15

1 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Tidak ada yg sempurna, semua hanya berusaha untuk menuju kepada kesempurnaan.
—Pak Nadzir—

"Iki lo piye, Pak. Lihat kondisi kita sekarang! Bagaimana mau bertahan hidup setelah dua minggu ibuk cuma bisa ngutang buat makan, sedangkan kita nggak punya pemasukan sama sekali? Belum lagi biaya listrik, sekolah anak-anak, iyuran lingkungan. Mau sampai kapan kita begini terus?" Keluhan itu sudah terdengar sangat berisik padahal Ubay baru memarkir sepeda ontelnya di teras.

Sukardi pun menanggapi sang istri dengan rahang mengeras. "Sabar, Buk, sabar! Jangan ngeluh terus, kamu pikir bapak nggak capek apa denger ibuk tiap hari ngomel terus?!"

"Gimana mau sabar, kita bahkan nggak tau mau bertahan hidup sampai kapan." Yuli seakan sangat muak dengan takdirnya hingga terus mengeluarkan banyak kalimat yang kurang pantas.

"IBUK!" sentak Sukardi, "Istigfar, Buk. Sejak kapan ibuk bisa menentang kekuasaan Allah gini?!"

"Lihat, Pak! Bukan tanpa sebab ibuk kayak gini. Njenengan aja yang nggak mau berusaha cari kerja." Wanita berdaster bunga itu tetap kokoh pendirian.

Sementara sang suami memegang pundak Yuli berusaha memberikan penjelasan. "Yang namanya Allah itu menakdirkan kita hidup pasti juga udah diatur rezekinya. Mungkin emang belum waktunya aja kita kebagian rezeki lebih."

Ubay mematung di bingkai pintu rumahnya, keributan ini sudah sangat sering didapati sekarang. Dia begitu paham tentang kondisi yang memaksa kedua orangtua untuk selalu adu mulut. Yuli terlalu lelah mengatur keuangan yang tidak ada, hingga memaksa untuk sering mengumpulkan hutang hanya agar keluarganya makan. Sedangkan Sukardi mati-matian mencari pekerjaan kesana-kemari, berdo'a supaya ada orang baik yang mau memakai sedikit jasanya tetapi nihil. Ubay sudah cukup dewasa hingga mampu melihat penderitaan itu dari mata mereka.

"Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Sekarang hamba sadar, Ya Rabb... bahkan hanya karena uang, kedamaian dalam rumah ini pun semakin hari kian menghilang. Apa yang harus hamba lakukan?" gumamnya mengadu pada Tuhan.

Remaja laki-laki berseragam putih abu-abu tersebut hanya sangat lelah mendengar pertengkaran orang tuanya. Apa ketika mereka ditakdirkan untuk mendapatkan banyak uang, bisa mengembalikan kehangatan yang pernah ada? Apa uang mampu mendamaikan Yuli dan Sukardi? Mengapa harus uang? Mengapa takdir berlaku sangat kejam pada keluarganya? Setidaknya ketika dulu mereka miskin masih ada perdamaian, tapi sekarang? Kenapa sekarang damai pun sudah diambil dari mereka? Apa yang direncanakan Tuhan mengenai kehidupannya?

Berbagai pertanyaan muncul memenuhi otak Ubay tanpa bisa dijawab oleh siapapun termasuk dirinya sendiri. Dia sangat lelah menghadapi dunia yang mulai terlihat mengerikan. Tanpa mengucap sepatah kata, ia melewati kedua orangtua yang masih berdebat itu.

***

Sorot lampu belajar temaram menyibak kegelapan dalam ruangan. Sebuah ruang yang sangat sepi dan gelap, tidak ada benda yang mampu dilihat oleh mata karena pencahayaan terlalu redup. Seorang remaja laki-laki menenggelamkan kepala sambil memeluk lutut, tepat di bawah lampu belajar itu. Punggungnya tampak bergetar tetapi masih hening. Dia berusaha menangis tanpa mengeluarkan suara, berharap kegelapan dalam kamarnya malam ini mampu meredam keluh kesah yang dirasakan.

