Extra | Cakra's Story 8

9 2 0
                                    

8

Helios mengerjap beberapa kali. "Kaukah itu?"

"Ya."

Helios mencoba bangkit dan bersusah payah untuk duduk. Ia menerima roti pemberian Cakra dengan kedua tangannya yang tak lagi terikat, karena Cakra melepaskannya. Mereka duduk berhadap-hadapan. Cakra menunggu Helios mengabiskan rotinya, lalu mereka berbincang.

Cakra bersandar pada dinding di sebelah Helios. "Panji sudah tiada."

Ketika mendengarnya, Helios terkejut. Ia segera menoleh pada Cakra dan Cakra hanya membalasnya dengan senyum. "Tidak perlu kaget begitu. Kita semua tahu Panji tidak akan bertahan lama. Ia mungkin pulih, tapi dikurung satu rumah dengan Ayahku? Itu sama saja mati dengan perlahan."

"Apa yang dilakukannya?" desak Helios.

"Kerusuhan di Sekolah Keperawatan."

Helios bergeming. "Jadi, dia dibawa oleh diktator itu?"

"Anak buahnya," Cakra memperbaiki. "Operasinya berhasil, Helios. Dia selamat. Aku diperbolehkan mengunjunginya beberapa kali. Tapi satu tahun belakangan, aku hanya boleh menjenguknya sekali dalama sebulan. Itupun Panji sudah sangat kurus, lemah, kakinya lumpuh, wajahnya kehilangan cahayanya, dan Panji sudah...sekarat."

Saat mengatakan kata-kata menyakitkan itu, Cakra tidak menangis. Anak laki-laki itu juga tidak mengerti kenapa ia tidak menangis.

"Yah, kurasa, tak lama lagi aku akan bertemu dengan Panji," kata Helios, memecah keheningan.

Cakra menggeleng keras. "Kau akan selamat. Aku sudah menyewa kapal. Kita akan pergi dari bangunan laknat ini. Bertahanlah Helios. Aku tidak bisa kehilangan dirimu juga. Kau sahabat terbaikku. Maerda...adalah segalanya bagiku."

"Seharusnya kau bilang sejak awal siapa dirimu."

"Aku tahu. Dan aku minta maaf karena merahasiakannya dari kalian."

Helios menatapnya, dan Cakra hanya mampu tersenyum kecil. "Cakra, kami tidak tahu kau mengalami semua ini. Kau dan Panji...maksudku...Maerda..."

"Aku tahu."

"Tidak, dengarkan," Helios bersikeras. Cakra bisa melihat bahwa Helios berusaha berucap meski ujung bibirnya robek, penuh luka. Maka, Cakra membiarkannya. "Cakra, seandainya kami tahu siapa dirimu yang sebenarnya, kami pasti akan membantu. Dan, kami tidak akan menyebutmu pengkhianat. Kau tahu...sejak kau menghilang beberapa tahun yang lalu, kami berusaha mencarimu dan Panji. Ke mana-mana. Tapi kau tetap tidak ditemukan."

"Yah, terkurung oleh Ayahku sendiri."

"Teman-teman kita yang lain tidak tahu apa yang sudah kau alami. Kau dan saudaramu bukan pengkhianat," ujar Helios, parau.

Cakra mengangguk. "Tidak apa-apa. Aku memang pengkhianat. Aku dan adikku—Aku dan Panji memang membohongi kalian. Kami berbohong tentang banyak hal. Aku tidak menyalahkan jika Maerda mengenangku sebagai teman yang berkhianat. Tidak apa-apa. Aku akan menanggungnya. Aku akan menebusnya dengan membawamu pulang dalam keadaan hidup."

Helios melirik, "Kau juga akan pulang dengan selamat! Kau bisa kembali ke Maerda. A-Aku bisa menjelaskan semuanya. Teman-teman akan mengerti."

"Tidak, Helios, jangan."

"Kenapa?"

"Biarlah mereka mengenangku dengan cara mereka sendiri. Aku tidak bisa kembali. Kalau aku kembali, Maerda mungkin terancam bahaya. Kau tidak melihatnya? Kehadiranku di dalam Maerda membawa bencana. Aku menyakiti kalian semua." Cakra mengembuskan napas berat. Ia tidak ingin menangis, tapi air matanya lolos. "Sudahlah, Helios. Pikirkan saja dirimu yang akan selamat, keluar dari tempat ini, dan bertemu dengan Ruby."

