Chapter 8 [Misi 1: Gagal]

19 4 3
                                    

Please give your support by voting for this chapter, leaving a comment, and adding this story to your library. We'll appreciate it if you share this story with your friends.

Happy Reading!

***


Chapter 8

[Misi 1: Gagal]

Petaka. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan Jum'at pagi yang Ran nanti-nantikan sejak awal pekan. Saking semangatnya dia membayangkan akan bertemu Gya dan membantunya berjaga di depan gerbang sepertia ia membantu anggota OSIS lainnya beberapa hari ini, Ran jadi tidak bisa tidur hingga lewat tengah malam. Alhasil, ketika jam sudah menunjukkan pukul 6:45, dia baru terlonjak kaget, bangkit dari tidurnya.

Dan saat ini, pukul 7.10, matanya bertatapan dengan mata tajam Gya yang berjaga di gerbang gedung Utara. Seniornya itu menatapnya dengan pandangan yang jelas ditakuti semua siswa di sekolahnya. Akan tetapi, Ran, alih-alih merasa takut, dia justru merasa canggung bercampur salah tingkah ditatap seperti itu, jadi dia malah tersenyum kikuk sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"S-selamat pagi, Kak Gya," sapanya mengurai kecanggungan.

"Pagi," jawab Gya tanpa menyadari petugas piket lain sedang menatap mereka, ikut gugup untuk Ran sekaligus takjub dengan keberanian murid satu itu. Setidaknya yang mereka tahu  adalah dua orang itu masih memiliki hubungan, dan itu membuat interaksi keduanya menjadi tontonan yang menarik. Bagaimana Gya menegaskan hukum sekolah kepada orang yang dekat dengannya?

"Segera isi formulir keterlambatan. Tolong Rena periksa kelengkapan atributnya."

Ya. Lagipula apa yang mereka harapkan dari Gya yang jelas-jelas pernah menjebloskan Ran masuk ke Ruang Kedisiplinan tepat setelah siangnya diberi "pemecatan" dari status hubungan mereka? Huft, seandainya mereka tahu. 

Tak perlu menunggu hingga dua kali perintah, seorang anggota OSIS segera mengarahkan Ran untuk mengisi surat keterlambatan sebagai izin masuk kelas, kemudian mengingatkannya untuk mengikuti evaluasi kedisiplinan sepulang sekolah. Apa boleh buat. Ran berjalan pasrah melewati Gya yang bersiap kembali ke gedung Selatan.

Nggak apa-apa, kan masih ada nanti habis evaluasi. Seketika seutas senyum terbit kembali di bibirnya.

***
Jam kosong yang menyenangkan bagi semua siswa, terkadang justru saat yang paling membosankan bagi Ran. Seperti saat ini. Dia sudah selesai memainkan dua kali permainan dengan teman-temannya yang memilih mojok di bangku paling belakang, dan dia menggerutu ketika tidak menemukan tugas yang bisa dikerjakan untuk mengisi kebosanannya.

"Chiko, Riyan ... bosen. Ayo ke kantin," ajak Ran. Cowok itu meletakkan ponselnya ke meja dengan sedikit keras lalu melorotkan tubuhnya ke sandaran kursi.

"Bentar, Ran. Satu kali lagi, deh," kata Riyan yang sudah bersiap masuk ke ronde berikutnya.

"Ck. Udah capek," gerutu Ran mencebik.

"Itu di tas gue masih ada PR matematika, Ran, ambil aja," celetuk Chiko yang sudah tahu cara membungkam Ran saat sedang bosan.

Ran menurut saja. Dia menuju bangku Chiko dan mengambil buku tulis yang diselipkan di dalam buku modul. Sayangnya, Ran langsung menepuk jidat lantas menggerutu, "Kalau gini, mah, bukan puyeng ngerjainnya, tapi puyeng baca tulisannya."

Ran memasukkan lagi buku Chiko dan kembali ke belakang. "Nggak jadi," gerutunya.

"Iya, iya, ntar habis ini. Janji, deh. Suwer," timpal Chiko yang selalu tidak bisa bersikap biasa saja jika melihat temannya yang satu itu ngambek.

"Yaudah. Tapi, Ran nggak ikut, ya," pasrah Ran akhirnya. Serempak semua teman-temannya yang berkumpul di sana menjawab dengn "iya" yang serempak, salah seorang bahkan mengimbuhi, "di tas gue ada jajan, Ran, ambil aja kalau mau."

Ran menggeleng sambil mengucap terima kasih. Bagaimana pun orang lain selalu memberi perhatian kepadanya, orangtuanya berhasil mendidik Ran agar juga mendahulukan orang lain. Lagipula karena tidak sempat sarapan tadi, dia diberi uang saku tambahan. Dia bisa membeli banyak makanan manis nanti di kantin. 

Cowok itu berdiri dan meregangkan otot-ototnya ketika salah seorang siswi yang duduk berkumpul di bangku deretan depan memanggilnya. "Ran, sini!"

Merasa dipanggil, cowok itu mendekat. "Kenapa, Bunga?"

"Sini ikut nonton. Bosen, kan?" timpal seorang siswi lainnya.

Ran mengangguk. Para murid itu segera menarik sebuah kursi untuk diduduki Ran. Jangan heran. Jika Riyan dan Chiko yang sudah sangat akrab dengan Ran sejak kecil saja masih bisa tanda ragu memanjakan dan mendahulukannya, apalagi para siswi di kelasnya yang lebih "membayikan" dia. Apalagi perempuan sangat mudah luluh dengan yang lucu dan menggemaskan. Ran bahkan heran apa yang membuat orang lain menilainya demikian. Padahal setiap dia bercermin, dia selalu berharap orang lain melihat sisi keren dan maskulin dari rahang tegasnya. Sayangnya orang-orang justru melihatnya imut karena senyum lebar dan mata sipitnya. Dia juga sampai bosan dipanggil "Baby Cindo" oleh teman-temannya.

"Ini film apa?" tanya Ran.

"Drakor, Ran. Ini, tuh, si cowok badboy, ceweknya banyak, tapi si cewek kulbet ini gak mau sama dia. Tapi di episode ini udah luluh, sih, ceweknya ...." Bunga, yang tadi memanggilnya, menjelaskan gambaran alur drama yang mereka tonton.

"Bener. Diam-diam ngejar balik malah, si ceweknya," sahut yang lain.

Ran mendengarkan seksama. Entah kenapa dia membayangkan tokoh perempuan di drama itu adalah Gya karena mereka menyebut cewek cool tadi, dan sekarang pikiran anehnya mulai memikirkan bagaimana kalau Gya mengejarnya balik? Itu membuat Ran tiba-tiba tertarik dan hanyut menonton bersama mereka. Sampai-sampai jika Riyan tidak menepuk pundaknya dan mengingatkan kalau tadi dia mengajak ke kantin, Ran pasti masih lanjut menonton meskipun ada beberapa bagian yang membuatnya merasa geli dan tidak mungkin terjadi di dunia nyata.

Apa Ran coba aja, ya? batin Ran.

"Senyum kayak biasanya kenapa, Ran. Nyeremin tahu kalau lo gak senyum gitu," Chiko mengusik lamunannya.

"Hm?" Ran tersadar dan menoleh.

"Senyum," ulang Chiko. Ran segera menuruti apa kata kawannya tanpa banyak berkata apapun. Chiko langsung saja menguyel-uyel pipi dan rambutnya karena gemas.

"Gitu, dong, Anak Baik, utututu!"

"Gak, gak! Ran mau coba jadi anak nakal," kata Ran, berusaha melepaskan diri dari "pemburu".

"Coba aja!" sahut Chiko masih gemas.

"Oke!"

"Sstt! Kelas lain masih pelajaran," Riyan mengingatkan. Dia memisahkan tangan Chiko dari wajah Ran dan berjalan di tengah-tengah mereka agar tidak terjadi perang dunia ketiga.

"Ck! Berantakan, nih, rambutnya!" gerutu Ran.

"Belantakan ni lambutnya, iih gemes." Hampir saja dia meraih pucuk kepala Ran lagi sebelum Riyan menahannya sambil melotot. Mengode kalau Ran memang sungguhan sedang kesal.

"Hehe ..." kikik Chiko paham kode Riyan. "Sori, Ran."

Pikiran aneh Ran tiba-tiba kembali datang. Lihat aja Senin besok! Kalau Chiko gitu lagi, Ran pukul di depan Kak Gya.



***

Waduh, Ran mau ngapain, ya, kira-kira?
Tungguin di bab selanjutnya, ya, wankawan ~

[Next Chapter: Di balik Tatapan Tajam Itu]

3 Reasons Why We Should Break Up[End]Where stories live. Discover now