PROLOG

23 3 0
                                    

—HAPPY READING!—

Di bawah hamparan terik matahari yang menyengat. Gundukan pasir hitam menyala karena memantulkan cahaya sang surya. Panas luar biasa diabaikan, dengan cucuran keringat sebesar biji jagung sudah memenuhi tubuh berkulit hitamnya. Sesekali pria paruh baya tersebut mengusap kening untuk membuang peluh.

Tangannya yang tidak sekokoh dulu masih bisa menggenggam gagang sekop dengan kuat. Perlahan tapi pasti, ia terus saja mengaduk campuran air, pasir, batu, dan juga semen dengan sangat lihai. Setelah tercampur rata, dipindahkanlah adonan material bangunan tersebut ke dalam gerobak sorong. Hal ini dilakukan terus menerus hingga pondasi sebuah gedung yang akan didirikan disana hampir terlihat.

Seseorang yang sejak tadi mengamati pergerakan sang ayah turut meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak, dia ingin sekali mengeluh kepada Tuhan karena takdir yang sedang dihadapi. Telapak tangan kecilnya mencengkeram gagang rantang dari besi hingga terluka. "Kenapa Tuhan membuat ayahku bekerja sekeras itu? Padahal kan ayahnya teman-teman sedang duduk di ruang ber-AC sambil pegang laptop? Ayahku lebih tua, kenapa dia yang harus kepanasan?"

Bola mata kecoklatan anak berusia enam belas tahun tersebut menyapu setiap sudut tempat ini. Pedih di telapak tangannya tidak menimbulkan rasa sakit apapun karena hatinya jauh lebih tergores. Hamparan tanah luas dengan banyak kuli bangunan berlalu lalang mengangkat material. Sementara satu diantara mereka duduk di bawah tenda sambil memegang pensil dengan kertas lebar berisi gambar gedung di depannya. Secangkir kopi menemani aksi coret mencoretnya.

"Hey, Nak!" Rupanya panggilan itu datang dari sang ayah.

Remaja laki-laki yang kini menduduki bangku kelas sembilan Madrasah Tsanawiyah tersebut tertegun. Buru-buru ia menghapus air mata dan menunjukkan wajah ceria di depan ayahnya. "Ubay bawa bekal buat ayah makan siang."

Tidak, ini terlalu sesak, wajah kelelahan pria paruh baya di depannya semakin jelas ketika dilihat dari dekat. Air mata kembali meluncur bebas di pipi, sangat sulit menahan hati yang seolah sedang ditusuk ribuan jarum. Sang ayah menuntun remaja laki-laki tersebut agar duduk di tenda istirahat. Seutas senyum dilontarkan kepadanya, pria tersebut tampak senang ketika mendapatkan makanan.

"Mengapa dunia begitu kejam dan tidak adil?" tanya si remaja laki-laki dalam hati. Dia memilih pergi karena tidak kuasa melihat pemandangan ini.

THANKS FOR READING!—

Gimana? Udah kerasa belum?
Sampai disini, bisa nebak alur ceritanya nggak?
Oke, lanjut dulu nggak sii?
CEKIDOT!!!

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now