13

52 9 0
                                    

13

Notifikasi ponselnya berbunyi. Gadis yang tengah duduk santai di ruang tengah itu akhirnya mengambil benda persegi di sampingnya. Ruby mengulas senyum tipis saat membaca pesan yang dikirimkan Lia di grup percakapan Komunitas Maerda. Lia berkata bahwa mereka sedang berkendara menuju suatu tempat, salah satu desa kecil di utara Kota Pandawa bersama dengan Rhae dan teman-teman Maerda yang lain untuk memeriksa sesuatu.

Ruby membalas pesan tersebut singkat. Ia lalu beranjak ke kamar Jaevano.

Tanpa perlu mengetuk, Ruby mendorong gagang pintu itu dengan sangat pelan. Ia tidak ingin menimbulkan suara yang dapat membangungkan Helios yang tengah tertidur pulas. Ruby lantas mendekatinya. Ia meletakkan punggung tangannya di dahi Helios perlahan. Dibiarkannya selama beberapa detik untuk memeriksa suhu tubuh Helios. Masih sama.

Demam.

"Aku benci demam. Kuharap, demam itu segera hilang," gumamnya. Ruby masih duduk di sisi ranjang sembari terus menatap Helios. Sesekali, ia akan mengganti kain untuk mengompres dahi anak laki-laki itu. Ruby juga memeriksa lukanya dan merapikan selimutnya.

Sejenak, Ruby dapat tersenyum lega. Ia menyukai Helios. Tidak—dia mencintainya.

Setelah percakapan panjang dengan Mire kemarin sore, Ruby tidak lagi dapat menyangkal perasaan yang ada di dalam benaknya. Mire benar, mau sejauh apa Ruby mencoba mengabaikan fakta, nyatanya gadis itu tetap jatuh hati pada Helios Romanov. Ruby tidak tahu tepatnya kapan ia benar-benar membuka hati, akan tetapi, semua perhatian dan perlakuan Helios padanya mampu membuat gadis itu salah tingkah.

Dipandangnya sekali lagi wajah damai Helios yang tertidur pulas.

"Kenapa aku baru menyadari bahwa kamu setampan itu?" Ruby mendekat. Ingin melihat seluruh fitur wajah Helios lebih dekat. "Ternyata selama ini aku membohongi diriku sendiri. Sepertinya kamu benar Lios, kamu berhasil mendapatkan hatiku." Jemari kecilnya bergerak menyentuh wajah Helios.

Jemarinya menyentuh rahang Helios. "Boleh aku menyentuh wajahmu seperti ini?" guraunya. Ia terkekeh kecil karena sadar Helios tidak dapat mendengarnya. "Kau tahu, saat kamu menciumku tempo hari, aku tidak bisa berhenti memikirkannya selama seminggu." Ruby dapat merasakan kulit hangat anak laki-laki yang tertidur itu. "Aku menyukainya."

Tangannya beralih pada bibir Helios. "Ini. Bibir kamu nakal."

"Kenapa bibirku nakal?" tanpa berhasil menghindar, tiba-tiba saja, Helios terbangun. Ruby tercekat. Ia masih berada dalam jarak sepuluh senti dari wajah Helios dan anak laki-laki itu terbangun!

Kedua tangan Ruby tertahan karena Helios mengunci keduanya.

"H-Helios..."

Helios tersenyum. Sial.

Helios semakin mengunci lengan Ruby dan tubuhnya tidak dapat bergerak. "Sepertinya aku tidak bermimpi karena aku dapat merasakan jemarimu di bibirku. Ini ya?" Helios menyunggingkan senyum kecil. Sialnya senyum itu sangat menawan. "Kamu menginginkan ini?"

Tanpa berlama-lama, Helios membawa wajah gadis itu lebih dekat hingga tak tersisa jarak di antara keduanya. Sedetik setelahnya, bibir gadis itu berada di bibirnya. Perlahan, Helios merengkuh wajah itu dengan lembut dan membuat posisi mereka lebih nyaman. Ruby terduduk dengan kedua jemarinya sudah dikalungkan di leher Helios.

Ruby bahkan tidak ingat meletakkan tangannya di sana. Yang Ruby ingat selanjutnya adalah Helios menciumnya. Sangat dalam dan ia begitu menyukainya. Ia menginginkan ciuman itu lebih dari apapun.

