Chapter 17 [3 Reasons Why]

21 2 2
                                    

Nyaris lima menit penuh, remaja laki-laki itu maju selangkah untuk kemudian berbalik mundur ke tempat sebelumnya ia berdiri. Ia menarik dan membuang napasnya frustasi. Bagaimana tidak, saat ini ia sangat gugup hanya dengan melihat kakak tingkatnya dari kejauhan. Dia merasa bersalah harus membuat Gya menunggunya, meskipun sebenarnya mereka sama-sama sampai tepat waktu, tetapi tetap saja, Ran membuang lima menitnya hanya untuk menyetabilkan degup jantungnya.

"Ran?" Ketika Ran sedang bimbang menunggu waktu yang tepat, rupanya Gya sudah menyadari kehadirannya dan melambai untuk memintanya mendekat.

"Haduh, ketahuan," gumam Ran sembari menggigit bibir bawahnya.

Mau tidak mau, remaja dengan knitted sweater putih itu melangkah mendekat sembari meyakinkan dirinya sendiri untuk bersikap biasa saja dan tidak perlu segugup ini. Sayangnya tetap saja, saking gugupnya, Ran sampai tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun ketika sampai di hadapan Gya.

Gya mengernyit. Ini sungguh aneh baginya meski pun dua kali pertemuan mereka sama-sama berakhir tidak baik, tetapi masih sulit baginya mempercayai bahwa Ran tidak datang dengan senyuman di wajahnya ketika menyambutnya. Entah kenapa hatinya seketika merasakan sebuah rasa sakit yang asing dan aneh. Apakah Ran masih marah terhadapnya? Bahkan ajakannya "berkencan" saat itu hanya dibalas dengan pesan singkat dan Gya-lah yang  akhirnya menentukan di mana mereka akan bertemu.

Dua menit berlalu dengan sangat lambat hingga akhirnya mata keduanya saling bertemu. AKan tetapi, Ran dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika Gya hendak membuka mulutnya. Rupanya Ran memang belum bisa memaafkannya.

"Kamu masih mar-"

"Stop!" Gya terkejut dengan interupsi yang datang dari Ran. Pemuda itu kini tak hanya memalingkan pandangannya, tetapi juga membalikkan badannya membelakangi Gya sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Maa-"

"Ran bilang stop dulu."

Gya merasakan ada gejolak yang semakin aneh dalam dadanya. Entah mengapa ada perasaan tidak terima karena dirinya tak dibiarkan mengucapkan sepatah kata pun oleh laki-laki itu. Kemudian, Gya berjalan ke hadapan Ran yang masih menutup wajahnya. Gadis itu menurunkan kedua telapak tangan Ran dengan kesal.

"Kenapa nggak bilang kalau memang nggak mau ketemu? Seharusnya nggak perlu repot mengiyakan ajakanku kalau memang masih marah. Oke, aku tahu sudah keterlaluan dan mungkin kamu mengira orang di hadapan kamu ini layak dibenci semua orang karena berani ngotorin mulut sendiri pakai alibi yang konyol, tapi-"

"Kak Gya," potong Ran membuat Gya, yang entah kenapa menjadi hilang kendali atas dirinya sendiri itu terbungkam. Cowok itu mundur satu langkah menjauh dari Gya. "Ran udah nggak marah, tapi Ran grogi banget lihat Kak Gya secantik ini."

Ran menutup kembali wajahnya yang memerah dengan kedua telapak tangannya sementara Gya terdiam karena apa yang baru saja ia dengar. Dia sangat payah menerima pujian seperti itu, apalagi Ran mengucapkannya dengan tiba-tiba seperti itu. Kacau. Dia benar-benar mempermalukan dirinya sendiri. "You better shut your mouth up, Gya!"

Lima menit berlalu dalam keheningan yang nyaring di antara mereka, sampai akhirnya Ran menyingkirkan tangannya dan angkat bicara. "Udah. Sekarang kita mau ke mana?" tanyanya seolah tak ada apapun yang terjadi barusan. Seolah beberapa saat lalu dia tidak membuat hati orang nyaris melompat dari tempatnya karena tak siap dengan pujian yang dilontarkannya.

"M-mau masuk aja?" Gya menawarkan. Ran mengangguk dan mengikuti Gya yang entah mengapa segera berjalan duluan seolah tidak ingin berjalan sejajar dengan pemuda itu. Diam-diam gadis dengan jaket denim yang melapisi turtleneck hitamnya itu merindukan kehadiran Vera di tengah-tengah mereka. Dia sungguh payah dalam berbasa-basi.

3 Reasons Why We Should Break Up[End]Where stories live. Discover now