Extra | Cakra's Story 2

25 2 0
                                    

2

"Bagaimana ini?"

Panji berjalan mondar-mandir di kamar Cakra. Laki-laki itu sangat gelisah, ia bahkan belum meneguk habis kaleng soda di tangannya. Seluruh pikirannya hanya terfokus pada tugas yang diberikan oleh Gabriel tempo lalu.

Cakra memandanginya singkat, dan kembali fokus pada buku bacaannya.

"Cakra!" Panji menyentak kembarannya. "Bisakah kau mendengarkanku sekali saja?"

"Ada apa?"

Panji mengerang frustasi. "Gabriel memberikan tugas yang tidak mungkin bisa kita selesaikan. Kau, harus membujuk anak lain saja. Kita tidak bisa memberikan informasi itu."

"Kenapa?" tanya Cakra datar.

"Serius?" Panji menatapnya tidak percaya. "Maerda sedang menyelidiki korupsi Wali Kota Pandawa."

"Dan?"

"Dan?!" Panji Julian Djahrir menaikkan suaranya. "Dia akan membongkar korupsi Ayah!"

Sejenak, keduanya diam. Mereka bisa berbicara dengan bebas karena tidak ada seorang pun di rumah, kecuali para pelayan yang berada di lantai bawah. Dengan kesal, Panji mendorong buku bacaan saudaranya dan menatapnya dengan nanar.

"Maerda akan membongkar kejahatan Ayah."

Dibandingkan Panji, Cakra bukanlah orang yang mudah tersulut emosi. Dia hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Yah kalau begitu biarlah semuanya terbongkar."

"Kau serius?"

"Kenapa?" tantang Cakra. "Kau takut?"

Panji kehilangan kata-katanya. "Kak..."

"Sejujurnya, aku sudah lelah. Terlampau lelah. Bajingan itu—" Cakra menarik napas. Rasanya berat mengeluarkan suara setelah itu. Tapi ia melanjutkan, "Dia memang melakukan korupsi. Kau tidak melihat proposal di mejanya? Dia akan meruntuhkan Sekolah Keperawatan Pandawa dan akan membangun kembali atas namanya, yang tentunya memakan dana negara lebih besar. Dia memang melakukan korupsi. Dia memerintah tanpa dasar yang kuat. Dia punya anak buah preman! Dia tidak menganggap kita anaknya!"

Kemarahan Cakra yang tiba-tiba datang membuat Panji duduk diam tak berkutik. "Tapi dia Ayah."

"..."

"Dia Ayah kita."

"Kalau boleh bicara, aku tidak pernah punya Ayah sejak dilahirkan. Dia hanya Tuan Pemilik Rumah dan pemimpin yang payah," jawab Cakra lirih.

***

Helios merangkul bahunya. Entah dari mana datangnya pemuda itu, tapi Helios kini berjalan santai di sebelah kirinya, dan tersenyum sangat lebar padanya. Panji terkekeh pelan, dan mengalihkan perhatiannya dari buku-buku tebal di genggamannya pada sahabatnya. "Ada apa? Di mana Ruby?"

"Diam. Kami sedang bertengkar," kata Helios. "Tidak penting. Jadi bagaimana? Kau akan meliput pidato Wali Kota di Alun-Alun?"

Panji mengangguk.

Helios lalu menepuk pundaknya, "Anak baik. Jagalah Ruby untukku, ya?"

"Dasar!"

Helios lalu mengacak rambut di puncak kepalanya. "Kau memang menggemaskan. Aku berharap punya adik laki-laki sepertimu. Hidupku akan lengkap dengan adik perempuan dan adik laki-laki."

"Aku tidak mau jadi adikmu! Itu mimpi buruk!"

"Sialan!"

Keduanya tertawa.

***

Dengan terengah-engah, Cakra membawa teman-temannya berlari memasuki persimpangan-persimpangan jalan. Mereka berbelok beberapa kali sebelum akhirnya Cakra menghentikan mereka di depan sebuah ruko. Ia membuka gerbangnya. Dan membawa teman-temannya masuk.

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now