Helios tidak menjawab.

Cakra akhirnya melirik ke tangannya. Ia dan Helios sudah berbincang selama tiga puluh menit. Ia lalu bangkit. "Baiklah, waktuku habis. Kumohon, bertahanlah sebentar lagi."

Helios mengangguk. Menatapnya dengan tatapan penuh arti.

"Jangan menatapku seperti itu," ujar Cakrawala.

"Seperti apa?"

"Seperti...menyayangiku. Aku tidak suka."

Helios bergeming.

Cakra mengambil tali yang terletak tak jauh dari tiang tempat Helios biasa tergantung terbalik. Ia lalu mendekat, dan Helios sudah menyerahkannya kedua tangannya yang terlipat ke belakang. Cakra terkekeh, ia mulai mengikat kembali kedua tangan Helios seperti semula. Ia membantu Helios duduk kembali di tempatnya. Mereka lalu saling memandang dan tersenyum kecil sebelum akhirnya harus berpisah.

"Percaya padaku, Helios. Kali ini saja. Untuk yang terakhir kalinya."

***

"Bagaimana?" Cakra bertanya dengan mendesak saat melihat Shaidan di ambang pintu.

Pemuda itu baru kembali dari pusat kota. Ia terlihat lelah. Shaidan tidak membawa ransel seperti terakhir kali Cakra melihatnya. Ini sudah berminggu-minggu, dan Shaidan terlihat jauh lebih kurus. Apa yang terjadi padanya, Cakra tidak tahu.

Shaidan Arjuan melewatinya begitu saja dan memilih duduk di meja.

"Kau kenapa? Ada apa, Shaidan? Kau berhasil menjual rumah itu 'kan? Bagaimana dengan kapalnya? Sudah disewa? Mereka datang tanggal berapa?" rentetan pertanyaan Cakra membuat Shaidan meringis.

"Satu-satu."

"Jawab saja!" Cakra sedikit berteriak.

Shaidan memutar badan, menatap lekat Cakrawala Corrado Djahrir. "Dengar, aku..."

Saat itulah Cakra tahu ada yang tidak beres.

"Kau mengkhianatiku?"

Shaidan mencengkeram bahu Cakra. "Pertama, aku sudah menjualnya. Uangnya lebih dari cukup untuk menyewa kapal feri serta para awak kapal, aku memesan tiket untukmu dan Helios keluar dari Pandawa, dan aku sudah memesan satu penginapan di luar negeri."

Tunggu...apa?

"Apa maksudmu?"

"Dengar," Shaidan mendesah, wajahnya menampakkan raut sedih yang mendalam. "Aku tahu seharusnya Helios pulang, ke rumahnya, ke keluarganya. Tapi..." Shaidan tercekat. "Ada yang memata-mataiku. Aku sampai di pusat kota dan langsung mencari agen untuk menjual bangunan dengan cepat. Tapi, intinya, ada yang tahu rencana kita. Sepertinya Ayahmu tahu."

Dan saat itulah semua kebahagiaan Cakra yang tadinya datang mendadak lenyap.

Digantikan rasa marah dan takut yang luar biasa.

Shaidan melepas cengkeramannya, dan membiarkan Cakra termenung untuk sejenak. "Maaf, Cakra, seharusnya aku lebih berhati-hati. Kapal itu akan datang besok malam. Kita harus segera mengeluarkan Helios dari sana dan pergi sejauh-jauhnya."

"Siapa yang membuntutimu?"

"Tidak tahu."

"Dan rencana ini...apakah bisa berhasil?"

Shaidan tercekat. "Ti...dak tahu."

Cakra mengembuskan napas berat. Jika sudah begini, apa yang bisa ia lakukan? Cakra harus fokus. Nanti malam, ia harus segera mengeluarkan Helios. Tidak ada waktu lagi. Jika ada yang memata-matai Shaidan, maka ada yang tahu keberadaannya di sini. Ada yang tahu maksud dan tujuannya datang ke desa ini. Ia harus segela mengeluarkan Helios sebelum terlambat.

Dan yang pasti, akan ada banyak orang yang berusaha menggagalkannya.

Cakra tidak mau gagal.

Cakrawala Corrado harus berhasil. Satu kali saja.

***

Voler Haut | Haechan X RyujinWhere stories live. Discover now