Mimpi

102 12 6
                                    

" Tanpa terasa aku sudah lama tinggal di pulau ini. Sampai sekarang aku tidak menyangka bisa menjalani hari-hari yang awalnya berat menjadi biasa seperti ini."

" Ini sudah biasa bagimu?" Taerae merespon perkataan Hanbin sambil merapikan buku-buku yang dia jual di toko.

" Ya, aku rasa aku sudah beradaptasi dengan sekolah, asrama, maupun ditempat bekerjaku ini. "

" Ya, baguslah. Tapi, ngomong-ngomong kamu sudah memikirkan tugas dari Pak Parhan. "

" Tugas? Astaga! Besok harus dikumpulkan bukan! Ah, aku terlalu santai sama segala hal sampai aku lupa ada tugas penting yang harus kukerjakan besok. "

" Aduh, aku kaget mendengar suara kerasmu itu. Sudahlah, kau jangan khawatir. Kau tahu aku ini Taerae dan pekerjaan sampingku selain di toko buku ini adalah joki tugas bagi anak-anak yang lalai sepertimu. "

" Hanbin terkejut mendengar jawaban santai dari Taerae. Dia memandang Taerae dengan tatapan tak suka. "

"Joki? Benarkah itu Taerae? "

Taerae menyadari pandangan tak mengenakkan itu mengarah kepadanya. Segera, dia langsung mengubah situasi dan keadaan.

" Ah, tidak Hanbin. Aku cuma bercanda. Ingat, bercanda! "

" Baiklah, jangan sampai kepintaranmu itu untuk hal yang tidak-tidak."

" Oke, aku akan membeli buku ini."

" Wah, kau mau kuliah Hanbin. "

" Ya, aku ingin sekali. Selain ilmu, bisa saja aku bisa menemukan lebih banyak teman dan pengalaman disana. "

Tak lama, Zhanghao tiba di tempat mereka. Dia mengajak Hanbin untuk pulang bersama dengannya nanti setelah bekerja.

"Bagaimana denganmu Taerae, apakah kau tertarik untuk berkumpul dengan kami. "

"Aku rasa aku tidak bisa, sehabis pulang aku harus mengerjakan tugas matematika. "

"Matematika, bukannya masih 3 hari lagi? "

"Aku mau mengejakannya dari sekarang. Aku tidak biasa mengerjakan tugas secara deadline. "

"Hmm, baiklah. "

Di perjalanan pulang, Hanbin kembali ditanyakan mengenai mimpinya dan jawabannya tetap sama. Dia ingin kuliah setelah sekolah di daerah terpencil ini.

"Baguslah, Hanbin. Kau memiliki rencana masa depan yang jelas. Berbeda dengan anak-anak yang tinggal di pulau ini. Setelah tamat, otomatis mereka akan berjuang untuk kehidupannya masing-masing."

" Aku tahu. Rata-rata mereka anak yatim piatu dan setelah sekolah usai mereka harus mandiri bekerja untuk membiayai keperluan mereka sendiri tanpa bantuan siapapun."

Di tempat lain, tepat di dangau perkebunan Pak Cheongsan. Kim Jiwoong tersenyum senang saat menerima upah dari bosnya. Segera, ia tak sabar untuk berkumpul di markas nanti. Disana mereka akan membahas tentang sesuatu yang sudah lama direncanakannya.

"Mimpiku dan mimpi-mimpi sahabat ku. Jika tekun semuanya akan terwujud."

Dua bulan lalu,

Perkebunan teh sedang ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Kim Jiwoong dengan peluh yang mengucur di sekujur tubuhnya tengah membawa karung berisi teh tersebut.

Seorang pria berumur sekitar 30-an memandangnya dari jauh. Pak Cheongsan sang kepala kebun menegurnya.

