Chapter 14[Alasan Sebenarnya?]

17 4 1
                                    

Gya menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia melihat seorang gadis dengan senyuman tipis dan pita putih yang terpasang di rambutnya. Anggun, manis, dan ceria. Selayaknya gadis seusianya yang hendak pergi berkencan dengan orang yang mereka sukai. Akan tetapi tak lama kemudian pintu kamarnya diketuk, dan dalam hitungan detik pita itu terlempar kembali masuk ke dalam laci meja riasnya. 

Gya berbalik ketika pintu itu terbuka. Vera berdiri di sana, dengan gaun broken white di bawah lutut dengan pita serupa di rambutnya. Gya tertegun beberapa saat. Lihatlah temannya itu, dengan rambut gelombangnya yang sedikit dibuat berantakan untuk menambah kesan natural membuatnya seperti putri negeri dongeng yang pemberani dan punya banyak cerita ajaib.

"Loh, pita yang gue kasih mana? Kok gak dipakai?" tanya Vera masih dengan satu tangan di ambang pintu sementara tangan satunya memegangi kenop pintu.

Gya menggeleng, mengalihkan pandangan. Merapikan rambutnya yang berantakan karena pitanya dilepas asal-asalan. 

"Huh, sudah terprediksi," lenguh Vera menggelengkan kepalanya. "Gue tunggu di bawah, ya." 

Begitu Vera menutup kembali pintu kamarnya, Gya meraih slingbag putih miliknya dan hendak menyusul Vera turun. Namun, langkahnya tertahan kembali di depan cermin yang seolah menatap dirinya kasihan. Kini yang ia lihat hanyalah seorang gadis dengan hidup membosankan, ekspresi datar yang seolah siap menerkam siapa saja yang melanggar peraturan di acara nanti. Matanya menyorot pantulan diri sendiri dengan ekspresi lelah karena kegiatan beberapa hari terakhir ini, ditambah lagi gaun hitam membosankan yang rasa-rasanya lebih pantas digunakan untuk acara berkabung dibanding prom night. Warna hitam itu entah mengapa seolah menambah kesan dingin dan menciptakan dinding kokoh di sekitar perempuan itu. Dua hal yang tampak menghidupkannya malam ini hanyalah tas putih dan sneakers hitam putihnya yang jarang digunakan.

"Good for you," sarkas Gya pada pantulannya sendiri sebelum ia berlalu meninggalkan ruangannya.

***

Malam itu halaman sekolah seolah diselimuti dengan sihir yang mengubahnya menjadi taman yang indah. Lampu-lampu kuning temaram dipasang di antara pepohonan, dan meja-meja bundar ditata rapi memenuhi setiap sudut. Lantunan iringan musik menggema dari arah aula sekolah di gedung Utara seolah menyambut setiap tamu undangan untuk menari dramatis di bawah sinar bulan yang terang saat itu.

"Wah! Kak Gya keren banget," celetuk Ran setelah tiga pemuda itu menunjukkan form pendaftaran kepada petugas di pintu masuk yang langsung menunjukkan letak meja mereka. 

"Kok Kak Gya doang? Anak OSIS dan terlebih lagi ketuanya juga berperan, dong, pastinya," sahut Chiko yang berjalan di sebelahnya dengan setelan jas rapi.

"Kak Bara maksudnya? Ck, ck. Kalau Kak Bara kerja banyak, nggak mungkin dari bulan lalu semua-muanya Kak Gya. Ke jasa printing Kak Gya, check proposal dan anggaran Kak Gya. Mungkin juga yang ngurusin penataannya ini Kak Gya." Ran menimpali dengan menggebu-gebu. Diam-diam dia sedikit menyalahkan ketua OSIS sekolah mereka itu. Ran selalu berpikir jika saja semua tugas itu tidak dilimpahkan oleh ketua OSIS kepada Gya, barangkali seniornya itu punya sedikit waktu untuk bersantai dan menghabiskan waktu dengannya, meskipun kini semuanya sudah terlambat.

"Kalian mau apa?" tanya Riyan sesaat mereka berada di hadapan berbagai meja yang menjajakan dessert dan kudapan lainnya.

"Gue mau ice cream," kata Chiko kemudian mentap jahil ke arah Ran, "biar Ran nggak minta."

"Ish! Toh, ngapain Ran minta, kan bisa ambil sendiri," sahut yang dimaksud, tidak terima.

Mereka lantas berpencar untuk berkeliling mengambil jajanan yang mereka inginkan untuk dibawa ke meja mereka. Butuh cukup banyak waktu hingga akhirnya orang terakhir di antara mereka sampai ke meja dengan dua nampan berisi beraneka ragam kudapan.

3 Reasons Why We Should Break Up[End]Where stories live. Discover now