Extra | Cakra's Story 10

25 5 0
                                    

10

Laut itu terasa jauh.

Mau sekeras apapun Cakra memaksakan langkahnya, semuanya terasa sangat jauh.

Ia mulai kehabisan napas. Helios mungkin akan kehilangan kesadaran sebentar lagi. Dan Shaidan sudah amat sangat kelelahan. Hutan itu bagaikan labirin tanpa pintu. Cakra tak dapat menemukan jalan keluarnya. Tidak di hutan ini. Ia mulai meringis, pandangannya kabur, dan setitik air mata jatuh.

Cakra menangis dalam diam.

Mereka terus berlari. Namun rasanya, sama seperti berjalan di tempat.

"Cakra! Cakra!" Shaidan meneriakkan namanya berkali-kali. Mereka berhenti, bersandar pada sebuah pohon besar. "Cakra!"

Cakra memejamkan mata, cukup lama sampai Shaidan menghampiri dan menamparnya sekali lagi. "Lari! Apa yang kau lakukan?!"

Cakra diam.

Pemuda itu lalu mengguncang-guncangkan tubuh Cakra keras, tapi Cakra hanya diam.

"CAKRA!"

Saat itulah, mereka mendengar suara derap langkah kaki. Cakra membuka mata, melihat ke sekeliling. Dia tidak tahu dari mana suara itu berasal. Utara? Selatan? Tidak tahu. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali melangkah, kembali berlari. Helios sudah dipapah, dan ketiganya dengan linglung mencoba mengabaikan suara-suara yang semakin dekat.

Tuhan, kumohon, biarkan kami selamat. Seluruh sisa tenaganya dihabiskan saat itu juga. Cakra berusaha, ia telah mencoba, dan ia tak mau menerima kegagalan sebagai hasilnya. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh langkah mereka rasanya memakan waktu berjam-jam. Mereka tak kunjung sampai.

Suara derap langkah kaki itu semakin dekat. Kini mereka tahu sumbernya. Tak hanya satu. Suara itu datang dari segala penjuru arah, ke arah mereka, mencoba mengepung mereka. Dan suara langkah kaki itu diikuti suara lain yang amat familier.

Senapan.

Detak jantungnya berpacu sangat cepat. Tidak, bukan seperti ini akhir yang diinginkannya. Suara tembakan terdengar di mana-mana. Setelahnya, mereka bertiga sama-sama menunduk, melindungi kepala. Sial, tidak ada tempat untuk berlindung dari peluru di tengah hutan seperti ini!

Shaidan melihat ke sekelilingnya. Cakra mengikuti. Mereka panik bukan main.

"Cakra..." Helios bergumam.

"Helios—"

Sahabatnya membuka mata, di sisa-sisa terakhir kesadarannya, Helios tersenyum. "Tidak apa-apa." Kalimat itu mengandung banyak arti. Cakra merasa tercekat, ia tidak bisa bernapas.

"Kau harus hidup. Ayo Helios. Sebentar lagi!" Cakra mulai histeris.

Tapi semua kalimat penyemangat itu sia-sia.

Karena ketika Helios ambruk, Cakra tak merasakan lagi keinginan untuk melihat hari esok.

***

Anak buah Zavier sudah berada tepat di belakang mereka. Dalam jarak beberapa meter, mereka berhasil melepaskan tembakan. Tiga mengenai Helios, membuat anak laki-laki itu ambruk, jatuh ke tanah.

Darah.

Darah di mana-mana.

"Helios!" Cakra sudah meneriakkan namanya berkali-kali. Laki-laki itu sudah mengguncang-guncang tubuh sahabatnya yang terkapar tak berdaya di tanah. Cakra sudah mengeluarkan semua umpatannya, sekadar berusaha untuk membangunkan Helios Romanov.

"Bangsat!" Cakra terisak, "Bangun! Kau tidak boleh mati seperti ini!" Cakra kembali mengguncang tubuh sahabatnya. Tidak ada respon. Helios tetap diam, matanya tertutup damai. Shaidan menghampirinya, menyuruh Cakra untuk sadar, dan berusaha menariknya agar berlari.

Cakra menolak.

"KAU AKAN MATI!" Shaidan berteriak, "Cakra kumohon! Target mereka adalah kita semua!!!"

