2

9 3 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Gagal adalah ketika kita berhenti berusaha.
—Ubay—
***

Orang bilang, keheningan adalah tempat terbaik untuk mendengarkan bisikan hati. Inilah alasan mengapa Ubay sangat menyukai tempat-tempat yang sepi. Disana ia bisa menemukan banyak hal terutama mengenai dirinya sendiri. Setelah meninggalkan kelas, remaja laki-laki berseragam putih biru tersebut duduk di ranting pohon kersen belakang sekolah. Kedua kakinya diayunkan untuk menendang udara secara bebas dengan pandangan menatap nyalang semak dan guguran daun kering di bawah sana.

"Lanjut kemana? Buat apa? Tapi kalo berhenti— AAARRRGGGHHH!" Ubay mengacak rambutnya secara bruntal. Sungguh, dia merasa sangat kacau hari ini.

Pohon buah kersen yang dinaiki bergoyang karena ulahnya. Hingga Ubay memutuskan untuk berhenti berpikir, dia kembali memanjat agar bisa memetik buah yang sudah berwarna merah. Banyak sekali kersen yang sudah masak disini karena memang tempatnya tidak pernah dikunjungi orang. Setelah terkumpul dua genggam buah kersen berwarna merah, Ubay membungkusnya menggunakan kantung kresek kecil dari dalam saku. Kemudian ia meninggalkan belakang sekolah untuk kembali mengikuti pelajaran.

Tidak ada yang peduli. Selama di kelas, Ubay bahkan selalu duduk sendirian di belakang anak perempuan. Maka dari itu sudah menjadi hal yang biasa jika interaksinya cenderung sering dengan para gadis. Ria dan Fanya adalah sahabat yang dimiki Ubay. Tempat duduk mereka juga berdekatan, Fanya adalah gadis paling mengerti kondisinya.

"Darimana, Bay?" tanya Fanya.

"Petik buah kersen di belakang," jawab Ubay seadanya.

Ria datang tergopoh setelah pergi dari toilet. "Eh guys, gue denger nanti kita pulang lebih awal. Katanya sih—"

Kriiiiingggg....

Bel panjang berbunyi nyaring sebelum Ria sempat menyelesaikan ucapannya. Fanya tertawa renyah melihat raut wajah Ria. "Manjur amat do'a lo, Ri."

"Yaudahlah ya, minggu depan kita juga mulai ujian. Jadi perlu banyak persiapan, makanya para guru mau rapat."

Hati kecil Ubay seperti teriris belati tumpul. Rasanya nyeri mendengar berita ujian akan segera datang, dia tidak pernah bisa menjadi juara dan membahagiakan keluarga. Kata orang, semakin besar perjuangan maka hasilnya pasti indah. Tapi orang tua gue mati-matian usaha tetep aja otak gue nggak bisa diajak kerja sama.

Sudah terlalu banyak pemikiran yang menghujam kepala Abimanyu Ravendra. Remaja laki-laki berseragam putih biru tersebut sangat terganggu dengan pertanyaan tanpa jawaban di otaknya. Semesta seolah memahami kegundahan yang sedang terjadi. Di tengah perjalanan pulang, rintik hujan jatuh tanpa permisi mengguyur kota Tuban dengan sangat deras.

Ubay memilih untuk mengayuh sepedanya agar cepat sampai di sebuah toko kecil. Jarak tempuh untuk pulang ke rumah memang sudah tidak lama lagi. Namun, lebih baik dia berteduh daripada membuat buku pelajaran dan rangselnya basah. Tidak ada persediaan tas sebagai ganti jika ada kendala seperti ini. Ubay hanya memiliki satu rangsel hitam, itupun sebenarnya sudah tidak layak pakai.

Sambil menunggu hujan reda, ia berdiri menatap jalan kecil yang biasa dilalui penduduk desa untuk pergi ke kecamatan. Tubuh Ubay mulai terasa dingin karena angin yang berhembus kencang menyertai air hujan. Samar-samar pandangannya menatap sesosok pria paruh baya yang sedang kesulitan mendorong sepeda motor tua dengan tumpukan rumput liar di jog bagian  belakang. Wajah kelelahan yang terguyur hujan semakin jelas karena langkah renta pria itu terus mendekati tempat Ubay berdiri.

