13

2 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Kamu harus meninggalkan tanah untuk bisa terbang. Kepakkan sayap dan jelajahi angkasa dengan usaha dan do'a!
—Rissinzet—

"Namanya Abimanyu Ravendra, Pak," terang Bu Sella setelah bercerita dengan dewan guru mengenai kejadian di kelas X IPA beberapa waktu lalu.

Pak Nadzir menganggapi, "Yang pindah jurusan itu?"

"Betul, saya yakin dia punya cita-cita tinggi dan berambisi untuk menggapainya." Bu Sella menjawab seadanya.

"Siswa ini sepertinya tidak terlalu menonjol selama satu tahun terakhir. Saya juga yakin bahwa dia sebenarnya punya potensi, hanya saja dia butuh waktu lebih lama untuk menangkap materi," timpal Bu Agnisa.

Bu Ulfa yang tengah duduk di mejanya sambil menata buku paket turut ikut dalam percakapan. "Iya, Bu. Saya juga bisa melihat itu. Dia berusaha keras memahami materi yang sulit walaupun terkadang teman-temannya mengusik."

"Kehidupan memang tidak bisa direncanakan. Beberapa anak punya kemampuan tapi tidak disertai kemauan, kadang-kadang juga biaya terjamin tetapi potensi sangat minim, bahkan kasus Abimanyu ini yang lebih banyak. Mereka punya ambisi namun terhalang kondisi." Pak Nadzir turut prihatin mendengar kisah salah satu siswanya. Beliau mengambil segelas air dari galon di ruang guru kemudian diteguk hingga habis sambil memutar otak. Bagaimana cara mengembalikan semangat belajar Ubay?

Bu Sella mengulum senyum sambil menata tumpukan raport yang dikumpulkan oleh kelas X IPA tadi. "Saya berusaha membujuk tadi, bahkan teman-temannya juga turut serta menghalangi niatnya putus sekolah. Namun, apa boleh buat kalau dia bersikeras?"

"Suruh dia menemui saya di meetingroom!" pungkas Pak Nadzir setelah mengembalikan gelas minumnya ke tempat semula.

***

Ruangan bernuansa hijau dengan tiga meja kayu panjang ditata membentuk formasi angkare adalah tempat Ubay berada sekarang. Seperti tidak ada kehidupan disana, hanya terdengar suara kipas angin yang berhembus kencang. Beberapa menit menunggu, akhirnya seorang guru berkulit putih bersih datang. Ubay merasa sedikit gugup karena biasanya hanya siswa bermasalah lah yang dipanggil untuk berbicara empat mata seperti ini.

"Abimanyu Ravendra?"

"Iya, saya Abimanyu. Ada keperluan apa, ya Pak?" tanya Ubay dengan nada lembut, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap seorang guru.

Pak Nadzir duduk di kursi yang berhadapan dengan tempat duduk Ubay. "Benar kamu ingin berhenti sekolah?"

"Benar, Pak," jawab Ubay ragu. Dia memainkam jemari di bawah meja karena gugup.

"Coba pikirkan dulu, ini bukan keputusan yang bisa diambil begitu saja!"

Remaja laki-laki bertubuh gempal tersebut kembali mengingat kejadian kemarin. Hari dimana sang ayah marah besar karena frustrasi, adik-adiknya ketakutan hingga tidak ingin pulang ke rumah lagi, dan yang paling buruk adalah kondisi kesehatan Yuli menurun drastis sampai terserang penyakit. Ubay tidak sanggup melihat rumahnya berantakan hanya demi dirinya. "Keputusan saya sudah bulat, Pak."

"Lalu, tujuan apa yang membuat kamu memilih untuk melanjutkan sekolah dulu?" Pak Nadzir menatap bola mata Ubay yang menyiratkan banyak hal. Disana jelas terbaca bahwa ini bukan keinginannya, hanya saja keadaan menjadi di luar kendali siswa itu.

"Dulu saya ingin merubah nasib bapak sama ibuk. Kasihan mereka harus selalu bekerja keras untuk sesuap nasi. Saya pikir, ketika saya berambisi untuk sekolah setinggi-tingginya akan bisa menjadikan hidup kami lebih baik lagi ...." Ubay menundukkan kepala, rasa sesak kembali muncul ketika melihat harapan itu sudah tidak ada. "Tapi saya bukan anak yang bisa diandalkan, saya bodoh, Pak ... percuma saya sekolah tinggi kalau tidak pandai. Itu hanya akan menyusahkan bapak dan ibuk di rumah," desisnya.

"Tidak ada siswa yang bodoh asalkan dia mau berusaha. Abimanyu, dengarkan saya, cita-citamu mulia sekali, Nak. Tidak mungkin Allah membawamu sejauh ini hanya untuk kegagalan," hibur Pak Nadzir.

"Saya sudah berusaha, tapi tetap saja saya menjadi peringkat terakhir di kelas." Ubay menunduk malu, bukan seperti ini yang diinginkan.

