16

42 8 0
                                    

16

"Tim empat segera menuju posisi, saya ulangi, tim empat segera menuju posisi," Rhae mengulangi lagi kalimatnya melalui walkie talkie miliknya. Lantas, sebuah regu dengan sepuluh anggota intel dan tentara dengan seragam lengkap bersenjata mengendap-endap memasuki sebuah rumah kosong yang berada di Desa Bima, salah satu kawasan permukiman Pandawa.

Dengan was-was, Jaevano, Mark, Gabriel, Mire, Lia, dan Ruby mengamati di salah satu ruangan yang telah menjadi tempat pengintaian mereka selama hampir tiga bulan ini.

Ya, tiga bulan telah berlalu, perkuliahan di Pandawa bahkan telah dimulai, namun tanda-tanda penemuan Helios Romanov masih belum didapatkan. Mereka akhirnya berkumpul kembali setelah Rhae mengatakan bahwa akan ada penyergapan di salah satu rumah yang diduga komplotan Zavier Sha.

Setelah aba-aba, pasukan Rhae tersebut menerobos masuk dan segera menggeledah seisi rumah untuk menemukan Helios.

Dua menit.

Tidak ada jawaban.

"Tim empat jawab, apa yang ada di dalam!" seru Rhae melalui radionya.

Empat menit. Masih hening.

Dan di menit kelima, regu itu keluar dengan membawa tangan kosong. Mereka menyergap tempat yang salah. Lagi. Hanya ada gudang kosong di dalam dan tak ada siapapun. Ini adalah rumah keenam yang mereka geledah, berharap menemukan Helios atau Zavier. Namun sepertinya semesta belum menghendaki.

Ruby tidak dapat menahan air matanya. Mire yang melihatnya lantas memeluk Ruby dengan sangat erat. "Kita bisa mencoba lagi. Kau harus bersabar, dan harus kuat. Oke?"

Rhae mengembuskan napas berat. "Setiap kali kami hampir berhasil menangkapnya, mereka selalu berhasil mengelabui kami."

Jaevano mengerang, "Kau tidak becus!"

Mark memperingati sahabatnya, "Jaeno. Jangan membuat onar lagi. Kami semua sudah berusaha. Rhae dan kepolisian Pandawa juga telah berusaha dengan maksimal. Hanya saja mereka telalu cerdik, berhasil mengelabui kita. Kita selalu tertinggal satu langkah di belakang."

Jaevano mendengus, "Aku tidak mau tahu, bawa sahabatku pulang!"

***

Siksaan yang Helios terima semakin hari semakin parah. Ia tidak hanya digantung terbalik selama berjam-jam, tidak diberi makan hampir selama tiga hari, dipukul dan dihajar hingga ia muak, menjadi samsak bagi Zavier Sha, dan bahkan dihantam dengan balok kayu hingga ia merasa telinganya berdenging parah sembari mengeluarkan darah segar. Hal itu belum cukup bagi Zavier.

Jenis siksaan dengan air adalah yang paling disukai oleh Zavier dan anak buahnya.

Helios akan dibawa ke sebuah bak kamar mandi. Wajahnya akan ditenggelamkan selama beberapa menit, berharap Helios tersedak dan mati, tapi ajaibnya, Helios mampu bertahan. Tak sampai di situ saja, Zavier menemukan ide baru. Ia membawa sebuah alat setrum. Di sebuah sudut ruangan yang kotor dan pengap, Helios akan diikat dan tangannya akan disetrum dengan alat tersebut hingga ia menjerit kesakitan. Zavier akan semakin tertawa jika Helios merintih.

Semua siksaan itu berhasil dilewatinya hingga detik ini. Helios sendiri pun terkejut ia masih hidup setelah melalui semuanya.

"Kau harus mulai berdoa," kata Zavier pada suatu hari. "Kau harus berdoa agar Tuhan membiarkan mayatmu membusuk di sini, sehingga Ruby—jalangmu itu tidak akan pernah melihatmu. Kau tentu tidak mau ia bersedih 'kan?"

"Aku tidak percaya Tuhanmu."

Zavier mengangguk, "Yah, percuma saja kau memohon pada Tuhan karena Dia tidak akan mendengarmu. Kau akan mati di tanganku, dan aku akan memastikan Ruby melihat mayatmu." Zavier mengambil alat setrum dan bersiap untuk menekannya di paha Helios. "Well, aku sedikit puas. Bisa menyalurkan dendam tentara-tentaraku padamu."

Sepersekian detik setelahnya, Helios menjerit lagi. Suaranya keras namun tak dapat didengar siapa-siapa karena mulutnya telah disumbat. Ada anak buah Zavier yang menyumpalnya dengan kain sehingga suara apapun tidak akan meninggalkan bangunan tersebut.