Sarung hitam, kemeja hijau tua, dan peci masih melekat sempurna di tubuhnya. Pukul dua belas dini hari, dia memeluk sajadah yang barusaja digunakan untuk sujud. Posisi duduknya sekarang berubah menjadi bersila menghadap kiblat kemudian menengadahkan kedua telapak tangan untuk berdoa. "Kembalikanlah kedamaian yang ada diantara bapak dan ibu, Ya Rabb... beri kami kecukupan rezeki supaya bisa lebih taat dalam beribadah kepada-Mu!" desisnya.

Setelah mengatakan banyak hal dan ditutup dengan do'a sapu jagat, Ubay melipat sajadah lalu duduk di meja belajarnya. Malam ini harus dia lembur untuk berusaha keras memahami soal-soal matematika. Dia tidak boleh melewati satu kesempatan pun dari buku-buku paket itu. Kali ini ambisi Ubay tidak boleh padam, prioritasnya adalah menjadi juara kelas, memenangkan kompetisi, dan mendapatkan beasiswa agar meringankan beban kedua orangtuanya.

Walaupun jam berjalan cepat dan telah menunjukkan pukul dua, Ubay memaksa rasa kantuk untuk terus bergulat dengan angka-angka disana. Mencoret banyak kertas, menghafal rumus, membolak-balik halaman, hingga mengerjakan semua soal yang ada. Dia butuh kerja keras yang lebih besar dari sebelumnya karena hanya ini satu-satunya cara untuk kembali menciptakan perdamaian di dalam rumah.

Keesokan harinya, Yuli menemukan sang putra terlelap di antara banyak buku pada meja belajarnya. Cowok itu masih menutup mata dengan lengan sebelah kiri sebagai bantal sementara satu tangan lainnya masih memegang pensil. Yuli mengelus rambut tebal putra sulungnya penuh kasih, "Bang Ubay, bangun!"

Ubay beringsut kemudian menyesuaikan cahaya yang masuk di matanya. Entah sejak kapan dia tidur dalam posisi ini, tapi tangannya keram, leher dan punggungnya pun terasa nyeri. "Semalam Ubay belajar menyelesaikan soal ini, Buk. Jadi nggak sadar kalau ketiduran." lapornya.

Yuli hanya tersenyum untuk menanggapi ucapan Ubay. Wanita itu kemudian berbalik meninggalkan kamar putranya.

***

Seperti biasa, ketika Ubay sampai di sekolah, sudah ada banyak siswa mengerumuni majalah dinding untuk melihat informasi terbaru mengenai sekolah. Ubay penasaran karena hanya para siswa ambis yang melihatnya. Lalu, dia membelah kerumunan dan berhasil sampai tepat di depan kaca mading. "Kompetisi sains madrasah? Kesempatan bagus!"

"Apanya yang bagus?" tanya seorang gadis yang memiliki tinggi badan sama persis dengan Ubay.

"Gue mau coba ikut ini, Ais," antusiasnya.

"APA? Lo mau ikutan ini? Nggak salah denger, ya, gue?" Bukan Nur, tetapi gadis kelas sebrangan yang sejak awal selalu meremehkan Ubay. Dia menyela perkataan Ubay tanpa berfikir.

"Emangnya kenapa kalo dia ikut? Toh, ini terbuka bebas buat siapapun kan?" bela Nur Aisyah.

"Apaan, sih, lo? Ikut campur aja," sinis gadis itu lalu meninggalkan mereka berdua.

Nur mengedikkan bahu acuh, "Mau daftar bareng? Gue bakalan ikut di kimia, kalau lo gimana?"

"Matematika, gue mau coba," jawab Ubay mantap.

"Baguslah, nanti jam istirahat kita bisa ke kantor bareng."

"Oke!"

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now