Pak Nadzir mencoba membangkitkan semangat yang telah padam dalam diri Ubay. "Berarti usahamu belum maksimal, kalau hari ini kamu belum bisa siapa tahu besok atau besoknya lagi kamu akan berhasil bukan? Tidak ada kegagalan selama kamu belum menyerah."

"Tapi saya sudah menyerah, tidak ada yang bisa dipertahankan. Kalaupun saya berjuang lagi, tidak ada yang bisa digunakan untuk berjuang. Bapak saya sudah tidak bekerja sekarang." dengus Ubay.

Guru laki-laki berpeci hitam tersebut tidak memalingkan pandangannya dari Ubay, berniat memunculkan kembali harapan-harapan besar dalam jiwanya. "Sekarang saya tanya, apa definisi berusaha menurut kamu?"

"Melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu?" Ubay berbalik tanya karena dia pun kesulitan memahami arti kata 'berusaha'.

Pak Nadzir tersenyum, beliau mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kemudian benda itu diberikan kepada Ubay. Sebuah koin lima ratus rupiah. "Koin ini ada sua sisi, salah satunya adalah burung garuda dan sisi yang lain angka. Coba kamu lempar koin itu sampai menunjukkan sisi angka!"

Ubay penasaran tentang apa yang berusaha dijelaskan oleh Pak Nadzir. Dia bukan tipe siswa yang banyak bertanya tetapi lebih senang melakukan tindakan. Kemudian, Ubay melempar koin tersebut di atas meja. Percobaan pertama yang muncul adalah burung garuda. Lalu dia mengambil koin itu dan melemparnya lagi, hasilnya masih sama. Percobaan ketiga kembali menampakkan burung garuda lagi. "Kenapa sangat sulit, Pak?"

"Coba lagi saja, coba terus sampai berhasil dan hitunglah lemparan yang gagal. Beritahukan pada saya dalam percobaan ke berapa kamu bisa berhasil."

Ubay melempar koin itu lagi, masih belum berhasil juga. Dia hampir mengeram marah karena setelah 10 kali mencoba koinnya selalu menunjukkan burung garuda. Kesabarannya hampir habis, tapi dia tidak boleh berhenti. Di percobaan ke 15 akhirnya koin tersebut berhasil jatuh dan menunjukkan angka rupiah. "YESS!" gelaknya.

"Bagaimana? Berhasil kan?"

"Iya, Pak. Ini percobaan ke lima belas, ah puas sekali saya." Ubay sangat antusias hingga lupa dengan siapa dia sedang berbicara.

Pak Nadzir tersenyum penuh kemenangan. "Saya melihat kamu hampir menyerah tadi, kenapa tidak berhenti dan mengembalikan koin itu pada saya saja?"

"Saya takut membuat Bapak kecewa jika berhenti sebelum berhasil."

"Tepat sekali, kamu sudah menemukan jawaban yang luar biasa, Abimanyu." Pak Nadzir menepuk pundak Ubay dengan bangga. "Dengar, kehidupan itu sama seperti saat kamu melempar koin. Ada kalanya dia berada di atas lalu jatuh tanpa membawa hasil apa-apa. Saat kamu terus mencoba tanpa berhenti, tidak mungkin koin itu akan selalu jatuh dengan hasil yang sama. Kamu tidak tahu di percobaan ke berapa koin tersebut berhasil menunjukkan angka yang kamu mau."

Otak Ubay berusaha mencerna penjelasan yang disampaikan sang guru, tetapi itu terlalu rumit. "Kesimpulannya bagaimana, ya, Pak? Saya kurang mengerti."

"Kamu bisa gagal hari ini, besok, atau lusa. Tetapi jika kamu terus mencoba, siapa tahu minggu depan kamu akan berhasil. Jika hari ini kamu gagal, kamu hanya perlu mencoba lagi dan lagi. Karena mustahil kegagalan itu akan terjadi terus menerus. Ada kalanya manusia akan berhasil mencapai titik tertinggi. Kuncinya, selalu berusaha jangan patah semangat di tengah jalan."

Sudah ada kehidupan dalam tatapan mata Ubay. Wajahnya lebih berseri dari sebelumnya. Namun, sekelebat ingatan membuatnya kembali murung. "Lalu bagaimana dengan biaya sekolah saya? Bagaimana dengan bapak yang harus bekerja keras demi kami?"

"Itu dia, coba bayangkan jerih payah bapak kamu! Beliau jauh lebih lelah darimu, apa mungkin kamu tega mengecewakan mereka dengan menyerah? Berusahalah lebih keras, jika kamu berhasil meraih beasiswa itu akan jauh lebih baik," petuah Pak Nadzir. Bukan mudah membujuk Abimanyu, dia terlalu berpikir sempit mengenai orang-orang sekitar.

"Saya—"

"Jangan pernah berhenti, kamu tidak tahu apa yang sedang menunggumu di masa depan. Allah selalu menyiapkan hadiah terbaik untuk mereka yang tidak pernah menyerah dalam perjuangannya.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now