5

3 1 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Lakukanlah sesuatu yang tidak dilakukan orang lain. Maka kamu pasti akan mendapatkan sesuatu yang tidak bisa digapai orang lain.
—ibuk—

Beberapa hari dihadapkan dengan banyaknya soal-soal membuat kepala Ubay terasa penuh. Hari ini adalah pengumuman hasil akhir ujian madrasah setelah satu bulan menanti. Wali murid sudah berkumpul di aula untuk mengambil ijazah, sementara Ubay menunggu namanya disebut sambil melapalkan do'a.

Abimanyu Ravendra, Suara seorang guru menggema dalam ruangan membuat keringat dingin tiba-tiba membasahi pelipis Ubay.

Sukardi berdiri dan melangkah maju untuk menandatangani surat pengambilan ijazah.

Bola mata kecoklatan milik Ubay menatap sang ayah yang sudah berjalan membawa sebuah map menuju bangku para tamu. Nafas gusar dihembuskan, Ubay berusaha keras agar tidak terlihat gugup. "Gi—gimana hasilnya, Pak?"

Pria paruh baya itu menepuk pelan pundak putranya, "Nanti kita bicarakan di rumah."

***

Suara benturan map tebal yang dibanting ke atas meja kayu terdengar nyaring. Melihat hal itu, semua orang di sekitarnya hanya bisa diam dan menundukkan kepala. Suasana rumah kayu usang ini hening, tidak ada yang berani bersuara, baik anak-anak ataupun orang dewasa. Dua gadis kembar memeluk lutut sang ibu karena takut, sementara kakak laki-laki mereka masih menunduk.

Sekarang Ubay hanya bisa melihat punggung sang ayah yang semakin jauh meninggalkan ruang tamu. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah kepergian Sukardi, mulutnya terasa kelu. Sementara Yuli membisikkan sesuatu kepada dua gadis kembar berusia lima tahun itu. Setelah mendengar perkataan ibunya, mereka berlari menuju kamar sang kakak.

Di ruang tamu rumah keluarga Sukardi, hanya tersisa Ubay dan Yuli yang saling memandang satu sama lain. Keadaannya sudah tidak setegang tadi karena Ubay lebih bisa mengatakan banyak hal kepada ibunya. "Buk!"

"Apa ini, Bang?" Yuli menatap putra sulungnya dengan penuh rasa kecewa.

Wanita berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut mengambil map ijazah yang tadi dibanting sang suami. Dia mengamati kolom nilai yang tertulis disana dengan teliti. Jelas saja Sukardi marah besar, hasil akhir yang lagi-lagi mengecewakan. Lebih banyak huruf 'D' disana. Memang bukan pertama kali Ubay menjadi peringkat dua puluh ke atas. Namun, kali ini berbeda, mereka berharap banyak tentang hasil kelulusan MTs yang memuaskan dan Ubay tetap tidak bisa memenuhinya.

"Kemampuan Ubay hanya—"

"KEMAMPUAN APA YANG KAMU MAKSUD, HA?!" bentak Yuli membanting tubuhnya pada kursi rotan di ruang tamu. "Ini bukan tentang kemampuan, Bang. Kalau kamu niatnya pengen lanjut belajar, mbok yo usahane ditambahi. Tapi tetep aja nggak ada kemajuan to?"

Ubay tetap menunduk, tidak ada gunanya menjawab perkataan sang ibu karena hanya akan menimbulkan perdebatan.

"Masih ada kesempatan, jangan sia-siakan keputusan kamu masuk di madrasah aliyah!" pungkas Yuli kemudian berdiri meletakkan ijazah Ubay. Wanita itu berjalan ke arah kamar belakang untuk menyusul sang suami.

Sukardi duduk di tepi ranjang kamar sambil melamun. Dia merasa kecewa tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk melampiaskannya. Langkah kaki terdengar mendekat dan ketika tirai kamar terbuka menampakkan sang istri tengah menatapnya.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now