EP. 9. You're Nothing

455 40 5
                                    

EP. 9. You're Nothing

**********

Di ruang kamar yang tertutup dan gelap, Reina duduk termenung di lantai sambil menekuk lutut. Air mata terus mengalir membasahi pipi mulusnya.

Satu minggu yang lalu, Reina dan Nathan resmi bercerai. Dan selama itu pula Reina hanya mengurung diri di kamar, bahkan tidak tahu waktu sudah pagi, siang, sore, atau malam. Tubuhnya tampak kurus dan wajahnya pucat. Hanya sedikit asupan makanan yang masuk ke tubuhnya, itu pun jika Mama atau Papa memaksa menyuapinya makan.

Sungguh! Tak pernah sebersit pikiran pun Reina mengira akhir dari pernikahannya dan Nathan akan seperti ini. Atau siapa pun itu, tidak ada yang menginginkan perceraian menjadi akhir dari sebuah pernikahan.

Memang, Reina yang membuat keputusan untuk bercerai. Tapi faktanya, Reina tidak setegar itu untuk bisa menerima kenyataan.

Terluka?

Jelas. Reina sangat terluka. Ini bukan bagian dari mimpinya. Bukan!

Bukan semata-mata karena status perceraiannya, tapi karena dia dan Nathan benar-benar sudah berakhir. Hubungan mereka tidak bisa diperbaiki meski berusaha sekuat tenaga.

Dan kebersamaan mereka selama 16 tahun. . . .

. . . . , kisah itu mau tidak mau harus ditinggalkan begitu saja seperti buku usang yang sudah selesai dibaca.

Reina tahu dia harus membuka lembaran baru dan melangkah maju. Tapi kenyataannya begitu sulit dan menyesakkan dada. Reina tidak tahu harus memulai dari mana dan tidak yakin kalau dia mampu.

Nathaniel. . . .

Satu nama itu masih menahan Reina untuk bisa melanjutkan hidup. Tanpa Nathan, sanggupkah? Pertanyaan itu selalu memenuhi isi kepalanya setiap hari.

"REINA!" Jerit Mama panik sambil berlari menghampiri Reina, bahkan tanpa sadar melempar nampan berisi makanan dan air minum dari tangannya. Kemudian, dengan segera Mama berusaha mengeluarkan semua obat tidur dari dalam mulut Reina.

Hampir. Kalau sedetik saja Mama terlambat masuk ke kamar Reina dan melihatnya menjejalkan hampir seluruh obat tidur dari dalam botol, mungkin Mama akan melihat putri semata wayangnya itu kejang-kejang dengan mulut berbusa.

"Rei, kamu apa-apaan, sih? SADAR, REI. . . ." Bentak Mama sambil megguncang bahu Reina. Sementara Reina hanya menunduk dengan air mata berderai-derai. "LIHAT MAMA!" Bentaknya lagi sambil mengangkat dagu Reina.

"Kamu tega membuat Mama dan Papa sedih? Kamu nggak sayang sama kami sampai mau ngelakuin ini?"

Reina memandang Mama dengan mata berlinang-linang. Terlihat kebingungan dan keputusasaan di dalam matanya yang berkabut itu.

"Aku harus apa, Ma?" Tanyanya sambil terisak. "Untuk apa aku hidup sementara masa depan pun aku udah nggak punya?"

"Enggak, Nak." Sahut Mama cepat, kedua tangannya menangkup sisi wajah Reina. Air matanya luruh tidak tahan melihat Reina yang kacau seperti ini. "Dengerin Mama! Rei, masa depan kamu masih panjang. Akan ada masa depan yang lebih dari yang kamu harapkan menanti di depan sana. Tolong jangan berpikir seperti itu, Sayang. . . ."

"Emangnya masa depan seperti apa yang aku punya, Ma?" Teriak Reina putu asa seraya menyentak kedua tangan Mama dari wajahnya. "Aku udah kehilangan orang yang paling aku cintai, kehilangan bayi aku, dan aku juga kehilangan harapan untuk punya anak lagi."

"Rei–"

"Kenapa, sih, Tuhan jahat banget sama aku? Kenapa Tuhan harus membuat orang yang paling aku cintai jahat ke aku? Kenapa. . . ." Reina berhenti sejenak untuk menetralkan isak tangisnya. "Kenapa Tuhan harus membuat aku terpaksa mengakhiri hubungan yang sebenarnya aku nggak mau mengakhirinya? Kenapa, Ma?"

Rewrite The Starsजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें