17

0 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Buk, tunggu anakmu ini sukses, ya!
Akan kubelikan apa yang dulu hanya bisa kau pegang lalu menaruhnya kembali karena terlalu mahal.
—Anakmu—

Hari Senin, tepat pada saat upacara bendera nama Ubay dipanggil oleh MC dengan sangat lantang. "Abimanyu Ravendra, juara satu kompetisi sains madrasah bidang matematika peminatan, tingkat kabupaten."

Ubay tersenyum kaku ketika maju di depan banyaknya siswa yang sedang baris disana. Sungguh tidak pernah dibayangkan bahwa hari membahagiakan ini akan tiba. Sebelumnya Ubay hanya bisa melihat teman-teman yang mendapatkan piala, tapi sekarang dia sendiri berada di posisi itu. Dia mencium punggung tangan kepala sekolah yang memberikan hadiah sebagai simbolis. Banyak do'a dipanjatkan, salah satunya, Ubay ingin menjadi seseorang yang bisa mengubah nasib keluarganya.

"Wih, hebat!" antusias Idris ketika Ubay kembali membawa sebuah piala.

"Gue nggak nyangka loh, kalo lo bisa dapetin ini," timpal Musa.

Barisan di bubarkan, semua siswa berhambur menuju kelasnya masing-masing. Namun, Ubay memilih untuk mengejar Izar yang menjauhi halaman entah akan pergi kemana. "Izar!"

Cowok yang dipanggil tidak mempedulikannya. Izar bersikap seolah tidak ada siapapun disana, ia berjalan menuju kantin sekolah dengan langkah cepat berusaha meninggalkan sang sahabat. Bukannya berhenti, cowok bertubuh gempal tersebut malah berlari sampai bisa menghadang jalan Izar. "Lo kenapa, Zar?"

Izar memutar bola mata malas, kemudian menyodorkan selembar uang dua ribu untuk membeli gorengan. Ibu kantin memberikan sekantung plastik berisi dua buah bakwan pada Izar. Lalu si jakung melahapnya tanpa melihat wajah Ubay ataupun menjawab pertanyaannya.

"Zar," tegur Ubay mencoba bersikap tenang. "Gue minta maaf kalo ada salah!"

Izar beranjak dari kantin setelah memakan sepotong bakwan, dan membawa sisanya sambil berlari menuju kelas. Ubay sudah lelah mengejar, tetapi kesalahpahaman ini tidak bisa dibiarkan lebih lama. Namun, dia sendiri tidak tahu apa yang membuat Izar begitu marah kepadanya.

***

Bel istirahat berbunyi, sudah saatnya Ubay kembali ke perpustakaan menuntaskan bacaan-bacaan yang belum diselesaikan. Baginya, mendengar penjelasan guru saja belum cukup untuk menambah wawasan. Ubay hanya perlu banyak membaca agar bisa mempersiapkan kompetisi lainnya dengan baik. Menghadapi soal tidak lagi membuatnya berkeringat dingin. Bahkan, ketika ada ujian dadakan pun Ubay sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Entah mengapa, memecahkan soal matematika membuatnya begitu senang.

Sementara di sisi lain, Izar duduk di kantin bersama teman-teman yang lainnya. "Lo semua pada ngerasa nggak sih, kalo Ubay udah banyak berubah sekarang?"

"Nggak, tuh, biasa aja," jawab Musa enteng.

Adam tampak berfikir, "Tapi menurut gue Izar nggak salah, deh. Kelakuan Ubay itu terlalu over."

"Iya bener banget, yaelah menang gitu doang alay," timpal Idris.

Ibrahim tidak terima dengam perkataan teman-temannya barusan. "Dia gitu juga karena perjuangannya sendiri kali, julid amat lo pada."

"Bra, gue rasa bukan tanpa sebab mereka bilang gitu. Bahkan sohibnya sendiri aja ngatain Ubay." Musa mulai membenarkan ucapan mereka. "Dia emang terlalu ambis banget, sih, ahir-ahir ini."

"Nah kan, mana mungkin kita temenan sama orang egois kayak dia." Izar semakin memanaskan keadaan. Namun, Ibrahim acuh saja, bukan urusan penting menilai cara seseorang merubah hidup mereka. Baginya yang terpenting adalah diri sendiri.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now