10

37 7 0
                                    

10

"Merindukanku?"

Shaidan bergerak maju, dengan langkah marah. "Pertemuan kita seharusnya masih dua puluh hari lagi!" Shaidan mencengkeram erat kerah baju lawan bicaranya. Meski badan laki-laki di hadapannya lebih besar, Shaidan tak merasa gentar. Ditariknya kuat-kuat hingga wajah laki-laki itu tepat berada di hadapannya.

Tentu saja, lawan bicaranya tidak menolak. Hanya tersenyum tipis berkesan mengejek. Ia membiarkan Shaidan merasa dapat mengendalikannya, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Lengan kekarnya memutar balik tubuh Shaidan hingga ia terpelanting jatuh cukup keras di lantai yang kasar.

"Apa-apaan!" erang Shaidan. "Kita tidak seharusnya bertemu secara mendadak. Kau lupa rencana awal?"

Laki-laki itu tertawa, sekali lagi tawa mengejek. "Sayang sekali, aku tidak bisa menunggu terlalu lama, Shaidan. Katakan semua yang kau ketahui tentang Jaevano dan Helios."

Shaidan berusaha bangkit meski nyeri telah menyerang sekujur tubuhnya. "Helios tinggal bersama adik kecilnya, Selene."

"Di rumah itu? Berdua?"

"Dengar dulu, keparat!" nada Shaidan benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak suka ucapannya dipotong. "Persimpangan nomor tujuh, di belokan kedua, rumah besar cokelat berpagar hitam. Itu rumah Helios. Memutar tiga blok, menuju persimpangan selanjutnya, rumah Ruby. Aku tidak perlu memberitahumu rumah Jaevano sialan itu. Ingat, waktumu tidak banyak, dan jangan mengundang perhatian, Zavier."

Tawa Zavier semakin kencang. "Pembunuhan selalu berhasil mendapatkan perhatian penuh."

Shaidan yang telah bersiap pergi lantas berdecak sebal, "Seharusnya aku memimpin aliansi Wali Kota untuk menyerang pemerintahan Pandawa. Sialnya dia lebih menyayangimu dan menjadikanmu anak emasnya."

Zavier mendekat dan terkikik. "Aku selalu nomor satu, Shaidan. Lakukan tugasmu dengan baik. Jangan sampai Cakra terluka."

"Jangan mengguruiku, keparat!"

***

Pertemuannya dengan Zavier Sha, tentara utama mantan Wali Kota terdahulu, laki-laki kuat dengan kemampuan bela diri luar biasa, dan salah satu buronan paling dicari di Pandawa, ternyata berdampak sangat kacau.

Mulanya, mereka akan bertemu pada pekan ketiga di bulan itu. Akan tetapi, Zavier tiba-tiba menghubunginya tengah malam dan ingin segera membicarakan hal penting. Tentu saja, Shaidan, sebagai anak buahnya tidak dapat menolak.

Ketika ia kembali dari persembunyian Zavier, Shaidan terlonjak kaget karena melihat suasana rumah yang berantakan. Rumah paman dan bibi seseorang. Rumah yang ditinggalinya hanya untuk sebuah persembunyian.

"Berengsek!" Shaidan menyadari seseorang menghilang di sana. Salah satu orang yang cukup penting sehingga ia ditugaskan untuk menjaganya. Dan kini, Shaidan kehilangan orang tersebut, Cakrawala Corrado.

Selama perjalanan ke arah markas besar pengikut Wali Kota terdahulu, Shaidan merapalkan banyak umpatan.

***

Mark menendang sekali lagi lutut Helios. Meski ia sedang marah—sangat marah—Mark tetap menendangnya dengan cukup pelan. Aksinya membuat Helios meringis.

"Kau dipukuli hingga wajahmu memar seperti itu, dan bukannya berobat, kau malah memikirkan ide mengajak Ruby melihat festival kembang api minggu depan? Idiot!" hardik Mark Chello di kafenya yang telah tutup.

Yang disebut-sebut oleh Mark hanya tertawa kecil tanpa merasa bersalah. Helios dan Jaevano tiba-tiba menggedor pintunya keras sekali malam itu dengan wajah penuh luka-luka dan darah segar mengalir di kedua pelipis.

Mark sangat terkejut. Ada ratusan pertanyaan tertahan di kerongkongannya. Ia hanya segera membuka pintu, masuk ke kafe, dan bergerak mengobati luka-luka sahabatnya. Barulah ketika suasana sudah mulai tenang dan kedua temannya telah mampu merawat memarnya sendiri, Mark lantas bertanya.