"Maaf tuan, ada apa gerangan memperhatikan anak buah saya seperti itu. Jika ada urusan dengannya, maka kau harus menemuiku dulu sebagai bosnya. "

"Ah, maaf tuan. Namaku Lee Jeong dan aku berasal dari Seoul. Aku hanya wisatawan disini, sampai akhirnya aku tersadar mungkin saja beberapa anak buahmu tertarik dan bisa kubawa ke Seoul nanti. "

"Maaf tuan, dia memang bekerja di kebun tehku. Tapi mereka masih bersekolah disini. Mereka masih dibawah umur, jadi tidak sepatutnya anda memiliki rencana terhadap mereka yang masih dibawah perlindungan negara ini. "

"Akh, kau sudah terlalu jauh salah paham denganku tuan. Baiklah, aku akan memberikan ini dan juga kartu namaku. "

Lee Jeong memberikan sebuah brosur dan kartu nama milik dirinya. Disaat itu Pak Cheongsan terbelalak dengan sosok orang yang ada didepannya.

"Aku Lee Jeong, aku bekerja di agensi OneW Entertainment. Dan aku tertarik dengan beberapa anak buah anda. Bisa jadi mereka bisa menjadi idola besar di masa depan. "

Pak Cheongsan tersenyum senang, segera ia memanggil Jiwoong dan Yujin yang sedang membawa karung di gudanngnya.

" Ayo, nak. Ada orang besar yang ingin menemuimu. "

Lee Jeong bertemu dengan Kim Jiwoong dan Han Yujin dan mereka mengobrol banyak tentang masa depan anak-anak itu. Idola di masa depan. Dari tawaran itulah, Jiwoong dan Yujin mulai menyusun harapan dan mimpi-mimpi mereka.

"Apakah, teman-teman ku juga bisa mengikutinya. "

" Tentu, tapi sebelum itu kau harus menampilkan sesuatu yang menarik untukku dan teman-temanmu itu. 3 bulan lagi, aku akan mengadakan audisi di balai pasar. Jika mau tampil secara ramai, aku benar-benar tidak keberatan."

Dua bulan kemudian...

Semenjak ada Hanbin tentu ada yang berubah di markas. Tepatnya semenjak Zhanghao menawarkan tempat untuk menyimpan barang-barang Hanbin. Namun setelah sekian lama, Zhanghao ingin semua anak-anak yang ada di kamar no. 10 untuk berkumpul semua di markas sore nanti. Hanbin tak ambil pusing, dia ikut saja asalkan bisa berkumpul dan bermain dengan teman-temannya.

Sementara di ruang Pak Kepala, terjadi percakapan serius antara Pak kepala dengan Pak Hanbin.

"Maaf, Bapak. Tapi setelah kuperhatikan dalam beberapa hari ini. Menu makanan anak-anak kebanyakan tidak bergizi."

"Anak itu sudah terbiasa dan buktinya mereka tambah kuat, bukan. Mereka harus terbiasa dengan keadaan dunia yang akan mereka hadapi di luar nanti. "

"Bagaimana dengan fasilitas lainnya, aku melihat selimut yang ada di asrama juga begitu tipis. Anak-anak pasti kedinginan jika malam begitu dingin."

"Tidak apa, itu akan membuat mereka tambah kuat saat hidup di luar nanti. Sudahlah Pak, fokus saja menjadi guru sewajarnya selama engkau mengabdi di sekolah ini. "

Pak Parhan kecewa dengan jawaban yang ia terima dari Pak Kepala. Dia berjalan keluar dari ruangan Pak Kepala dan pergi keluar dari sekolah menggunakan motor yang sudah disewanya dari Pasar. Dia pergi keluar dari sekolah. Entah kemana.

Sementara itu, di kamar nomor 9.

"Ukh,, ukh,, "

Ricky menggigil sambil membalut tubuh dengan mantel dan selimut tipis miliknya. Dia di kamar sendirian, dalam kondisi seperti itu dia membayangkan Ibunya datang tiba-tiba ke dalam asramanya.

Rasa rindu tiba seolah bayangan Ibunya tiba di tempat tidurnya. Seolah memberi harapan akan datangnya pelukan yang hangat.

"Ibu,, ibu,, "

Ricky memanggil nama ibunya. Namun, Ibunya malah menjauh dari dirinya. Ricky menggoyangkan tangannya ke arah ibunya. Namun Ibunya semakin menjauh.

Pandangannya melemah dan semuanya tampak bergoyang-goyang. Lama kelamaan pandangannya kabur hingga semuanya menjadi hitam. Gelap.



The Savior (End) [SUNG HANBIN]Where stories live. Discover now