Kesal

673 68 8
                                    

Gadis itu memasuki vila bambu dengan tangan terkepal. Ekspresinya ketika marah benar-benar terlihat imut, namun tetap saja aura yang terpancar di sekujur tubuhnya sangat menyeramkan.

Sssrak!

Tiba-tiba saja pria ber tsing-yi hijau tua itu muncul di hadapannya. Raut wajahnya tak begitu ramah dan mereka saling menatap satu sama lain.

"Minggir!" ujar gadis itu dengan dingin.

"Apa kau mau membunuhnya?"

"Tidak, tapi aku akan mematahkan punggungnya!"

"Xiao Lanhua," tegur pria gagah yang sedari tadi sengaja menghadangnya.

"Ayah, jangan coba-coba membelanya. Aku janji tidak akan membuatnya terbaring di tempat tidur selama sebulan," balas Lanhua masih bersungut-sungut.

Di Feisheng terkekeh, kemudian mencubit dagu putrinya yang cemberut dengan gemas.

"Ayah!" kata Lanhua sambil menghentakkan kaki.

"Baiklah, ayah akan membiarkanmu menghajarnya, tapi dengan syarat."

Belum sempat sang ayah menyatakan syarat, Di Lanhua sudah terlebih dulu menarik senjata kesayangannya dan menyerang. Dia tahu kalau Di Feisheng pasti akan membela Li Lianhua.

"Sama liciknya dengan ayahmu yang satu itu," ujar Di Feisheng yang sudah berhasil menghindar sejauh dua meter.

Lanhua tersenyum, menggerakkan pedangnya sekali hingga berubah ke bentuk pedang normal sepanjang tujuh puluh senti. Tanpa menunggu lama, dia melesat ke depan sambil menghunuskan pedangnya dengan lincah. Di Feisheng sendiri masih tak mengeluarkan senjatanya. Dia hanya berusaha menghindari serangan Lanhua dan menyentil pergelangan tangan putrinya sehingga gadis itu mengaduh. Lanhua kembali menyerang dengan lebih ganas, dia bahkan berhasil menendang tulang kering Di Feisheng hingga mundur beberapa langkah.

"Baik, akan kuturuti permintaanmu." Di Feisheng menarik pedang besarnya dari balik punggung dan bergerak menuju Lanhua.

Suara dentingan dua pedang yang beradu itu terus terdengar hingga beberapa menit.

Keduanya terengah-engah, tapi Lanhua terlihat agak pucat dan dia berusaha mengatur napas sambil memegangi dadanya yang terasa agak nyeri. Di Feisheng yang khawatir segera menghampiri Lanhua, "apa ada yang sakit?" tanyanya.

"Kena kau!" kata Lanhua memukul dada sang ayah menggunakan ujung gagang pedangnya.

"Ugh! Dasar kau rubah kecil," kata Di Feisheng mengusak puncak kepala Lanhua.

Mereka pun berjalan beriringan, dengan tangan kanan Lanhua melingkar di pinggang Di Feisheng. Sementara tangan kiri pria itu mendekap bahu putrinya.

***

Malamnya....

Terdengar bunyi kriut pelan saat pintu kayu kamar itu tergeser ke samping. Orang itu melangkah masuk tanpa bersuara layaknya hantu. Dia tersenyum memandangi wajah gadis yang tengah tertidur lelap di hadapannya dan perlahan duduk di pinggiran tempat tidur untuk membelai kepalanya dengan lembut. Setelah beberapa saat, dia memberi kecupan kecil di dahi putrinya dan berniat untuk keluar.

"Ayah."

Suara itu menghentikan langkahnya. Dia masih tak bersuara saat gadis itu mulai menyalakan beberapa lilin hingga ruangan itu kembali terang.

Di Lanhua menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil menggembungkan pipi. Bagaimanapun masalah tadi siang bukanlah masalah yang sepele dan ayahnya telah menipunya. Ya, menipunya!

Li Lianhua tertawa kecil, dia meraih tangan mungil Lanhua dan mengajaknya duduk.

"Coba katakan apa pembelaanmu Tuan Li," kata Lanhua kemudian.

"Tidak ada. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh hanya menolong manusia saja kan?"

"Lalu kenapa ayah tidak bilang dari awal, kalau yang akan aku bantu persalinannya itu adalah seekor sapi! Aku! Benci! Ayah!" kata Lanhua memukul lengan Li Lianhua bertubi-tubi, mengungkapkan kekesalannya yang sedari tadi siang terus dia pendam.

