengontrol dirinya akhirnya Dhio membuka percakapan kembali.

Mata Davina melebar seolah ia tidak percaya bahwa yang tadi adalah serius dan bukan bercandaan seorang Dhio. Ia perlu waktu untuk berfikir jernih demi menjawab pertanyaan Dhio.

"Anu ... tapi kan ... Clarissa ..." Bibirnya bergetar tak henti ingin mencari alasan.

"Ngapa Clarissa?"

"Dia kan suka sama Dhio," jawab Davina dengan wajah datar.

"Tapi gue gak suka ma dia," ungkap Dhio. "Gue cuma mau tau jawaban lo," sambungnya.

Davina menautkan alisnya. Tangannya mengikat satu sama lain. Badannya gemetar untuk menjawab pertanyaan dari Dhio.

"Memangnya Dhio ga jijik ngeliat Vina?" tanya Davina.

Dhio mengerutkan keningnya, "Jijik karena apa?"

Davina menunduk kebawah membiarkan rambutnya menutupi wajahnya. Ia membeku dingin seperti es. Kemudian ia menjawab, "M...mau," jawabnya.

Kedua mereka saling tersipu. Davina masih membenamkan wajahnya sedangkan Dhio membuat matanya piknik kemana-mana asal tidak memandang Davina. Ia kemudian mengelus kepalanya, "Sekarang lo milik gue," ungkapnya.

Kemudian pelayan datang mengantarkan makanan mereka. Mereka menghabiskan waktu disana sampai senja datang. Percakapan mereka didominasi oleh candaan Dhio dan ditimpali oleh senyum kecil Davina. Lalu mereka pulang kembali ketika matahari sudah terbenam.

Laut dan RahasianyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang