#2

793 94 3
                                    

Seorang pemuda bertubuh semampai berjalan dengan gagah diantara kerumunan pengunjung bandara.

Pakaian yang formal, sepatu hitam mengkilap serta kacamata hitam menghiasi wajah tampannya. Tak ada aura hangat terpancar dari wajah itu, hanya ada hawa dingin menyelimuti sekelilingnya.

Namun begitu tak mengurangi pekikan dari omega dan beta yang berkeliaran. Aura alpha dominan benar-benar menguar dari tubuhnya.

"Aku sudah kembali ke Korea " ucapnya sambil terus berjalan.

"Oh iyakah welcome back to our country hahaha selamat datang kembali ke dalam kubangan neraka, ingat banyak dokumen yang harus kau tanda tangani segera" ucap seorang pria diujung sana.

"Kata siapa aku akan kembali ke kantor secepat itu, aku akan ke Samjinae menikmati festival lampion disana dan aku akan menginap disana selama beberapa hari" ucapnya.

"Yak Zhang Hao apa-apaan kau hah, tak beradab sekali kau menjadi bos, ingat cepat kembali atau aku bakar apartemenmu sekarang juga"

"Bakar saja aku tak peduli, ya sudah bye Ricky"

Sebelum Ricky kembali bersuara Zhang Hao sudah menutup telfonnya. Ia menghela nafas pelan, ia sedikit mengalami jetlag tapi bukan masalah. Ia harus cepat menemukan penginapan, dan membeli beberapa lampion.

"Antar aku ke Samjinae segera ya" perintahnya pada supir yang ada di depannya. Dan langsung diangguki oleh sang kemudi.

.
.
.

"Kenapa lampionku jelek sekali sih" gerutu Gunwook. Lalu di tertawai oleh Wonyoung.
"Kau itu tak pandai menggambar jadi terimalah".

"Yak beraninya kau mengejekku, dan gambar apa itu mana ada kelinci dengan ekor naga begitu huh" ejeknya

"Ini yang dinamakan imajinasi, kau takkan tahu" ucapnWonyoung.

Gunwook mendengus kesal, imanjinasi yang sangat amat di luar batas.
"Kak Hanbin bolehkah kau menggambar punyaku juga, aku menyerah"

Hanbin terkekeh pelan, wajah putihnya sudah kotor oleh cat air.
"Tentu saja, aku akan membantumu nanti"

Wonyoung menjulurkan lidahnya ke arah Gunwook, mengejek Gunwook yang akhirnya meminta bantuan pada Hanbin.

"Seharusnya kakak tolak saja permintaan si beruang madu itu "
"Apa-apaan beruang madu, yak Wonyoung sini kau, ku pukul kepalamu huh"

Akhirnya aksi kejar-kejaran pun tak terelakkan. Hanbin yang melihat pun hanya tertawa.

Siang itu begitu sejuk, angin musik gugur berhembus pelan menerbangkan surai hitam milik Hanbin. Juga dibawah rindangnya pohon maple yang daunnya mulai menguning.

Hingga kerikil kecil mengenai kepalanya.
"Lihatlah si cacat itu, ternyata selain cacat ia juga gila yah, kau lihat tadi ia tersenyum sendiri".

Disana ada 3 gerombolan pemuda desa, menertawakan Hanbin.
Gunwook dan Wonyoung berhenti berkejaran.

"Yak Gunwook Wonyoung menjauhlah dari Hanbin, kalian akan tertular sialnya bila terus berdekatan".

Gunwook mendekat lalu mendorong pemuda yang mengucapkan kalimat tadi.
"Diamlah pecundang, kau tak pantas mengeluarkan kata kotor seperti itu, lihat apakah kau sudah sempurna huh"

Hanbin mendekat dengan langkah tertatihnya, disampingnya ada Wonyoung juga.
"Gunwook sudahlah ayo kita pulang"

"Kalau tak pembawa sial lalu apa, orang tuanya saja tak mau mengakui"

"Jahat sekali kau Seokdae " ucap Wonyoung.

"Sudahlah, jangan berurusan dengan Hanbin atau kau akan mati bila berdekatan dengan dia, ayo kita pergi" ucap salah seorang diantaranya.

Kemarahan Gunwook sudah di puncak, ia ingin menghajar wajah-wajah menjijikan itu namun di tahan oleh Hanbin.

"Sudahlah jangan menambah masalah Gunwookie, aku tak apa"

Akhirnya Hanbin, Wonyoung dan Gunwook kembali untuk pulang.

.
.
.

Matahari sudah terbenam, Hanbin terduduk dekat dengan tungku api. Cuaca sudah mulai dingin karena musim gugur, ia yang tak kuat dingin harus selalu berdampingan dengan penghangat.

Ia menghela nafasnya, keberadaannya memang pembawa sial. Terkadang ia juga merutuki kehadiran dirinya. Ia merasa ia telah menghancurkan keharmonisan keluarga ini.

Selama 10 tahun ia hidup disini, tak sekalipun orang tuanya datang berkunjung, atau sekedar menanyakan keadaannya lewat telepon. Dan uang pun tak pernah ia dapatkan dari orang tuanya.

Dulu ketika nenek kakeknya masih hidup, ia hidup berkecukupan, mengandalkan hasil kebun jeruk, ubi dan kentang yang luas, setelah nenek kakeknya tiada perkebunan itu diambil alih oleh bibinya, adik kandung ibunya. Ia hanya bersyukur rumah ini tak diambil pula.

Dan sekarang ia hidup mengandalkan hasil kerjanya dari kebun milik bibi Jang. Miris tapi apa mau dikata, kehadirannya tak pernah dianggap oleh keluarga besar baik ayah dan ibunya.

Siaran tv itu menampilkan wajah Wendy, Daehan dan Yujin. Portal berita itu memberi tahu keharmonisan keluarga Sung Daehan dengan Wendy yang memiliki anak tunggal Sung Yujin.

Hanbin tersenyum kecil, meski tak dianggap ia hanya bisa menerima. Setidaknya Ayah dan Mamanya begitu bahagia. Kalau begini ia jadi merindukan kakek neneknya. Kalau sudah memasuki musim gugur, neneknya akan dengan senang hati membuat stock minuman ginseng untuk Hanbin.

Hanbin tak kuat dengan cuaca dingin, ia akan jadi mudah sakit maka dari itu sang nenek akan berusaha membuat Hanbin dalam kondisi hangat.
Pun dengan kakeknya, ia akan memeluk tubuh Hanbin dengan erat ketika Hanbin mulai menggigil kedinginan.

Ia merindukan semuanya, sayang kini ia harus memeluk dirinya sendiri agar tak kedinginan, ia harus membuat sendiri minuman ginseng untuknya.

"Bahagia selalu kakek nenek, Hanbin merindukanmu"

.
.
.

Perjalanan yang cukup melelahkan sudah ditempuh Zhang Hao. Tubuhnya lelah namun bibirnya menarik senyuman tipis.

Penginapan yang ia pesan sesuai dengan kriterianya. Begitu hijau dan nyaman ditempati. Dan ditambah pula dengan suara gemericik air mancur kecil yang terletak di ujung penginapan.

Ia segera bergegas membersihkan diri dan menyiapkan  segala hal yang akan ia bawa ke festival lampion samjinae.
Festival yang diadakan setahun sekali dan hanya pada pertengahan musim gugur.

"Lampion sudah, kameraku sudah lalu apalagi oh sepertinya aku perlu memakai sweater atau aku pakai mantel saja"

Setelah lama menimbang akhirnya pilihan Zhang Hao jatuh kepada jaket parka yang berwarna hijau gelap.

"Oke sudah cukup semuanya saatnya aku pergi"

.
.
.

Gunwook, Womyoung, dan Hanbin pergi bersama ke bukit desa. Disana festival lampion akan berlangsung.

Kali ini Hanbin tengah digendong oleh Gunwook, tadi sebelum berangkat ada insiden kecil. Hanbin terpeleset dedaunan kering di depan rumahnya. Gunwook dan Wonyoung yang melihatnya pun menjadi khawatir. Namun dengan tegas Hanbin mengatakan kalau ia tidak apa-apa.

Gunwook menawarkan punggungnya untuk menggendong Hanbin, tadinya Hanbin menolak karena dirasa itu merepotkan Gunwook.

Namun Gunwook bersikeras menggendong Hanbin jika ia tak mau maka pergi festival lampion terancam batal dan itu disetujui oleh Wonyoung.

Hanbin dengan terpaksa mengangguk. Tubuhnya lebih kecil dari Gunwook, dan sangat ringan. Maka Gunwook sama sekali tak keberatan untuk menggendong Hanbin walau jaraknya cukup jauh.

"Aku beratkan" tanya Hanbin.
"Tidak sama sekali kak, sudah aku bilang kau ini terlalu ringan untuk ukuran seorang laki-laki"

"Makan yang banyak kak, bila perlu aku akan meminta ibu memasak yang banyak hanya untukmu" tukas Wonyoung.
"Ah tidak-tidak, aku tak ingin merepotkan aish baiklah aku akan makan yang banyak nanti, supaya Gunwook tak kuat menggendongku lagi " ucap Hanbin sambil mengeratkan pelukan lengannya di bahu lebar Gunwook.

"Tidak secepat itu kak, kau akan selalu kecil bila disampingku" ucap Gunwook sambil terkekeh.

"Yak Gunwookie" ucap Hanbin dengan nada kesal.

LENTERA KECILWhere stories live. Discover now