Anak laki-laki yang telah kehilangan Ibu, Ayah, saudara kembar, dan sahabat-sahabatnya menatap Shaidan Arjuan dengan tatapan kosong, datar, dan sarat akan kehampaan. Cakra tak lagi menangis. "Kau mengkhianatiku," balasnya.

Shaidan tercekat. "A-apa yang kau katakan?! Ayo Cakra kumohon! Kita tidak boleh diam di sini!"

"Kau berkhianat," ucap Cakra lirih.

"CAKRAWALA!"

Cakra mendesis, "Ck, kenapa aku mempercayaimu? Apa karena aku menganggapmu seperti adikku? Kakakku? Saudaraku? Apa yang kau lakukan hingga aku mau menerimamu?" Suaranya, tak ada ekspresi dalam suara Cakra. Seakan-akan ia telah mati.

Shaidan mundur, tak lagi berusaha menarik lengan Cakra.

Cakra mengulangi lagi kalimatnya, "Kau mengkhianatiku."

Saat itulah, Shaidan tahu bahwa Cakra akhirnya menyadarinya.

Cakra terus berucap, seakan tak ada hari esok. "Kau tidak pernah datang ke pusat kota. Kau bertemu Ayahku. Kau membongkar rencanaku. Kau tidak memesan kapal apapun. Tidak ada rumah yang dijual, tidak ada mata-mata. Pantas saja kau tahu adikku dikremasi, kau memang masih berhubungan dengan bangsat-bangsat itu," Cakra menarik napas, lelah. "Apa Zavier tahu?"

Shaidan menggeleng.

"Jadi, siapa yang kau beritahu?"

Shaidan menjawab, nyaris berbisik, "Pak Wisnu."

Derap langkah kaki sudah tepat berada di belakang mereka, dengan senapan yang diacungkan di depan dada.

"Kenapa?" tanyanya, parau.

Shaidan tersenyum. "Aneh, aku menyayangi Zavier sama seperti aku menyayangimu, tapi aku juga sangat membenci kalian berdua." Kata-katanya dingin, itu bukan sosok Shaidan yang Cakra kenal. "Kamu punya Ayah. Masih punya Ayah dan rumah. Tapi kamu membuang semua itu hanya demi—" Ujung matanya melirik Helios yang sekarat.

Cakra akhirnya tahu. Ia telah salah menilai seorang Shaidan Arjuan.

Ia salah menaruh kepercayaan padanya.

Cakra mengambil keputusan paling tolol dalam hidupnya, mencoba berteman dengan anak buah Ayahnya.

Lalu, Cakra tertawa. Ia menertawakan keputusan-keputusannya. Aku ditakdirkan untuk selalu gagal.

Bahkan, ketika penjaga itu melepaskan beberapa peluru dan mengenai sekujur tubuhnya, Cakra tetap tertawa. Ia tidak merasakan sakit. Sakit karena tembakan itu tak terasa, tubuhnya mati rasa, tapi di dalam hatinya, Cakra menjerit dan menangis.

Sumber utama sakitnya adalah hatinya.

Ia gagal lagi.

Ia membunuh sahabatnya sendiri.

Ia tak pantas hidup.

Maka, ketika tubuhnya terjatuh tepat di samping Helios, saat peluru itu berhasil mengoyak jantungnya, menembus rusuknya, dan mengendap di dalam tengkorak kepalanya, Cakra tak merasa takut. Ia menatap Helios. Dan Helios, dengan segala sisa kekuatannya, juga menatapnya. Lekat. Helios, maaf. Aku gagal menyelamatkanmu. Maaf.

Dan Cakra melihat Helios tersenyum padanya, untuk yang terakhir kali sebelum mereka akhirnya tak lagi bernapas.

Hidupnya berakhir, detik itu juga.

Setidaknya, aku mati bersama sahabatku.

Setidaknya, aku sudah memberitahunya sedikit kisah hidupku.

Setidaknya, aku tahu satu orang tak menganggapku pengkhianat.

Setidaknya, aku telah berusaha.

Cakrawala Corrado menatap langit. Untuk terakhir kalinya, ia tersenyum.

"Ibu, Panji, aku akan pulang..."

***

Voler Haut dan extra chapter tentang Cakrawala finally benar-benar tamat🖤

Terima kasih sekali lagi buat teman-teman yang mengikuti kisah fiksi ini🖤

Much love,
KimSasy✨

Pssst, cerita baru aku, judulnya MR. HARRIS sudah dipublish loh! Jangan lupa kepoin🤔

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now