#19

429 54 8
                                    

Jiwoong menatap arlojinya yang menunjukan pukul delapan malam. Tubuhnya sudah sangat pegal dan matanya sudah lelah menatap tumpukan dokumen yang tiada habisnya.
Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya menatap kelap kelip kota dari jendela besar.

Ia menghela nafasnya sejenak, ada sebersit rindu ketika ia merasa bebas dulu. Kesana kemari dengan penuh kebebasan, sesungguhnya bila ia boleh memilih ia hanya ingin menjadi seorang pemeran. Memainkan segala macam ekspresi yang dapat dinikmati oleh berjuta pasang mata di layar kaca, namun sayangnya kedua orang tuanya enggan menuruti. Ia cukup diberi waktu hingga usia 24 selebihnya ia harus pensiun dan meneruskan usaha milik kedua orang tuanya.

Dan disinilah ia sekarang, berhadapan dengan tumpukan dokumen yang membuatnya muak belum lagi ia dicecar dengan berbagai pertanyaan kapan menemukan belahan jiwanya, kapan bertemu dengan matenya sesungguhnya membuat Jiwoong sedikit tertekan. Namun hal itu Jiwoong anggap angin lalu, ia yakin matenya adalah seorang late bloomer, dimana seseorang yang terlambat untuk berkembang.

Dan jawabannya ketika ia bertemu dengan Hanbin, ia memperoleh tanda setelah sesaat dia dan Hanbin berada di jangkauan yang sama. Jadi boleh di asumsikan kalau Hanbin sejatinya adalah mate yang selama ini ia tunggu. Namun perasaan ragu kembali muncul, ia hanya memperoleh tanda bukan berarti ia dan Hanbin akan memiliki perasaan yang sama.

Di jaman sekarang mate bukan sesuatu yang penting, banyak orang di masa kini mengabaikan matenya dan menjalin kasih dengan lain orang. Alasannya bermacam dituntut untuk segera memiliki keturunan atau hanya kepuasan semata. Tentu saja Jiwoong tak mau, walau bagaimana pun juga titah dari moon goddes adalah nyata dan sakral. Maka dari itu selama apapun itu ia harus sabar menunggu, ia tak ingin hidupnya berakhir dengan penyesalan yang sia-sia.

Sebut saja Jiwoong adalah pria yang setia dan begitu gentleman. Namun itulah bagian prinsip hidup, kau menghargai seseorang sama saja kau menghargai hidupmu, kesetiaan memang tak menjamin sebuah kebahagiaan, namun bukankah kesetiaan menjamin sebuah kepercayaan yang akan bertahan sampai si empu terkubur dalam tanah.

Jiwoong menerima keadaan yang sekarang, dia berharap semoga ia dan Hanbin segera bertemu untuk menjelaskan semua perasaan yang semu. Jiwoong menegakkan tubuhnya dan mengambil jas yang tersampir di sofa ruang kerjanya.
Sesi kultum untuk dirinya sendiri sudah cukup, kini ia harus pulang atau ia akan menjadi zombie yang mengerikan bila berhadapan terus-terusan dengan berkas yang menumpuk itu.

Ia jalankan kaki jenjangnya menuju mobil yang sudah disiapkan oleh pihak security lalu pulang ke rumah.

.
.
.
.

Hanbin tengah berjalan-jalan di daerah pertokoan yang tak jauh dari rumah orang tuanya. Tenang saja ia sudah ijin kepada para pelayan yang berjaga, Yujin belum kembali dari rumah sedangkan ayahnya sedang melakukan bisnis ke luar kota sedangkan sang ibu sedang ada acara on air di salah satu tv nasional.

Ia berjalan perlahan, menikmati kelap kelip lampu yang disediakan oleh toko. Matanya berbinar dan tertuju pada sebuah toko yang menjual pernak pernik, tanpa basa basi ia langsung masuk ke dalam toko itu.
Nuansa dari toko itu begitu hangat, dengan aroma kayu manis dari pengharum ruangan serta pernak pernik yang begitu lucu memanjakan mata Hanbin.

Lalu tak lama netranya tertuju pada gantungan kunci berbentuk kepala kelinci dan hamster. Dan ia teringat pada peliharaan Gunwook si Gumi dan hamster milik Wonyoung yang mati 2 bulan setelah dipeliharanya yang bernama Sun.

Ia langsung mengambil kedua benda itu dan ia kembali berkeliling, dan ia mengambil satu set rajut beserta benangnya.
"Apakah aku merajut saja ya untuk menghilangkan rasa bosan"
Setelah berpikir panjang ia meraih dan memasukannya ke keranjang belanjaan.

LENTERA KECILWhere stories live. Discover now