***

Pagi itu, Li Lianhua menyuruh Lanhua mengambil alih pekerjaannya di klinik, karena dia harus pergi ke panti asuhan sekaligus sekte 'tanpa nama' bersama Di Feisheng untuk mengajar kemampuan dasar bela diri kepada murid-murid yang terpilih. Sebelumnya Nyonya Zhang, si pemilik peternakan sapi, sudah membuat janji temu dengan Li Lianhua untuk memeriksa sapi kecilnya yang tak kunjung lahir, makanya dia memberi tahu Lanhua kalau dia harus ikut bersama Nyonya Zhang, karena pasiennya tidak bisa datang ke klinik. Tentu saja, Di Lanhua dengan patuh menuruti perkataan ayahnya. Hanya saja dia tidak tahu kalau dia harus membantu seekor sapi beranak, bukannya persalinan seorang ibu. Sesampainya di lokasi, dia memang terkejut dan kesal sampai-sampai giginya gemeletuk. Tapi, begitu melihat kondisi induk sapi yang terlihat tidak sehat, dia berusaha sebaik mungkin untuk mencari penyebabnya.

Proses kelahiran sapi kecil itu cukup sulit, bahkan separuh tubuhnya sempat terjepit beberapa menit dan membuat semua orang panik karena takut jika bayi sapi akan kehabisan napas. Di Lanhua tanpa banyak bicara, melakukan apa yang seharusnya dia lakukan sebagai seorang tabib. Tak lama kemudian seisi peternakan bersorak begitu melihat bayi sapi di pelukan Lanhua itu membuka matanya. Sebenarnya dia juga ikut senang melihat senyuman orang-orang di sekitarnya, tapi masalahnya persalinan hewan lebih ini lebih heboh dari yang dia bayangkan. Bajunya basah oleh darah dan cairan lain yang baunya mengerikan, sementara dia tidak membawa baju ganti. Untungnya, Nyonya Zhang meminjaminya baju, yah meskipun ukurannya cukup membuat tubuh kecilnya tenggelam di dalamnya. Selain itu, dia masih harus mandi beberapa kali hingga bau itu benar-benar hilang. Hal itulah yang semakin membuatnya ingin mengamuk pada Li Lianhua.

***

"Apa bayi sapinya lucu?" tanya Li Lianhua masih menatap Lanhua yang membuang muka.

"Lucu!" jawab gadis itu dengan ketus.

"Baiklah, baiklah. Ayah minta maaf, lain kali ayah pasti akan memberi tahumu dengan jelas saat meminta tolong."

Di Lanhua masih tidak menoleh, meskipun dia tak sekalipun melepaskan genggaman sang ayah.

"Xiao Lanhua."

"Humph!"

"Baobei."

"Jangan panggil aku baobei."

"Tapi kau memang bayiku."

Gadis itu perlahan menoleh, masih mengerucutkan bibir.

"Maafkan ayah," ujar Li Lianhua menepuk-nepuk punggung tangan putrinya.

"Baiklah," ujarnya disertai dengan senyuman yang mengembang di wajah cantiknya.

Li Lianhua kemudian mengeluarkan sebuah vial beserta kantong kecil dari sakunya. "Minum ini, baru makan permennya."

Di Lanhua mengangguk, kemudian membuka botol kaca kecil itu dan mengendusnya. Dia pun terbatuk sambil menutupi hidungnya dengan lengan baju. "Ya ampun, apa ini? Kenapa baunya kuat sekali?"

"Yang pasti lebih kuat dari yang terakhir kali kau minum," balas Li Lianhua.

Di Lanhua berdehem, kemudian menghabiskan isinya dalam hitungan detik. Setelah sepuluh menit, barulah Di Lanhua merasakan efeknya dan mengangguk. Li Lianhua menuang air untuk putrinya dan menyuapinya permen karamel yang dia bawa tadi.

Setelah Di Lanhua kembali tidur, Li Lianhua segera keluar dari kamarnya.

***

Li Lianhua hampir mengumpat saat melihat sosok itu berdiri di kegelapan.

"Apa dia baik-baik saja sekarang?" tanya Di Feisheng tampak cemas.

"Ya. Kelihatannya dia memang harus meminumnya setiap hari. Untung aku sudah punya stok untuk seminggu," balas Li Lianhua.

Mereka berdua terdiam, mendengarkan hembusan angin yang datang bersamaan dengan suara jangkrik. 

"Sebaiknya kita periksa lagi tempat itu, mungkin kita bisa menemukan petunjuk tentang kondisi Lanhua saat ini," kata Li Lianhua kemudian.

Di Feisheng mengangguk. Mungkin memang hanya desa itu yang dapat memberi mereka jalan keluar atas masalah Lanhua.

Keluarga Li LianhuaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora