#20

571 61 6
                                    

Wendy terduduk dengan sedikit tegang, disampingnya sudah ada Daehan yang mengelua punggung tangan itu. Dokter yang ada dihadapan keduanya membenarkan letak kacamatanya sambil membaca berkas pasien yang ada dihadapannya.

"Dari hasil pemeriksaan, selamat untuk Nyonya Wendy, anda tengah mengandung dengan usia kandungan 2 minggu"

Penjelasan itu tak membuat hati Wendy meletup justru dilanda cemas luar biasa.
"Dok anda tidak salah kan" tanya Daehan.
"Tidak mungkin saya salah membaca hasil lab milik pasien" jawab sang dokter dengan wajah tenang.

Setelah sesi pemeriksaan dan menyatakan kalau hasilnya positif, Wendy kian meresah, yang dipikirannya hanyalah karier yang tengah dirintisnya.
"Kita gugurkan saja kandungan ini" ucapan gila Wendy membuat Daehan terkejut.

"Wen kamu gila kah" tanya Daehan untuk memastikan.
"Aku tidak gila, kita belum menikah dan akan menjadi sorotan bila aku tengah hamil tapi belum ada ikatan, Daehan kau tahukan aku tengah ditawari masuk agensi besar, karirku akan cemerlang nantinya"

Daehan menggeleng pelan, sepertinya ia tidak setuju dengan pemikiran Wendy.
"Wen, ini hadiah dari moon goddes, kau tak perlu membunuhnya kau bisa terkena karma"

"Persetan dengan moon goddes, anak ini datang disaat yang tidak tepat, kau masih bisa bebas berkeliaran dengan hartamu yang berlimpah tapi tidak dengan aku" ucap Wendy.

Otak Daehan mendidih dibuatnya. Wendy dan ambisinya terlihat sangat menakutkan.
"Wen, kau itu mateku aku tidak mungkin bisa melepaskanmu begitu saja apalagi aku sudah menandaimu, terima kenyataan ini, aku tak mau hal buruk terjadi padamu"

Namun ucapan itu dianggap angin lalu dibulan pertama dan kedua Wendy tetap beraktifitas dengan sejuta jadwalnya. Diet ketatpun tak luput ia lakukan, hingga menginjak bulan ketiga perutnya sudah terlihat membukit dan dengan tekadnya ia memakai korset agar tak terlihat.

Daehan yang melihatpun menjadi kian marah. Ia mengurung Wendy di kamar apartementnya.
"Aku ingin kau segera sadar, anak ini hadir bukan atas kemauannya, kita disini yang salah seharusnya aku tidak menandaimu ketika kau tengah heat, seharusnya aku bisa menahan nafsu gilaku" jelas Daehan dengan putus asa.

Wendy akhirnya menangis tersedu, lalu ia mengajukan diri untuk mundur dengan alasan kesehatan mentalnya. Vakum dari dunia entertaintment selama 2 tahun penuh.
Apakah selama 2 tahun itu Wendy mengurus anak sulungnya oh tentu tidak. Ia menyerahkan segala urusan sang bayi kepada pelayannya.

"Sudah baik aku melahirkanmu, lihatlah betapa tak sempurnanya dirimu saat ini, kau hanya penghambat mimpiku, akan kupastikan sampai kapanpun dunia tidak akan tahu kalau kau ada".

.
.
.
.

Pemuda dengan pakaian kemeja hitam serta celana bahan yang senada kini tengah memandang sosok ayu di depannya. Memandang fitur wajah yang manis dan menggemaskan.
Bulu mata panjang yang lentik tak luput dari perhatiannya, pipi tembam yang merona serta bibir tipis yang begitu ranum.

Sungguh ia tak menyangka kalau ia kembali dipertemukan dengan hal yang tak ia duga sebelumnya. Ia melihat setetes air mata yang jatuh di sudut mata milik Hanbin. Dengan pelan ia mengusapnya.

"Kau bermimpi apa heum, sepertinya sedih sekali" ucapnya pada angin lalu.
Jendela besar yang membentang dengan lampu kelap kelip gedung pencakar langit menjadi pemandangannya. Lalu ia menaikkan selimut yang dikenakan Hanbin hingga sebatas bahu, menghalau dari dinginnya malam.

Ia berjalan mendekat ke arah jendela besar itu, salah satu tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Tak lama kemudian ponsel miliknya bergetar.

"Semua sudah saya bereskan tuan, tiga pemuda tadi sudah masuk penjara dan ternyata mereka adalah biar onar di kota"

"Heum baiklah terimakasih informasinya, segera istirahat"

Sambungan telefon akhirnya terputus. Ia kembali menengok ke arah Hanbin yang tertidur dengan pulas. Ia beranjak dari tempatnya berdiri, ia lelah dan juga harus beristirahat, tapi mengingat kamarnya tengah dipakai oleh pujaan hatinya maka ia harus pindah ke kamar tamu.

