EP. 14. The Past

430 40 8
                                    

EP. 14. The Past

Typo tandai, yes.

**********

Minggu pagi beringsut siang. Reina berulang kali menghembuskan napas bosan di studionya. Dia duduk di hadapan kanvas dengan lukisan wajah Reegan. Reina terpaku pada satu bagian kesukaannya--mata kelam Reegan yang selalu menenangkan.

Sudah pukul sepuluh lebih, tapi dari semalam Reegan tak menghubunginya untuk mengajak jalan-jalan atau langsung datang ke rumahnya seperti biasa.

Sebenarnnya, bukan masalah besar. Pertama, Reina bisa jalan-jalan sendiri atau mengajak Mama-Papa. Kedua, Reegan juga tidak punya kewajiban penuh untuk senantiasa mengajaknya jalan-jalan atau datang ke rumahnya setiap saat. Tapi, yang Reina risaukan adalah tak ada kabar dari Reegan.

Perasaan ini aneh. Reina juga tak mengerti.

"Rei?" Mama terlihat heran mendapati Reina masih bersantai dengan kuas dan kanvasnya--tidak keluar seperti biasa. "Kamu nggak main? Biasanya, kan, jalan-jalan. Reegan belum jemput?"

"Maunya, sih. Tadinya sekalian juga mau beli alat-alat lukis. Tapi Reegan nggak ada ngehubungin aku dari tadi malam." Reina mengembungkan pipinya lucu dengan tangan bergerak lihai memperhalus lukisan di hadapannya.

"Aku agak khawatir sama dia apa sakit, ya? Soalnya kemarin pas makan siang bareng aku lihat dia agak flu gitu." Reina menoleh pada Mama dengan wajah cemas.

Mama tersenyum misterius diiringi tatapan penuh arti, kemudian sekilas melirik lukisan wajah Reegan yang baru diselesaikan Reina.

"Kamu udah coba telepon dia?"

Reina menggeleng sebagai jawaban, membuat Mama memutar bola matanya malas.

"Ya kalau dia nggak ada hubungin kamu, kamu yang telepon dia, dong."

Reina menatap Mama dengan cengiran kaku, lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Aku nggak keingetan, Ma."

Mama berdecak seraya memberi cubitan pelan di lengan Reina. "Kamu tuh. Mikirin apaan, sih? Kerjaan nggak punya, sekolah enggak, jajan tinggal minta."

Reina cemberut karena Mama meledeknya habis-habisan. Mama hanya mendengus geli melihatnya.

Reina hendak beranjak dari duduknya untuk mengambil ponsel di atas sofa, tapi Mama menahannya.

"Rei, sebentar. Mama mau tanya sesuatu."

Reina mengerjap diiringi kening mengernyit. Mendadak sorot mata Mama terlihat serius.

"Kamu sama Reegan. . . ." Kalimat Mama tergantung, matanya mengerling pada lukisan Reegan di hadapan Reina.

"Maksud Mama?"

"Yaa, gitu. . . ." Mama berucap tak jelas sembari mengetuk-ngetuk kedua jari telunjuknya. Mama sedikit kebingungan merangkai kata, takut-takut menyinggung perasaan putrinya yang masih sensitif. "Mama lihat kalian semakin dekat."

Kening Reina semakin terlipat dalam, tapi tak lama setelah otaknya berhasil menangkap maksud dari ucapan Mama.

Reina lantas tertawa pelan.

"Kami teman baik, Ma."

"Tap-"

"Nggak ada tapi-tapi, Ma. Nggak ada hubungan yang lebih dari itu di antara kami." Sambar Reina menegaskan.

"Ya udah, nggak usah heboh gitu kali, Rei. Kan Mama cuma mau mastiin. Lagian kalau kalian ada apa-apa, Mama setuju-setuju aja."

"Apaan, sih? Kok jadi ke sana, sih, Ma?" Ucap Reina sebal. Kalimat Mama terasa janggal di telinganya. Rasanya tidak tepat Mama mengatakan hal itu di saat dirinya belum lama bercerai meski berniat akan membuka diri lagi sekali pun.

Rewrite The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang