EP 22. First Snow

379 40 6
                                    

Hai hai. I'm comeback. Sebelumnya, aku mau ngucapin selamat tahun baru. Yaa, meskipun belom, tapi takutnya hari Minggu nggak up. Semoga di tahun 2024 nanti, kebahagiaan selalu datang bertubi-tubi kepada kita semua, serta senantiasa diberi kemudahan untuk segala urusan. Aamiin.

And then, aku mau ngucapin banyak-banyak terima kasih sama kalian yang masih mau baca cerita aku yang sangat-sangat biasa ini. Aku harap, tulisan aku yang biasa dengan alur yang mudah ditebak ini tetap bisa setidaknya sedikit menghibur kalian. Love you readers.

EP 22. First Snow

**********

Reina menghembuskan napas bosan di ruang kerja sang ibu. Dia terduduk dengan kepala terkulai di atas meja––tak bersemangat, sementara tangannya tak tinggal diam memainkan benda apa saja yang ada di atas meja tersebut.

Reina membolak-balik berkas kasus yang ada di meja Mama, iseng membacanya meski tidak mengerti sama sekali. Belakangan ini, Reina merasa tenaganya sedikit lebih terkuras. Ahh, bukan! Lebih tepat––perasaannya.

"Mau makan siang apa, Rei?" Tanya Mama yang geleng-geleng kepala melihat Reina yang hanya duduk melamun sejak kedatangannya satu jam yang lalu.

Reina melirik jam pintar di pergelangan tangannya. Sudah pukul satu lewat. Reina ingat kalau perutnya belum terisi penuh, kecuali menu sarapan tadi pagi yang berupa roti isi alpukat telur dan susu buatan Mama. Namun, perutnya tak begitu kelaparan. Aneh. Ditambah lagi, ponsel yang biasanya berdering berisi chat dari Reegan, kali ini hanya diam. Satu dua pesan chat dan telepon masuk, tetapi bukan dari Reegan. Laki-laki itu menghilang tanpa kabar setelah malam itu.

Sudah hampir satu minggu berlalu, Reegan juga tak terlihat datang ke rumahnya. Reina terus melirik ponsel dan berharap Reegan menghubunginya. Reina juga sengaja diam-diam datang ke kantor orang tuanya––hanya untuk melihat keberadaan Reegan, tapi Reina tak menemukan Reegan bahkan saat melewati ruangannya.

Reina mendengus pelan diiringi senyuman kecut, semakin tak mengerti dengan dirinya sendiri. Bukannya tidak buruk jika Reegan menjauh darinya? Setidaknya, hal itu sedikit membantu Reina untuk melupakan perasaannya. Tapi tetap saja, jauh di lubuk hatinya Reina merindukan sosok itu.

"Rei?" Panggil Mama. Sebelah alisnya terangkat heran.

Reina tersentak kaget dan menegapkan tubuhnya, lau menggeleng cepat.

"Kenapa, sih?" Sambung Mama, beliau menutup berkas di tangannya, fokus menatap Reina dengan tatapan menyelisik.

"Nggak apa-apa." Sahut Reina, matanya menelusuri foto keluarga yang terpajang di meja kerja, tapi otaknya tak di sana. "Kayaknya aku pulang aja deh, Ma. Nanti makan siangnya di rumah."

Mama mencebik. "Bilang aja maunya makan siang bareng Reegan. Iya, kan?"

"Apaan, sih? Nggak juga, tuh." Reina membuat suaranya terdengar sesantai mungkin. Dia lantas memainkan ballpoin guna menghindari tatapan Mama.

"Jujur, deh. Kamu kangen, kan, sama dia?" Ledek Mama kemudian diiringi senyum penuh arti.

Reina mengernyit bingung, meski perkataan mamanya tak sepenuhnya salah. Lantas tertawa dipaksakan. "Kangen? Jangan ngaco, deh, Ma."

Mama mencebikkan bibrinya lagi––meledek. "Kelihatan. Kamu nggak semangat belakangan ini. Apalagi semenjak Reegan pulang."

Reina mengerjap. Semakin tak mengerti sekaligus terkejut. "Hah? Pulang?"

Kai ini, Mama ikut mengernyitkan keningnya dalam. "Lho? Kamu kelihatan kayak yang nggak tahu gitu."

"Emang aku nggak tahu. Jadi beneran dia pulang?" Tanya Reina untuk meyakinkan, meski ucapan Mama barusan cukup menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Reegan.

Rewrite The StarsWhere stories live. Discover now