"Selamat malam Hanbina" ucapnya sambil menutup pintu dengan pelan.

.
.
.

Yujin pulang dengan membawa kantong berisi ponsel keluaran terbaru. Ia menyapa dengan riang pelayan yang tengah berjaga.
Ia segera membuka kamar milik kakaknya tanpa mengetuk terlebih dahulu, yang ada dalam pikirannya kakak tercinta sedang duduk atau membaca buku karena setahu Yujin kakaknya ini gemar membaca buku.

"Kak aku pul- loh kakak " Yujin terkejut pasalnya kamar itu kosong tak berpenghuni. Biasanya ia akan menemukan Hanbin tengah duduk di sudut ruangan yang berhadapan langsung dengan kebun belakang milik Wendy namun kini kosong.

Ia segera mengecek ke kamar mandi namun kosong pula. Ia mulai tergesa turun ke lantai satu mencari keberadaan sang kakak.
"Bibi Hwan dimana kak Hanbin?" Tanya Yujin.

"Maaf tuan, tadi tuan Hanbin berpamitan untuk berkeliling sebentar dan belum juga kembali" jawabnya sambil menunduk.
"Ada bodyguard yang menemani tidak?" Tanya Yujin untuk memastikan.

Namun bibi Hwan menggeleng pelan dan tetap menunduk.
"Tuan Hanbin menolak untuk ditemani tuan"

"Yaak, bagaimana bisa kau melepaskan kakakku begitu saja, kau tahukan kakakku belum lama tinggal disini kalau terjadi apa-apa dengannya bagaimana" suara Yujin sedikit meninggi akibat kelalaian pelayan andalan ibu dan ayahnya.

Kini Yujin gelisah, hari sudah malam ia takut Hanbin menjadi korban kejahatan apalagi sekarang tengah marak pembunuhan.
Yujin menggigit ujung bibirnya.

"Suruh beberapa bodyguard menemaniku mencari kak Hanbin, jika ada apa-apa dengannya kau dan para penjaga disini akan terkena imbasnya" setelah mengatakan demikian Yujin berlalu untuk bersiap mencari keberadaan Hanbin.

Namun ketika hendak melangkah Wendy datang menghentikan langkah Yujin.
"Ada apa ini, Yujin-ah kau habis membentak bibi Hwan ada apa sebenarnya"

"Kak Hanbin pergi tanpa pengawasan dari bodyguard dan sampai saat ini dia juga belum kembali, aku akan mencarinya sebelum dia kenapa-kenapa bu" jelas Yujin.
"Biarkan saja, dia yang minta untuk tidak ditemani dia juga harus menanggung resikonya, sudah tahu dia hidup di kota dengan tingkat kriminalitas tinggi masih saja berkeliaran tak jelas" ucap Wendy dengan tanpa rasa bersalah.

Yujin terperangah mendengar tutur kata dari bibir ibunya. Ia tak paham kenapa ibunya begitu membenci kakak kandungnya.
"Ibu kau sadar kan untuk berkata demikian, kau jahat sekali bu, bagaimanapun juga dia adalah kakakku, anak sulungmu, kenapa kau seolah-olah menganggap Kak Hanbin adalah orang lain"

"Lihat, bagaimana kau bergaul dengan anak itu, kau menjadi pembangkang seperti ini Yujin-ah, selama ini aku tak pernah mendengar kata demikian keluar dari mulutmu, bicara padaku kau melakukan apa saja dengan berandalan itu"
Yujin menatap tajam ibunya, sungguh ia sudah muak melihat ibunya yang terus denial akan kehadiran Hanbin.

"Ibu harusnya ibu yang berkaca, kenapa ibu sangat berperilaku buruk pada Kak Hanbin, apa yang membuatmu demikian, padahal aku dan Kak Hanbin adalah sama, kita sama-sama lahir dari rahimmu, darah yang mengalir di tubuh kami ada darah ibu juga ayah, apa yang membedakan" ucapan Yujin membawa ke realita kalau memang darah ia dan Daehan mengalir di tubuh Hanbin juga.

Namun tak bisa memungkiri melihat wajah itu sama saja melihat luka lama yang kembali menganga lebar.
"Kau takkan tahu Yujin-ah, kau takkan pernah paham keadaan ibu yang sebenarnya"

Yujin berdecak kesal melihat kelakuan ibunya, ia mengacak rambutnya.
"Aku akan tetap pergi, terserah mau ibu mau menganggapku anak lagi atau bukan"
Yujin berjalan meninggalkan Wendy seorang diri.

Suasana yang mencekik dirinya perlahan memudar, aura alpha yang dikeluarkan oleh anak bungsunya hampir membungkam dan membuatnya tunduk.
Wendy memejamkan matanya sejenak, lalu mengacak rambut panjangnya.
"Sialan"

.
.
.
.

Hati-hati typo bertebaran.
Happy weekend 😉

LENTERA KECILDonde viven las historias. Descúbrelo ahora