12

0 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Gagal jika diam di tempat akan selalu gagal. Namun, ketika berusaha terus berjalan saat gagal pasti akan menemukan peluang.
—Abimanyu Ravendra—

Sayup-sayup sebuah suara terdengar melalui tembok kayu kamar Ubay ketika sia masih tengkurap sambil meruntuki diri. "Bapak ada masalah apa, to? Kenapa bisa jadi kayak gini?"

"Bapak pusing, jangan ditanya dulu!" ketus Suryadi mencoba mengalihkan pertanyaan sang istri.

Bukan berniat mendengarkan percakapan, tapi Ubay juga kelewat penasaran oleh sifat ayahnya yang berubah drastis. Maka, ia memilih mengabaikan rasa sakit di hatinya sejenak dan memasang telinga.

"Sejak kemarin bapak gini terus, gimana ibuk bisa tahu kalau bapak nggak bilang?" Dari suaranya yang melirih, Ubay bisa menyimpulkan bahwa sang ibu tengah dirundung kekhawatiran.

"Sudah berapa kali bapak bilang?! Diam, Buk, DIAM!" sentak Suryadi.

"Ibuk nggak mau diam sebelum bapak ngomong."

Kali ini tidak ada pihak yang mau mengalah, keduanya terus adu mulut karena ego masing-masing. "Jangan kayak anak kecil, Buk! Disuruh diem, ya, diem, gitu aja susah."

"Bapak pikir selama ini ibuk ngapain? Diem terus juga capek, Pak ... giliran bapak sing ngomong, semua harus dituruti, tapi piye respone njenengan pas ibuk nyoba bicara?!" Ubay mendengar ada getaran dalam nada bicara ibunya. Seakan-akan hal tersebut sangat mewakili isi hati Yuli.

"Terus aja ngelawan suami, kamu pikir bapak kerja ini nggak capek apa?" sinis Sukardi.

"Ibuk cuma minta penjelasan kenapa bapak tiba-tiba berubah, tapi—"

Prank!

Sesuatu seperti seng yang dilempar ke lantai mendenging ke seluruh ruangan. Ubay rasa sang ayah tengah membanting piring seng yang biasa digunakan sebagai tatakan obat nyamuk di kamar orang tuanya. Beberapa detik terdiam, nada suara Sukardi menjadi lebih tinggi. "DIAM! Bapak muak denger ocehan kamu."

Ubay berdiri dari posisi yang awalnya tengkurap, menghapus sisa air mata dan berniat masuk ke kanar sebelah. Namun, niat tersebut urung karena dirasa sang ibu belum menemukan jawaban atas kemarahan Sukardi. Diam-diam Ubay mengintip melalui celah tembok kayu yang membatasi kamarnya dengan kamar orang tuanya.

"Iya, pantes ae bapak muak, karena yo njenengan emang nggak bisa jawab pertanyaan ibuk," debat Yuli.

Sukardi mengangkat jari telunjuk tepat di depan wajah sang istri. "JANGAN KETERLALUAN KAMU YULI!" aumnya.

"SETIDAKNYA JELASKAN DULU KENAPA BAPAK JADI GINI!" Tanpa rasa takut sedikitpun, suara Yuli juga meledak-ledak.

Entahlah, rumah Ubay terasa seperti dibakar hingga hangus. Orang tua yang tidak pernah menunjukkan perbedaan pendapat di depan anak-anaknya itu sekarang menjadi semakin liar. Mereka bisa bertengkar hebat sampai saling melemparkan kata kasar satu sama lain. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

"BAPAK DIPECAT, BUK. DIPECAT. PUAS?!"

Hening, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Sulit bagi Ubay menahan diri agar tidak beranjak keluar kamar. Dia ingin melihat apa yang terjadi dan bagaimana kondisi orang tuanya sekarang. Tekanan kata 'dipecat' dari sang ayah pun sukses membuatnya termenung. Ketika berdiri di depan pintu kamar orang tuanya, Ubay mendapati raut frustrasi Sukardi yang diselimuti keputus asaan. Sementara Yuli menatap kosong piring berisi abu obat nyamuk yang berserakan di lantai.

"Kita mau makan apa, Pak?" tanya Yuli dengan suara serak diiringi tetesan air mata.

Sukardi meremas rambutnya sambil menunduk. Inilah yang dipikirkan, pekerjaan adalah satu-satunya sumber kekuatan mereka untuk melanjutkan hidup. Bagaimana keluarganya akan bertahan hidup? Bagaimana cara membiayai sekolah anak-anak? Mau makan apa mereka besok? Uang darimana yang akan dibelanjakan? Mereka tidak punya tabungan sama sekali, hasil pekerjaan Sukardi bisa digunakan untuk makan sehari-hari saja sudah lebih dari cukup. Kehilangan pekerjaan membuatnya frustasi hingga melampiaskan amarah secara bruntal.

"Aarrgghh." Yuli meringis kesakitan sambil memegang perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri.

"IBUK!" pekik Ubay berlari menghampiri sang ibu yang sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri.

***

Mioma uteri adalah pertumbuhan sel jinak di area rahim yang dapat menyebabkan banyak gangguan. Akan berbahaya jika tumbuh lebih dari satu lokasi pada rahim karena bisa menyebabkan gangguan yang serius. Jika dibiarkan lebih lama akan membesar dan menimbulkan komplikasi. Tidak ada gejala yang pasti, hanya saja menstruasi yang tidak normal menimbulkan penyakitnya.

Kalimat yang diucapkan dokter setelah hasil pemeriksaan Yuli kemarin, terus berputar di kepala Ubay. Hari ini dia pergi ke sekolah dengan penampilan yang sangat berantakan. Rambut tidak disisir, kantung matanya menghitam dan sembab, serta wajah yang biasanya berseri itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan menerbitkan senyum. Ubay merasa kacau, dadanya sesak karena isi kepala yang bergemuruh memikirkan banyak hal. Matanya menerawang ke papan tulis di depan kelas tanpa memperhatikan keadaan sekitar.

"Baik, nama-nama yang saya panggil silahkan maju ke depan untuk mengumpulkan raport. Harap dipastikan raportnya sudah ditandatangani oleh wali murid masing-masing!" Bu Sella mulai membaca absen kelas X IPA satu per satu sampai giliran Ubay tiba. "Abimanyu Ravendra."

Ubay memeluk map kuning tersebut sambil berjalan lemas menuju meja guru. Ada kekecewaan besar terselip di hatinya. Dengan sangat berat ia meletakkan raport kemudian menandatangani list pengembalian. Iya, keputusannya sudah bulat dan harus segera dikatakan. "Saya ingin berhenti sekolah, Bu."

Sontak kalimat yang diucapkan Ubay membuat seisi kelas terperangah. Bu Sella menghentikan aksi memeriksa tumpukan raport di mejanya. Lalu beliau menatap Ubay tidak percaya. "Apa yang membuat kamu begini, Abimanyu?"

"Ayah saya kehilangan pekerjaan, ibu juga sakit, dan kami butuh banyak uang untuk biaya terapi, adik-adik saya juga harus belajar." Ubay menundukkan kepala karena tidak sanggup lagi membendung air mata. "Dan satu lagi, saya bukan anak yang pintar."

"Sejak kapan pintar atau tidaknya siswa jadi tolak ukur untuk berhenti sekolah?"

Ubay menggeleng. Dia sendiri bingung menentukan jawaban untuk pertanyaan sang guru. Namun, Ubay menyimpulkan bahwa kepintaran adalah cara untuk membanggakan orang tuanya.

"Abimanyu, kesuksesan tidak melulu tentang siapa yang paling pandai. Kamu harus tahu bahwa bakat yang diam di tempat, akan kalah dengan sebuah bakat yang diusahakan dan diasah secara kontinu," jelas guru muda berwajah anggun tersebut. "Jadi coba pikirkan lagi, kalau kamu menyerah bagaimana mungkin akan menemukan masa depan yang lebih cerah?"

Ubay mengulum senyum, perkataan Bu Sella sangat benar. "Tapi—"

"Memulai sesuatu itu tidak perlu menunggu hebat. Kamu bisa hebat karena mau memulainya, paham?"

Hatinya terenyuh, Ubay seperti berdiri di atas perahu kecil dengan ombak yang besar. Terombang ambing hingga kesulitan menemukan pilihan. Dia kembali ke tempat duduk dengan tatapan kosong dan pikirannya terbang entah kemana. Semangat belajar yang dulu begitu menggebu-gebu sekarang sudah tidak ada karena terkubur oleh keadaan keluarga. Ubay tidak bisa melanjutkan sekolah dalam kondisi seperti ini.

"Bay, lo baik-baik aja?" Izar menepuk pundak sang sahabat, berusaha menenangkan. "Lo nggak boleh nyerah, ucapan Bu Sella bener tadi. Gue harap lo pikirin dulu sebelum ngambil keputusan."

Masih tidak ada nyawa dalam tatapan Ubay, tapi air mata luruh dengan sendirinya seolah berkata bahwa hatinya sedang berantakan. "Gue nggak bisa, keluarga gue nggak boleh terus-terusan kerja keras cuma demi pendidikan seorang anak yang bahkan nggak bisa diandelin."

"Kok lo ngomongnya nglantur gini, sih? Lo nggak boleh nyerah gitu aja, Bay, ingat perjuangan lo buat bisa sekolah!" tegas Izar.

"Sampai kapanpun, lo nggak akan pernah ngerti karena lo hidup di keluarga yang berkecukupan. Lo nggak bakal paham penderitaan kami," pungkas Ubay meninggalkan kelas beberapa menit setelag Bu Sella undur diri.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now