Extra | Cakra's Story 5

22 2 0
                                    

5

Ini sama saja seperti penjara.

Cakrawala Corrado Djahrir diperbolehkan menemui saudaranya hanya sekali dalam satu bulan. Cakra dilarang berkeliaran ke mana pun tanpa sepengawasan Shaidan. Selain itu, Cakra diharuskan tetap berdiam diri di bangunan pribadinya yang tak jauh dari Alun-Alun Kota.

Mulanya, Cakra diperbolehkan untuk menemui Panji beberapa kali dalam satu bulan. Namun, akhir-akhir ini, Ayahnya melarangnya datang terlalu sering. Cakra tahu alasannya. Satu minggu yang lalu, Helios dan Jaevano tiba-tiba muncul di dalam rumahnya. Cakra lantas segera berlari menjauh akan tetapi, Jaevano berhasil menangkapnya.

Ia sedikit lebih beruntung karena ia melawan. Berhasil melumpuhkan Jaevano dan Helios. Meski demikian, jauh di dalam lubuk hatinya, Cakra sungguh menyesal. Ia melukai sahabatnya.

"Kau mau ke mana?"

Cakra tengah mengenakan hoodie abu-abu miliknya ketika Shaidan menghentikannya. Dengan malas, Cakra menjawab, "Ini tanggal sebelas. Aku mau menemui Panji."

Shaidan akhirnya mengambil mobil, membawa Cakra ikut serta, dan mereka berkendara ke kawasan Pandawa yang sepi penduduk. Ayahnya telah berpindah lagi. Tak lagi di pondok mewah, melainkan di rumah biasa yang jauh dari keramaian. Di Desa Bima.

Saat memasuki halaman, empat penjaga memeriksa identitas mereka, dan Cakra bisa membuktikan siapa dirinya. Maka dari itu, mereka diperbolehkan masuk.

Rumah itu tak terlalu besar.

Pak Wisnu menyapanya, "Kau tidak pernah terlambat dari jadwal."

Cakra tidak menjawab.

"Panji sudah bangun sejak tadi, menunggumu." Pak Wisnu mengantarkan Cakra ke sebuah kamar kecil di pojok. Panji Julian Djahrir tengah terbaring dengan damai. Tidak ada alat medis sebanyak beberapa bulan yang lalu. Adiknya tersenyum menyambut kedatangannya.

Pak Wisnu lalu pergi, dan menutup pintu dengan bisikan, "Satu jam," ujarnya.

"Cakra," Panji menyapa.

Cakra mendekat dan memeluk singkat saudaranya. "Bagaimana perasaanmu?"

Anak laki-laki yang terbaring dengan lemah hanya bisa mengangguk pelan, "Seperti biasa."

Panji sudah dinyatakan melewati masa kritis sejak lama. Akan tetapi, entah mengapa, kondisinya tak kunjung membaik. Operasi yang dijalankannya sukses, tapi Panji tetap merasa lemas. Panji bahkan tak dapat bangun dari ranjangnya tanpa bantuan orang lain. Panji tidak dapat berdiri terlalu lama karena kakinya serasa lumpuh.

Atau memang telah lama lumpuh.

"Kita seharusnya melarikan diri di malam kerusuhan itu," kata Cakra, lirih.

Mendengar ucapan tersebut, Panji tak dapat menahan tawa kecilnya. "Yah, selama ini aku terlalu naif. Harusnya aku sependapat denganmu. Aku selalu berharap Ayah bisa berubah. Tapi aku salah. Dia...iblis."

Keduanya saling menggenggam tangan. "Kau tahu 'kan, dia melumpuhkan kakimu melalui obat yang disuntikkan suster keparat pribadinya?"

Panji mengangguk lemah, "Dan sudah terlambat untuk menyelamatkanku. Aku tidak apa-apa. Kau jangan khawatir. Omong-omong, ada apa dengan wajahmu?"

"Helios."

"Kau bertemu dengannya?!" Panji terkejut. "Bukankah kau dilarang keluar rumah?" ia melanjutkan ucapannya dengan berbisik.

Cakra tertawa geli, "Sebenarnya Helios dan Jaevano yang menyelinap ke rumahku, dan aku lari. Tapi Jaevano mencoba menghentikan dan kita terlibat—ya, sedikit perkelahian."

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now