Sejenak, Helios berhenti mengecupnya dan Ruby bisa merasakan bibir Helios tertarik, membentuk senyum kecil. "Jadi...?"

"Apa?"

"Well, bibirku akan sangat sia-sia jika tidak bisa menciummu."

Ruby mengangguk dengan salah tingkah.

***

Ruby merutuki panggilan telepon tiba-tiba yang membuatnya tidak bisa berlama-lama bersama Helios yang omong-omong telah resmi menjadi kekasihnya—atau Ruby-lah kekasih Helios. Pada intinya, setelah ia memasak dan mereka makan malam berdua, tiba-tiba Helios mendapat pesan dari Jaevano yang menyuruhnya datang ke suatu tempat untuk memeriksa wajah pelaku pelemparan botol berapi.

Maka dari itu, Helios segera berganti pakaian dan bersiap-siap untuk pergi.

"Kamu masih demam," Ruby mengingatkan, "Aku antar saja ya?"

Kekasihnya, Helios Romanov, menggeleng. "Dan aku membiarkan kamu pulang sendirian? Ayolah, lebih aman jika kamu di sini saja. Aku tidak akan lama, janji."

"Aku mau mengantar kamu, perasaanku tidak enak jika kamu menolak," kekeuh Ruby.

"Ruby..."

"Helios. Biarkan aku mengantar, ya?"

Dan akhirnya, paksaan Ruby berhasil. Mereka keluar dari pekarangan rumah Jaevano dengan mobil putih audi yang dikemudikan oleh Ruby. Helios memeriksa kembali alamat yang diberikan oleu nomor ponsel Jaevano dan menyuruh Ruby untuk belok kanan. Selama perjalanan, mereka berbincang akan banyak hal.

Bagian paling menyenangkan bersama Ruby adalah, Helios dapat tertawa lepas, ia bisa mengajukan banyak candaan dan respon Ruby sangat baik. Helios tidak peduli dengan hal lain, karena selama bersama dengan Ruby, ia merasa bahagia.

"Kamu yakin ini alamatnya?" Ruby membelokkan setir ke kanan setelah mereka melewati banyak persimpangan jalan. Ia terus membawa mobil itu memasuki jalan kecil hingga pada suatu titik, jalan itu buntu. Ruby memundurkan mobil, berusaha kembali ke persimpangan jalan sebelumnya, akan tetapi saat ia tidak begitu fokus, mobil itu menabrak sesuatu.

Terkejut, Ruby refleks menghentikan mobilnya.

"Apa itu tadi?!" pekiknya. Ia segera membuka pintu untuk memeriksa sebelum Helios berteriak.

"JANGAN DIBUKA!"

Terlambat. Tiba-tiba, ada lima kendaraan mendekati mobil Ruby. Kendaraan itu mengelilinginya seperti pemangsa mengintai mangsanya. Ruby dan Helios menegang. Di masing-masing kendaraan bermotor itu ada dua laki-laki berbadan besar membawa senjata.

Tiga orang mendekat. Membuka paksa pintu mobil dan tak segan-segan memecahkan kacanya. Ruby berusaha mengunci akan tetapi semua itu sia-sia. Ia mulai menangis. Pikirannya kacau. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya lolos?

Pada detik itu, Helios menyadari bahwa semua ini jebakan.

Pria itu berhasil menyeret Ruby keluar setelah berhasil membuat gadis itu pingsan. Helios berontak. Ia segera berlari untuk mengejar. Detak jantungnya berdegup sangat kencang. Helios bahkan tidak ingat ia masih demam. Ia terus mencoba melawan pria-pria yang membawa Ruby-nya.

"RUBY!"

Helios berusaha. Ia terus mencoba.

Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, salah seorang pria mengambil batu balok dan menghantam belakang kepala Helios dengan benda tersebut. Sedetik, Helios tidak bisa bergerak. Ia bisa merasakan kepalanya berputar. Pusing tiba-tiba menyerang. Helios mual. Ia ingin muntah tapi tidak bisa. Tubuhnya melemah, Helios tahu.

Dan tanpa menunggu waktu yang lama, semuanya berubah gelap.

Helios Romanov ambruk.

***

Maaf, update-nya sempat tersendat :(

Anyway, happy reading!

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now