Setetes air mata membasahi pipi tirus Ubay. Dia menangis tatkala mendapati sosok tersebut tidak lain adalah Sukardi—ayahnya. Buru-buru dia mengusap lelehan air mata ketika sang ayah sudah sampai di depannya. "Ubay, kamu udah pulang, Le?"

Ubay berusaha keras mengulas senyum sambil mengangguk untuk Sukardi, padahal dadanya sangat sesak. Senyuman itu membuat air mata kembali luruh, tapi diusap dengan cepat sebelum dilihat ayahnya.

"Bapak motornya mogok lagi, ya?" tanyanya masih berusaha tegar.

Sukardi menjagang tengah motor yang terdapat banyak rumput liar diikat menjadi satu itu. "Iya, tadi knalpotnya kemasukan air hujan."

Sudah tidak bisa ditahan lagi, Ubay memalingkan wajah dari sang ayah sambil berkata, "Berat, ya, Pak? Pasti capek banget hujan-hujan ngumpulin rumput liar."

"Kalau nggak dikumpulkan, sapi kita mau makan apa?" Di rumah, mereka memang mempunyai seekor sapi. Namun, malangnya sapi tersebut pun juga tidak sebugar milik orang-orang. "Sapi itu harus tetap sehat, toh buat jaga-jaga kebutuhan sekolah kamu."

Dalam hati Ubay, ingin sekali dia berteriak mendengar penuturan ayahnya. Apa ini? Pengorbanan macam apa yang beliau berikan? Kerja keras itu hanya diperuntukkan untuknya saja? Sungguh, betapa hebat orang tua rela mengorbankan segalanya tanpa berpikir ulang demi anak-anak mereka. Luar biasa bukan? Lalu, apa pantas kita bersikap kasar kepada para malaikat tidak bersayap itu?

***

Pukul satu siang, Ubay dan Sukardi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Adik kembar perempuannya menghampiri sambil berlari dengan girang. Ubay menatap bola mata berseri milik kedua bocah itu bergantian. Lalu, ia mengingat sesuatu dan mengeluarkannya dari dalam tas. "Siapa yang mau buah kersen?"

"Rafa mau!"

"Buat Fara aja semuanya, Bang!"

Kantung kresek berisi buah kersen merah tersebut dibagi menjadi dua bagian sama banyak untuk adik-adiknya. "Jangan bertengkar, abang mau ganti baju dulu!"

Sesampainya di dalam kamar, Ubay menghembuskan nafas gusar. Hari yang sangat melelahkan. Dia mendapati banyak pertanyaan sekaligus teka-teki secara bersamaan. Melihat bagaimana keadaan sang ayah dan raut kelelahannya, penantian ibu bersama dua adik perempuan yang lucu, dan juga barang-barang di sekitarnya saat ini membuatnya banyak berpikir. "Apa gue berhenti sekolah dan bantu bapak kerja, ya?"

"Nggak, nggak bisa. Kalau gue kerja, nggak akan ada ilmu lagi, mimpi gue buat jadi arsitek bakalan kandas. Dan pekerjaan di usia segini nggak mungkin bisa ngangkat derajat kami." Ubay melempar tasnya ke sembarang arah kemudian merebahkan tubuh basah ke atas kasur keras dalam kamar kecil itu.

"Gue harus gimana, Ya Allah?" gelisahnya.

Pelupuk matanya mulai terpejam tapi tidak membuat gemuruh dalam hati dan kepalanya diam. "Gue kalau lanjut sekolah juga pasti makin jadi beban."

"Nasib bapak, ibuk, sama bocil-bocil tergantung keputusan gue. Masa iya, gue tega biarin hidup mereka begini terus sampai tua?" berbagai pertanyaan berusaha dia jawab sendiri tanpa bantuan siapapun. Dia kembali bangkit dari posisi semula untuk mengambil buku catatan dan menulis.

Bantu hamba menjawab pertanyaan ini, Ya Rabb!

Tulisannya seperti anak laki-laki normal, tidak terlalu bagus bahkan terlihat berantakan. Namun, dia sangat suka menulis. Setidaknya tulisan itu akan menemani sepanjang perjalanan hidup yang dilewati. "Apa gue harus nyerah sampai disini?"

***
Kiw kiw
Sampai disini, pelajaran apa yang bisa Stars dapat?

Jangan lupa pencet bintang!!

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now