Tak perlu menyembunyikan apapun, Helios dan Jaevano segera menceritakan semuanya. Tanpa terkecuali.

Ucapan Helios dan Jaevano membuat Gabriel Wang berlari terbirit-birit tengah malam untuk datang ke kafe Mark Chello. Dan...Gabriel murka.

"BERENGSEK! Seharusnya diskusikan dulu dengan kami! Kau pikir kami bisa hidup tenang jika kau dan kau!" Gabriel menunjuk wajah Jaevano dan Helios bergantian. "Jika kalian mati di tangan setan itu!"

"Maaf, tidak ada pilihan lain." Helios membela diri.

"Selalu ada pilihan lain. Kau saja yang berniat merahasiakannya."

Mark menengahi, karena jika tidak, maka Gabriel dan Helios akan terus beradu mulut. Jika sudah saling beradu, mereka tidak dapat ditenangkan. "Sudah cukup. Masalah ini cukup serius."

Jaevano menyela, "Sangat serius." Tekannya.

"Ya," Mark mendesah. "Sangat serius sehingga bisa membahayakan nyawa. Jika Cakra masih hidup, besar kemungkinan Panji juga?"

"Mereka sudah bukan bagian dari Maerda. Mereka bukan teman kita lagi," Helios memperingatkan.

"Tetap saja," Mark ingin berujar akan tetapi Jaevano menginterupsinya.

"Mark, sudahlah. Mereka berkhianat. Masalah kita saat ini adalah Shaidan dan kemungkinan terburuk yaitu Zavier masih hidup. Dan jika si bangsat itu masih ada di Pandawa, artinya dia mengincarku."

Gabriel tersentak. "Jaevano benar. Kita tidak bisa menganggap Cakra dan Panji adalah sekutu, untuk saat ini. Dan masalah Zavier, aku setuju. Sepertinya dia memang masih hidup dan mengincarmu karena kau berhasil mengumpulkan intel dan mengobrak-abrik pasukan anak buahnya. Tak hanya merusak fasilitas mereka, karena laporan Jaevano juga tentara Zavier terbunuh."

Dengan berat hati, Mark mengangguk. "Apa yang harus kita lakukan?"

Helios yang lebih banyak diam akhirnya bersuara. Ia mendekati Jaevano dan menepuk pundaknya pelan. "Jangan risau, Maerda akan selalu ada untukmu. Aku akan berusaha menjaga temanku."

Sialnya, Maerda salah mengerti. Target utamanya bukan hanya Jaevano.

***

Shaidan sampai di sebuah persimpangan jalan di ujung Kota Pandawa. Memerlukan waktu sekitar dua jam perjalanan dengan mobil untuk mencapai area ini.

Di paling ujung Pulau Pandawa, ada satu area yang belum terlalu banyak penduduk. Area itu mulanya hanya berupa hamparan hutan dan rerumputan yang sangat luas. Jalannya sedikit berkelok dan sangat tidak strategis untuk dijadikan hunian. Sudah berpuluh-puluh tahun kawasan tersebut sepi penduduk. Tidak ada yang berminat menetap di tempat itu akibat banyaknya rumor yang beredar akan adanya bandit dan perampok.

Rumor itu ternyata sangat bermanfaat bagi Wali Kota terdahulu Pandawa. Ia dan pengikutnya dapat bersembunyi dengan tenang di kawasan tersebut.

Meskipun tahun lalu diadakan pencarian besar-besaran akan dirinya, Wali Kota tetap aman karena ia telah berhasil menyuap beberapa anggota patroli dan intel Pandawa. Bahkan beberapa tentara dari luar kota berhasil dibuat bungkam mulut akan keberadaannya. Karena itulah hingga hari ini, tak ada yang mengetahui lokasinya dan ia masih dapat hidup menghirup udara dengan tenang.

Mobil Shaidan terparkir di sudut halaman rumah kecil. Ia bergegas memasukinya.

"Cakrawala menghilang. Sepertinya penyamaranku akan terbongkar." Shaidan langsung berbicara pada intinya. Tidak lagi membuang-buang waktu.

"Cari Cakra dan bawa padaku hidup-hidup."

Lutut Shaidan terasa melemas setiap kali mendengar suara itu. Nadanya datar. Akan tetapi pembawaannya sangat menyeramkan. Entah mengapa, di setiap huruf yang diucapkan rasanya begitu dingin menusuk. Suara serak itu menjelma seperti ultimatum nyata. Shaidan memang berani melawan Zavier, akam tetapi, Shaidan bahkan tidak berani menatap mata mantan Wali Kota Pandawa tersebut.

"Baik," balas Shaidan.

***

Selamat membaca!❤

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now