Chapter 6 [He Deserves Better!]

23 3 1
                                    

Please give your support by voting for this chapter, leaving a comment, and adding this story to your library. We'll appreciate it if you share this story with your friends.

Happy Reading!

***

Chapter 6

[He Deserves Better!]

Tidak ada hari lain yang paling menyenangkan bagi Gya melebihi Sabtu. Awal dimulainya akhir pekan yang berarti dirinya bisa bersantai tanpa perlu menatap atau ditatap orang lain dengan pandangan dingin dan takut. Perlu digaris bawahi bahwa kata bersantai bagi Gya berarti menyelesaikan proposal, memeriksa ulang anggaran acara, serta mengerjakan tugas-tugas sendirian di dalam kamar. Bagian mengerjakan tugas adalah favoritnya. Sudah sejak pagi dia berkutat di depan layar laptop dan setelah dua jam ia mengistirahatkan mata, Gya berniat melanjutkan pekerjaannya lagi.

Sayangnya sejak lima menit yang lalu satu-satunya orang yang berani datang ke rumah dan mengganggunya sudah datang dan kini sedang memainkan ponsel di ranjangnya. Gya meletakkan segelas minuman dingin ke nakas untuk Vera.

Vera yang sedang terkekeh karena melihat video lucu di ponselnya melirik. "Oh, thanks." Dia segera meraih dan meneguknya perlahan.

"Jadi?" tanya Gya.

"Apa?" Vera meletakkan kembali gelasnya.

"Kamu ke sini bukan karena mau nugas bareng, kan? Jadi, kenapa?" Gya memperjelas maksud pertanyaannya sambil membuka laptopnya.

"Buset! Masa temennya mau main gak boleh? Ambis bener, Neng?!" celetuk Vera membenahi posisi duduknya.

Gya tidak menyahut, tapi itu justru membuat Vera berkata dengan sendirinya. "Gue mau dengar langsung dari lo alasan jujur kenapa lo mutusin Ran."

Gadis dengan kaos longgar dan celana selutut yang sangat santai itu tidak tampak terkejut sama sekali, malah bisa dibilang dia justru akan terkejut jika alasan Vera datang kemari bukan karena itu.

"I think I've told you that day," balas Gya mulai membuka file tugasnya.

"Yeah, yeah, I know that. But, I mean yang beneran jadi pertimbangan lo buat akhirnya mutusin hubungan kalian. Lo tahu gimana Ran dulu buat dapetin lo, kan? Dan kenapa setelah tiga bulan lo baru mutusin dia?" Vera menghujani Gya dengan pertanyaan.

Gya bukan orang yang terbuka dan biasanya dia lebih memilih tidak menjawab apa yang tidak ingin dia ungkapkan kepada orang lain, akan tetapi Vera sudah lepas dari aturan tak tertulisnya yang satu ini. Gya menjauh dari laptopnya dan menghadapkan tubuh sepenuhnya ke arah ranjang, tempat Vera yang kini sudah duduk tegap bersiap mendengarkan jawabannya.

"Actually I have three reasons why I decided to do that. I've already mentioned about the school law one, right?"[1] Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu ponsel Vera tiba-tiba berdering mengejutkan keduanya.

"Sorry, sorry, gue angkat dulu, ya." Vera berlalu ke luar ruangan setelah mendapat anggukan Gya.

"Hah? Vera baru sampai ini di rumah Gya ... enggak bisa, lah, lagi sibuk dia ... nanti aja kali, Nek ... haduhh ... iya-iya!"

Setelah percakapan samar-samar itu terdengar, tahu-tahu Vera masuk dengan wajah kusut. "Nenek gue nyuruh pada kumpul di rumahnya buset, kayak gak ada waktu aja besok, ck."

"Yaudah sana pulang dulu," kata Gya. Dia tidak keberatan harus cerita soal topik mereka tadi kepada Vera, tetapi akan lebih baik kalau dia bisa menghindari itu terlebih dahulu. Entahlah, dia ingin menunggu saat yang tepat meski dia sendiri tidak tahu kapan waktu yang tepat itu akan tiba.

"Nggak, nggak, lanjutin dulu ceritanya. Baru juga berapa menit nyampe," gerutu Vera kembali naik ke ranjang Gya.

Sayangnya ponselnya berdering lagi. Kali ini dari ibunya. "Haisshh! Ntar yak ... halo?!"

Gya meghadapkan kembali tubuhnya ke depan laptop sampai Vera masuk dan menggerutu lagi. "Lo mau ikut gue, gak? Diajak malam mingguan di rumah nenek nih," ajak Vera.

Jika keadaannya tidak seperti sekarang pasti dia mau-mau saja. Siapa lagi yang akan mengajaknya berkumpul jika bukan Vera dan keluarganya yang selalu menerimanya dengan hangat itu? Sementara orangtuanya sendiri sibuk ke luar kota atau masih mending mereka pulang malam saat dirinya sudah terlelap. Sayangnya Gya menyadari bahwa pasti akan ada Ran di sana dan dia tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Baginya mengatur eskpresi agar tetap datar tidak sesulit itu, tetapi dia tidak yakin Ran akan bisa bersikap biasa seperti dirinya.

"Next aja, deh, thanks for your invitation. Aku besok harus ke percetakan buat check banner, sekarang mau periksa yang lain dulu," dalih Gya.

Vera percaya saja dengan alasan itu karena sahabatnya memang orang sibuk yang tahu akan prioritas. "Yaudah, gue balik dulu, ya. Ck, padahal masih banyak juga minumnya. Gue abisin, nih, ya."

Gadis yang baru saja melepas jaketnya beberapa saat lalu itu berakhir kembali mengenakannya setelah meneguk habis gelas di atas nakas yang disiapkan Gya untuknya. Keduanya berjalan beriringan ke halaman rumah Gya yang malam ini lebih sepi daripada biasanya karena adiknya sedang di rumah pamannya.

"Pamit, ya, see you. Kalau besok perlu gue bantuin, chat aja." Vera berkata sembari merapikan rambutnya sebelum memakai helm. "Lo masih hutang cerita yak ke gue, jangan pura-pura lupa."

"Hm," balas Gya tak mau memperpanjang.

"Ini beneran lo nggak mau ikut? Daripada di rumah sendiri malming gini, kek jomblo aja lo. Eh." Gya tertawa kecil saat Vera menyadari kalimatnya sendiri barusan. Biasanya dia berkata seperti itu karena saat seharusnya pasangan-pasangan menghabiskan malam minggu dengan pacarnya, Gya sibuk berkutat dengan tugas dan hanya menghabiskan waktu paling maksimal lewat panggilan suara dengan Ran, tetapi sekarang dia tidak ke luar karena memang hubungan mereka sudah berakhir. Vera jadi kikuk dan merasa tidak enak.

"Dah, sana, hati-hati."

"Cabut, yak. Duluan!" Seiring motor Vera yang menjauh, Gya menatap halaman rumahnya yang dipenuhi beberapa pot bunga.

Ran pernah sekali datang dan membantunya mengurus tanaman-tanaman itu, Ran bahkan membuat buket dari beberapa bunga yang ada di sana. Dari caranya serta memangkas dan merangkai dengan cekatan waktu itu, Gya langsung paham bahwa Ran adalah orang yang lembut dan telaten. Jauh di dalam hatinya, gadis yang seperti kokoh berdiri di kakinya sendiri itu merasa butuh akan kehadiran orang seperti Ran di hidupnya yang monoton.

"Nope, Gya. He deserves better!" Gya segera menepis pikirannya barusan dan masuk ke dalam rumah.

***

[1] Aku udah nyebutin yang tentang hukum sekolah, kan? Tapi sebenarnya ada tiga alasan kenapa aku mutusin buat ngelakuin itu.

3 Reasons Why We Should Break Up[End]Where stories live. Discover now