Seluruh inderanya mati rasa. Helios tidak dapat menggerakkan tubuhnya sendiri. Jangankan untuk melawan, berbicara saja Helios rasanya tidak mampu.

Ada luka bakar baru di tubuhnya. Helios meliriknya. Dan ia meringis.

"..."

"Kenapa? Kau mau menuliskan surat untuk Ruby, dan sudah aku izinkan. Jadi, ini bayaran yang harus kau tebus agar surat terakhirmu itu sampai pada jalangmu," kata Zavier, mengejek.

Dan Zavier menyetrumnya lagi dengan membabi buta. Meninggalkan bekas luka bakar baru di sekujur tubuh Helios. Zavier tertawa dengan sangat puas hingga tubuh Helios perlahan ambruk dan anak laki-laki itu jatuh pingsan.

***

Ruby tidak dapat menahan berat tubuhnya sendiri saat ia membaca sebuah surat yang ada di lantai rumahnya. Ia terduduk lemas, nyaris pingsan jika saja Mire tidak menangkapnya dan menjaganya.

"H-Helios..."

Mire melirik, dan ia mengangkat tubuh Ruby dengan bantuan Lia, berusaha membawa gadis itu ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Mereka baru saja pulang dari kantor Rhae setelah upaya penyergapan gagal.

Gadis itu menangis lagi. Lagi dan lagi hingga rasanya sangat sulit mengeluarkan air mata. Ruby mencengkeram surat itu erat-erat. Membacanya berulang kali hanya untuk menangis lebih keras.

Mire mengambilkan air dan menenangkan gadis itu. Ia belum bertanya apa isi suratnya karena Mire tidak sanggup. Ia menunggu hingga Ruby tertidur dan ia lantas membaca isi surat yang dikatakan dikirim oleh Helios Romanov.

Isinya cukup singkat, dan penuh makna.

Hai Ruby, kekasihku. Untuk pertama kalinya, aku berdoa pada Tuhan. Aku ingin Tuhan menghapus segala kesedihanmu. Kuharap, kau selalu bahagia, dengan atau tanpaku. Aku mencintaimu, sangat. Tersenyumlah selalu untukku, ya? Jaga Selene, adikku.

Sampaikan salamku pada Maerda. Berbahagial.
–Helios

Mendadak, Mire juga tidak dapat menahan tangisnya. Surat itu ditulis pada sebuah kertas lusuh dengan pena yang nyaris habis tintanya. Ada beberapa coretan, dan kalimatnya ditulis acak, menandakan bahwa seseorang yang menulisnya terlampau lelah hingga tak dapat menggenggam pena dengan benar. Ada banyak bekas air, sepertinya Helios menangis saat menuliskannya. Dan yang paling membuat Mire menahan napas adalah, ada terlalu banyak bercak darah.

"Apa yang dilalui Helios..."

***

Hari keberapa?

Entahlah, Helios tidak lagi menghitung. Ia tak lagi peduli berapa lama ia di sana dan sampai kapan ia akan terus disiksa. Semua tubuhnya kali ini benar-benar mati rasa. Matanya yang lebam mengeluarkan iris merah. Pandangannya pun benar-benar buram. Ia tak dapat lagi melihat sekeliling dengan jelas. Penciumannya telah mati. Helios tidak dapat membedakan bau darah dan luka bakarnya sendiri. Ia tak ingat kapan terakhir kalinya makan.

Sejauh ini, yang tetap menjaganya hidup adalah Selene dan Ruby.

Adiknya pasti sangat mengkhawatirkannya. Selene pasti menangis di sana, begitu pun Ruby. Helios tidak bisa membayangkan Selene dan Ruby melihat keadaannya sekarang. Lihatlah, ia sangat...kacau dan menyedihkan.

Hanya tekad itu yang mampu menjaga Helios tetap membuka mata di pagi hari.

Hanya itu.

Suara pintu membuat Helios menoleh. Kedua matanya dan mulutnya tak lagi ditutupi kain, sehingga ia bisa mendengar dan melihat siapa yang datang dengan mengendap-endap. Lalu, satu bungkus roti terlempar ke arahnya dari jauh. Dua detik setelahnya, ada air gelas yang juga berhenti mendarat di dekat kedua kakinya.

Helios menoleh, mencoba mengenali.

"Kau harus hidup, Helios."

Dan Helios terkejut, bukan main. "C...Cakra..."

"..."

***

Special update.
Besok akan update lagi Chapter 17
🖤

Happy reading!

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now