Prolog

168 19 4
                                    

Prolog
[Ini Soal Mereka Berdua]

PoV: Vera

Ran itu gemasnya minta ampun. Di antara teman-temannya dari kecil, guru, wali murid, bahkan sampai para tetangganya pun dibuat gemas hanya dengan cara jalan atau tatapan polosnya yang masih ada sampai sekarang. Bayangin aja, pas dia lagi ngomong atau cerita soal hal yang dia suka, kayak ada bling-bling gitu loh di matanya. Imut banget, kan?

Kalau kalian bandingin antara fotonya pas TK sama yang sekarang, percaya, deh, pasti gak cuma gue yang mikir kalau badannya Ran doang yang tumbuh. Wajahnya tuh sumpah, kayak gak pernah berubah. Pipinya gue sebut sebagai pipi yang "unyel-able" banget. Wajahnya nyenengin banget karena senyumnya hampir nggak pernah luntur. Kalau dia lagi nggak senyum, kadang nyeremin, sih. Matanya tuh kayak rubah, tajam gitu ujungnya, jadi kalau lagi bombastic side eye, kerasa banget julidnya.

But, anyway, hal mengejutkan yang membuat hati mungil ini sedikit tersentil adalah ketika mengetahui bahwa Ran, adik paling berharga gue sedunia, confess soal perasaanya ke sahabat gue sendiri. Bukan nentang, cuma agak kaget aja.

Gue masih ingat dengan jelas pagi-pagi sebelum berangkat sekolah habis Persami, Ran datang ke rumah gue, ngetuk pintu kamar sambil senyum cerah banget. Biasanya juga senyum, sih, tapi ada yang beda aja gitu.

"Kak Vera mau dapat pahala gak?" tanyanya langsung begitu gue bukain pintu.

"Buset. Pagi-pagi udah ngingetin gue banyak dosa aja. Kenapa? Tumben mampir dulu?" Biasanya Ran suka bareng temen-temennya, Riyan sama Chiko. Mereka berdua ini teman mainnya Ran dari kecil, udah kayak saudara.

"Mau bagi-bagi pahala. Mau nggak?" ulangnya mempertegas.

Gue ingat-ingat waktu itu dia dandannya dua kali lebih rapi, lebih wangi, lebih seger aja gitu. Gue pelototin dari ujung kaki sampai kepala sambil mengernyit.

"Cake mana lagi yang sedang kau incar, wahai Kisanak? Mau berapa?" kata gue seadanya sebelum balik badan kembali ke depan meja rias.

"Enak aja, dikira Ran cowok apaan minta-minta ke cewek."

Seketika gue yang lagi apply pelembab bibir waktu itu segera balik badan lagi, sedikit lari mendekat, terus megang jidatnya. "Setan mana yang ikut kebawa pulang, Ran? Kenapa gak dari dulu kesambetnya? Are you ok?"

Ran langsung narik kepalanya mundur, mendengus sebal. "Ih, serius tahu, Kak. Mau pahala gak?"

"Hm? Gimana?" gue ladenin aja, ya, kan, daripada tantrum.

"Hari ini doain Ran sukses ujian, ya!" serunya tiba-tiba. Sepintar-pintarnya Ran gue baru pertama kali lihat dia se-excited itu pas mau ujian.

"Udah? Minta doa doang?" Dia ngangguk.

"Ujian apa, sih? Habis Persami langsung disambut ujian, kapan belajarnya?" Gue balik lagi ke depan kaca, lanjut siap-siap.

"Udah hampir dua bulan yang lalu," jawabnya.

"Buset. Ini mau sekalian belajar UTBK apa gimana? Baru juga kelas sepuluh." Gue pikir dia becanda karena emang hobinya kadang ngerecokin gue.

"Ini beda. Penting banget."

"Sepenting itu sampai tumben-tumbenan minta restu ke gue dulu?" Dari kaca dia kelihatan ngangguk semangat banget.

Dan klimaksnya adalah pas dia nyeletuk, "Ran mau ujian kehidupan. Hari ini Ran mau bilang suka ke kak Gya, dan sebagai sahabatnya, kak Vera harus kasih doanya ke Ran."

Gue yang waktu itu lagi ngolesin liptint seketika buyar konsentrasi gara-gara yang dibilang Ran.

"Itu mah uji nyali, Ran!" seru gue sambil balik badan entah yang keberapa kali.

"Makanya itu, doain Ran," kata dia makin sumringah.

Gue lihatin lagi dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pantesan aja dia tambah rapi, orang yang mau dia caperin cewek paling paham aturan di sekolah.

"GWS aja kalau kata gue, mah!"

Dan gitulah kira-kira. Gak tahu lagi pelet apa yang dipakai Ran bisa buat Gya bilang "iya".

Gya itu baik banget sebetulnya, sayangnya sisi baiknya ketutup sama wajah dingin dan sikap tegasnya. Dia bukan tipe-tipe senior incaran satu sekolah yang ketus dan galak ke semua orang kayak di novel-novel gitu, kok. Dia cewek normal pada umumnya. Cuma ya emang, perannya sebagai wakil ketua OSIS yang di periode ini lagi berusaha memperketat program pendisiplinan peraturan sekolah aja yang ngebuat semua orang jadi mewaspadai dia saking tegasnya.

Kadang gue kasihan, kadang juga takjub sama dua spesies ini. Sikapnya udahlah jomplang banget, hobinya beda, bahkan kemampuan akademik mereka juga lain. Gue sama Gya seringnya ngobrol pakai bahasa Inggris tiap ada kesempatan ngomong berdua, tapi Ran? Gue yakin seratus persen mulut Gya gatel banget buat nggak ngebenerin pengucapan bahasa Inggrisnya Ran. Anak itu pinter, cuma bukan di bahasa. Otaknya main banget buat pelajaran logika. Sedangkan gue sama Gya sering jadi partner lomba debat bahasa Inggris dari dulu, bedanya dia pelajaran ngitung juga pintar, sedangkan gue bloon banget. Yah, intinya itu yang ngebuat gue amaze banget sama nih dua ekor. Kok bisa mereka bertahan?

Tapi, ini bukan soal perspektif atau judgement gue soal mereka, karena justru gue yang sering banget jadi penjembatan dua orang ini. Bagi gue gimana pun juga, Ran adalah manusia rapuh di mata gue, sedangkan Gya, sama aja, sih, cuma beda casing doang. Melihat hubungan mereka yang seolah terombang-ambing nggak jelas di tengah laut antah berantah membuat gue sejak beberapa saat yang lalu memutuskan untuk membantu mereka.

Unfortunately, I really have no clue kalau sesuatu bakal terjadi sebentar lagi. Sesuatu yang meruntuhkan semua misi gue. Gya membuat keputusan mengakhiri hubungan mereka. Terus, gimana nasib adik gemas gue? 

3 Reasons Why We Should Break Up[End]Where stories live. Discover now