12

40 6 0
                                    

12

Teriakan Helios adalah hal yang terakhir kali Ruby dengar sebelum panggilan teleponnya terputus. Panik tiba-tiba menyerang. Pikirannya tidak karuan. Semalaman, Ruby berusaha menghubungi Helios, Mark, Jaevano, dan Gabriel, tetapi tidak ada yang menjawab panggilannya.

Setelah hampir dua jam, Mark akhirnya menghubunginya.

"Ruby, jangan panik. Hanya insiden kecil. Kami semua tidak apa-apa, kalian bisa tenang. Akan tetapi, Helios terluka, hanya sedikit di pelipisnya. Kau bisa datang besok pagi ke rumah Jaevano bersama Mire dan Lia." Begitulah ucapan Mark yang tidak berhasil menenangkannya.

Ruby gelisah semalaman.

Pagi harinya, ketiga gadis itu bergegas menaiki bis kota dan berhenti di persimpangan jalan rumah Jaevano. Ketika mengetuk pintu, Gabriel membukanya dengan pakaian rapi. "Kau mau ke mana?" tanya Lia.

"Kami harus bertemu Rhae. Masuk saja ke lantai dua, kamar Jaevano. Helios ada di sana. Oh ya, Mire bisakah kau ikut dengan kami?" ujar Mark.

Akhirnya hanya tinggal dirinya dan Lia di rumah tersebut.

"Aku sungguh-sungguh, Ruby. Ini hanya luka kecil," kata Helios pasrah saat gadis itu tiba-tiba muncul di kamar Jaevano, Helios hanya mampu memberikan senyum dan beribu-ribu kali mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Akan tetapi, Ruby masih belum yakin sebelum memeriksanya dengan lebih lanjut.

Ruby menepis jemari Helios yang menyentuh wajahnya. "Diam dulu, aku akan mengobati lukamu, Lios. Apa-apaan ini? hanya ditutupi kapas dengan asal? Siapa yang merawat lukamu? Mark? Dia sangat bodoh!"

Helios tertawa, "Kasihan dia."

"Mark memang bodoh. Gabriel dan Jaevano juga! Seharusnya lukamu dibersihkan dahulu, diberikan obat tetes, barulah dibalut dengan kain kasa! Bukan seperti...Ya Tuhan..."

Dengan lembut, Ruby membantu Helios merawat lukanya. Luka itu berasal dari pecahan kaca jendela yang mengenainya. Cukup besar tetapi tidak sampai membutuhkan jahitan. Dilihat dari panjang luka tersebut, kemungkinan darah yang keluar cukup banyak. Oleh karena itu Mark terlihat sangat panik semalam. Helios sudah menceritakan apa yang terjadi pada gadis itu.

Lia berdecak sebal, "Pasti Shaidan dalangnya."

"Kita belum tahu pasti."

"Ruby, ayolah, anak itu sangat mencurigakan. Jika dipikir-pikir, Shaidan umur berapa, sih? Mahasiswa baru? Aku tidak percaya itu. Oh ada telepon!" Lia melirik ponselnya, dan menyadari ada panggilan masuk, ia akhirnya pamit keluar.

Kini tinggallah Ruby dan Helios di kamar tersebut. Ruby telah selesai membalut luka Helios. Dipandangnya kedua wajah Helios yang juga menatapnya. Terlihat lingkaran hitam samar di bawah matanya, menandakan bahwa laki-laki itu kurang tidur dan sangat lelah.

Mendadak, ada gelenyar aneh di dalam dadanya. Ketika kedua netra cokelat Helios menatapnya, Ruby bisa merasakan jantungnya berdegup sangat kencang. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, setiap berada di dekat Helios, Ruby seakan-akan selalu salah tingkah. Wajahnya memerah dengan mudah, dan ia tidak mampu menatap netra itu terlalu lama.

Helios mendekat untuk memeluknya. "Kamu bisa tenang sekarang. Maaf Ruru, aku membuatmu khawatir."

Dan Ruby menenggelamkan wajahnya di pundak Helios.

***

Halaman samping rumah Jaevano sangat sepi. Hari sudah menjelang siang dan langit tidak menampakkan teriknya sama sekali. Suasana yang sejuk dan tenang itu dimanfaatkan Ruby untuk menenangkan diri. Ia duduk di salah satu ayunan dan menenggelamkan diri dalam pikirannya sendiri.

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now