4. Dhio dan deritanya

60 43 5
                                    

Dhio pulang kerumahnya dengan keadaan batin seperti disayat oleh seribu pisau yang menancap tepat di dadanya. Dia memaut surat dokter tersebut dengan tangannya dan hatinya meronta-ronta ingin sekali meninju siapa pun yang sedang lewat di depannya.

Dhio merasa risau hati saat melihat mamanya yang terlihat mengolah panganan untuk keluarganya kala itu.

"Mah, Dhio pulang," gumam Dhio seperti tidak bertenaga.

Mama menyambut anak semata wayang nya tersebut dengan sisipan senyum di bibirnya.

"Anak mama udah pulang." seperti biasa mama akan mengecup kening putra kesayangannya tersebut.

"Mana Samuel?" tanya mama mencari keberadaan anak sulungnya tersebut.

Dhio yang sudah pusing sedari tadi tidak menjawab perkataan mamanya. Ia menggelengkan kepalanya seraya pergi dari sana menuju kamarnya.

Samuel Wijaya adalah abang Dhio. Samuel duduk di bangku kelas 12 namun mereka tidak terlihat seperti kakak adik. Samuel memiliki tinggi 180cm lebih pendek 5cm dari Dhio. Samuel anggota geng motor yang kerap menganggu siswa/i disekolah mereka. Samuel berbeda jauh dari Dhio yang penurut sehingga wajar saja mamanya tidak menyukai Samuel. Tidak menyukai bukan berarti wanita paruh baya tersebut tidak peduli dengan anak sulungnya tersebut.

Dhio meminum obat untuk menghilangkan rasa sakitnya yang kini hampir membunuhnya. Kemudian, ia tertidur pulas dari sore itu hingga besok pagi.

Paginya, mamanya merasa ada yang tidak beres dengan anaknya.

"Dhio, kamu gapapa? kamu sakit nak?" tanya mama cemas.

"Gapapa, mah. Dhio cuma kecapean aja semalem." sahut Dhio dari balik gulingnya yang sukar untuk ia lepaskan.

Mama tak percaya dengan respon Dhio. Namun, bagaimanapun ia merasa bahwa Dhio sudah dewasa yang tak perlu lagi ia jadikan seperti anak sd.

"Nanti kalo butuh sesuatu atau kamu mau dijemput dari sekolah chat mama yah," pinta mama seraya keluar dari kamar Dhio.

Dhio mengangguk pelan dan melihat arlojinya yang masih pukul 6 pagi. Mau tak mau ia pun bangkit dari kasurnya yang empuk. Dia harus bergegas lebih awal ke sekolah karena ingin menghindari macet di Jakarta.

Dhio kemudian berpamitan pada mamanya. Tak lama kemudian, dering notifikasi meruyup dari hpnya. Ia pun membuka pesan dari hpnya tersebut.

Macet di Jakarta sudah tidak dapat dipungkiri lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Macet di Jakarta sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Hal itu sudah menjadi lumrah di mata masyarakat Jakarta. Terlebih Dhio harus berbelok lagi mencari rumah wanita yang ia benci.

Perasaan gundahnya mulai menghantui Dhio. Dia seakan menyesali hidupnya yang sekarang berlabuh entah kemana. Sementara ia membuang kertas dokter tersebut entah kemana untuk sejenak melupakan deritanya.

Setibanya di rumah Vina, ia tidak turun membantu gadis itu. Membiarkannya mandiri tidak akan membuat gadis itu mati.

Toh bukan siapa-siapa. Kenapa gue sepeduli ini ya?
Ungkapnya dalam hati.

Laut dan RahasianyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang