14

40 8 1
                                    

14

Hal pertama yang dilihatnya ketika ia berhasil membuka mata adalah sebuah jendela tanpa kaca yang terbalik. Meski mulanya samar-samar, bayangan itu mulai terfokus. Penglihatannya kembali normal semenit setelahnya.

"Tadinya aku mulai takut kau tidak akan membuka mata."

Suara itu. Helios mengenalnya.

Helios berusaha bergerak, tapi seluruh badannya kaku. Seakan-akan ia telah dipukuli dan dihajar berkali-kali. Rasa sakitnya jauh lebih besar. Perutnya terasa sangat mual seperti seseorang telah dengan sengaja mengaduk-aduk organ dalamnya. Kepalanya berdenyut nyeri dan Helios merasa lembab yang sesaat ia ketahui bahwa kepalanya berdarah akibat hantaman batu.

Beberapa kali Helios mengerjapkan mata untuk menyesuaikan pandangannya dalam ruangan yang tiba-tiba sangat terang. Ia bernapas dengan kasar. "Di mana?" Laki-laki itu bergerak-gerak meloloskan diri. Tetapi tetap gagal karena kedua tangannya terikat sangat erat. Kedua kakinya juga terikat. Posisinya kini tengah tergantung terbalik di sebuah tiang besi penyangga. Helios mendongak hanya untuk menemukan lantai yang kasar.

Sebuah suara menjawab, "Oh tenanglah. Kau tidak mati. Belum."

"Di mana Ruby?!" tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari bibir Helios segera setelah ia mengingat apa yang terjadi semalam.

"Ssst. Jangan terlalu banyak bergerak," ujar suara itu. "Kau digantung seperti babi. Sebentar lagi, pasti peredaran darah dan jalur pernapasanmu tersumbat. Kau akan merasa sangat pusing setelah digantung seperti ini selama tiga hari."

Helios meringis, suara itu benar, sudah berapa lama ia digantung seperti ini? Rasanya semua darahnya hanya mengalir ke otak dan berhenti di sana. "Katakan di mana Ruby!"

Terdengar suara derap langkah mendekat. Helios tidak bisa melihat dengan jelas wajah itu karena posisinya. Akan tetapi, ia cukup mengingat wajah siapa yang berada di balik suara berat dan serak menjijikkan itu.

"Tidak usah berteriak, masih pagi."

"Zavier."

Seolah terkejut, suara itu menjawab, "Wah, kau mengingatku ternyata."

"Apa yang kau perbuat pada Ruby, bangsat! Jika kau menyentuh sehelai rambutnya akan kucabik-cabik dirimu."

Zavier Sha tertawa, menghina. "Dengan kondisimu yang seperti itu? Aku meragukannya." Ia mengambil satu kursi dari pojok ruangan, lalu duduk depat satu meter di dekat tubuh Helios yang digantung terbalik. "Jalang itu? Baik-baik saja. Kurasa, anak buahku membuangnya di dekat klinik."

Mendadak, rasa panik menggerogoti Helios.

Zavier lalu tertawa. "Hahaha! Lihat wajahmu, sangat panik. Kelemahan Maerda ternyata cukup mudah ditemukan. Kalian terlalu mempedulikan pelacur kalian itu. Memangnya, seberharga apa hidupnya? Siapa namanya tadi, Ruby? Ah aku mengingatnya. Dia ada di rumah jagalku. Dia salah satu sandera itu, 'kan? Dia sangat bengis. Mirip sepertimu. Ternyata, dia masih hidup ya? Kalian masih bisa hidup dengan tenang setelah membunuh para tentaraku?"

Helios menegang. "Kau apakan dia, keparat!"

"Kau tidak asyik, Helios. Sudah kukatakan, anak buahku membuangnya di dekat klinik. Tidak tahu di mana. Tapi anak buahku cukup bermoral 'kan? Mereka meletakkan tubuh jalangmu itu di dekat klinik agar mudah ditemukan dan bisa dirawat," jawabnya dengan enteng. "Ya ampun, janganlah terlalu khawatir. Dia pasti masih hidup! Aku tidak membutuhkannya."

Helios berontak lagi. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha melepaskan diri dari ikatan di kedua tangan dan kakinya. Helios bergerak-gerak dengan kuat agar bisa meloloskan diri. Namun tetap saja, semua usahanya sia-sia. Tali itu sangat kencang dan terus bergerak menyebabkan tubuhnya kehilangan banyak tenaga. "Apa maumu? Kenapa kau melakukan ini?!"

Terdengar tepuk tangan dari Zavier. Ia mendekatkan diri pada Helios dan tertawa di hadapan anak laki-laki itu. "Lihat dirimu. Kau bahkan tidak merasa bersalah setelah berhasil membunuh tentaraku?"

"Mereka memang pantas mati."

"Oh tentu. Tapi hanya aku yang bisa membunuh mereka. Kau dan kawan bodohmu itu tidak pantas menyentuh tentara Zavier Sha dan Wali Kota sah Pandawa."

Helios tertawa. "Ck! Mantan diktator sialan? Yah, kau memang cocok menjadi anjingnya."

Satu pukulan mendarat dengan tepat di kedua rusuk Helios. Ia meringis. Napasnya menjadi lebih berat dan Helios bisa merasakan tulang rusuknya patah.

"Woah!" Zavier melompat-lompat bahagia. "Sudah lama aku menantikan momen ini. Menghajarmu. Membunuhmu perlahan. Memotong semua organ dalammu dan mengulitimu untuk diberikan pada gagak. Membayangkannya saja sudah membuatku sangat bersemangat. Bagaimana denganmu, Helios?"

"Bangsat!" Helios meludahi Zavier.

Satu hantaman mendarat di rahangnya. Bibir dan hidungnya mengeluarkan darah segar.

"Ini baru permulaan. Kau akan menghadapi yang lebih menyakitkan. Bersabarlah."

***

Tidak ada makanan yang bisa masuk ke dalam tubuhnya. Tidak ada obat yang berhasil membuat Ruby berbicara. Pandangannya kosong dan ia hanya duduk termenung di bangsal rumah sakit. Ia menolak kunjungan siapa pun kecuali kedua orang tuanya.

Ruby terbangun di ranjang sebuah klinik. Ia belum mengingat apa yang terjadi. Ia bahkan tidak mengingat siapa namanya karena begitu shock. Ia terbangun dengan wajahnya yang lebam, hidungnya patah, ada fraktur di kakinya, bibirnya robek, dan semua tubuhnya terasa sakit. Barulah keesokan harinya, Ibu dan Ayah datang, membawanya pergi ke rumah sakit yang lebih besar untuk mendapat perawatan. Teman-temannya juga datang dan menjenguknya berkali-kali.

Tak perlu menunggu waktu yang lama, Ruby teringat.

Mobil putih, jalan buntu, motor penjahat, Helios, dipukul, dihantam, diculik...

Sesaat setelah mengingat rentetan kejadian mengejutkan itu, Ruby berteriak. Gadis itu terus berteriak ketakutan. Ibu dan Ayah tidak bisa menenangkannya, maka dari itu, dokter terpaksa menyuntikkan obat penenang.

Selama dua hari, Ruby seperti kehilangan akal. Ia menjerit, berteriak ketakutan, menangis, dan mengusir siapa saja yang mencoba mendekat. Di hari ketiga, syukurlah gadis itu membaik. Ia tidak lagi berteriak dan menjerit. Akan tetapi, Ruby memilih bungkam seribu bahasa. Ia tidak ingin makan. Tidak mau menemui siapapun.

Karena hal itu, tubuhnya kembali drop.

"Bisakah kalian kembali esok hari? Dia sedang tidak bisa menemui siapa pun," ujar Mire dengan nada berat pada dua detektif yang datang secara rutin selama seminggu. Detektif tersebut datang karena laporan kasus penculikan dan dugaan perencanaan pembunuhan terhadap Helios Romanov.

"Tapi kasus ini harus segera diselidiki. Kami membutuhkan informasi dari Nona Ruby untuk memulai proses pencarian dan melacak keberadaan korban."

Lia mendesah pelan, "Tapi sahabat saya masih terguncang. Dia belum bisa menjawab pertanyaan yang akan kalian ajukan!"

Gabriel menengahi, "Bapak, bagaimana jika kami mencoba berbicara padanya terlebih dahulu, lalu—" ucapan Gabriel tidak dapat terselesaikan karena pintu kamar rawat Ruby tiba-tiba terbuka. Gadis itu ada di sana. Dengan wajah lesu dan padangan kosong. Ruby berjalan secara perlahan sembari mendorong tiang tempat selang infus miliknya.

"Ruby?" Mire membantu Ruby berjalan mendekat.

"Saya Ruby Jinnie. Tanyakan semua yang ingin Anda tanyakan asal Anda harus menemukan Helios dalam keadaan hidup."

Semua orang di lorong tersebut saling berpandangan tidak percaya.

***

Happy reading!

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now