1

22 4 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Saya selalu memohon kepada Tuhan agar saya tidak mengacaukan segalanya.
-Ubay-

***

Keheningan malam dengan pancaran sinar rembulan menyala di atas sana. Sepoi angin menusuk kulit sawo matangnya menimbulkan rasa dingin menyeruak ke seluruh tubuh. Bola mata kecoklatan menatap nyalang bentangan langit bertabur bintang dengan kepala yang disandarkan di bingkai jendela kamar. Tangannya menggenggam sebuah buku catatan merah. Sesekali dia menghembuskan nafas gusar sambil memejamkan mata.

Mendingan setelah ini lo nguli aja kayak bokap lo.

Anak kayak gini juga paling di SMA nanti jadi bahan bullyan.

Nggak usah sok-sok lanjut sekolah, deh, emang punya biaya?

Suara bising mengenai kalimat yang dilontarkan teman-temannya tadi siang masih menggema di telinga. Otak remaja laki-laki ini terus berputar, berusaha menepis bayangan tentang pertanyaan banyak orang. Namun, tidak ada yang berhasil dihilangkan, kepalanya justru semakin dipenuhi tanda tanya baru.

"Gue lanjut, atau berhenti sampai disini?" gumamnya.

Tidak ada jawaban, angin sepoi membawa pertanyaannya melebur dengan ruang hampa tanpa cahaya di depan sana. Lagi-lagi dia menghembuskan nafas, berfikir banyak hal mengenai apa yang akan terjadi setelah ini. Buku merah tadi dibuka perlahan, ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Sebuah rumah kayu usang yang beberapa tiangnya mulai lapuk. Kamar ini tidak seluas milik orang-orang, dengan kasur keras berada tepat dibawah jendela. Satu lemari kecil menemani, setelahnya tidak ada apapun.

Kamar berantakan itu menjadi saksi bisu kegundahan hatinya. Dalam situasi seperti sekarang, hanya menulis yang bisa dilakukan. Ia mulai menggoyangkan pena di atas kertas untuk menuangkan isi hati. Sesekali mendongak untuk mengadu kepada bulan. Dia terlalu lelah menghadapi dunia.

***

"Le, sarapan dulu!" Suara medhok khas orang Jawa tersebut mencegah kepergian putra sulungnya.

Abimanyu Ravendra, remaja laki-laki bertubuh gempal dengan setelan seragam putih biru menatap sang ibu sejenak. Lalu pandangannya teralih pada dua anak berusia empat tahun di depannya. "Ibuk makan aja sama si kembar, Ubay hari ini ada ngaji pagi. Jadi harus buru-buru."

Mungkin memang benar hari ini ada kegiatan pagi di sekolahnya. Namun, bohong jika remaja laki-laki yang sering dipanggil Ubay itu tidak lapar. Dia mendapati nasi yang tersedia hanya cukup dimakan dua orang. Sepertinya sang ayah belum mendapatkan gaji hingga ibunya tidak punya cukup uang untuk membeli beras.

"Nanti di sekolah beli sarapan, loh!" Ibunya menyodorkan selembar uang lima ribu. "Ibuk cuma punya ini, maaf-"

"Kenapa minta maaf, Buk? Sisa uang saku Ubay yang kemarin juga masih ada, kok." Tenang dan penuh wibawa, tatapan Ubay tidak pernah gagal menyentuh hati lawan bicaranya.

"Hati-hati!" ucap sang ibu setelah dipamiti.

Ubay mengeluarkan sepeda onthel dari ruang tamu. Sepeda tua warisan turun temurun sejak zaman kakeknya. Tidak pernah terbesit rasa malu dalam hatinya saat mengendarai benda usang tersebut. Jarak tempuh rumah dengan sekolah yang cukup jauh dinikmati tanpa keluhan. Ubay selalu menyunggingkan senyum kepada para warga yang dikenali sepanjang jalan. Hampir semua temannya mengendarai motor menuju sekolah. Kalaupun ada yang bersepeda, sepeda kayuh yang mereka pakai adalah modelan sekarang dan bervariasi sangat cantik.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now