8

0 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Lebih baik, gunakan kedua tanganmu untuk menutup telinga karena jika digunakan untuk menutup mulut orang lain tidak akan pernah cukup.
Ingat, tanganmu hanya dua, tapi mulut mereka banyak.
—Ubay—

"Bisa-bisanya gue masuk kelas ini. Ya Allah, beri hamba jalan keluar, hamba sama sekali tidak menemukan kenyamanan belajar disini," keluhnya.

Ubay mengedarkan pandangan, ia melihat teman-teman yang tampak asyik mengobrol. Bu Sela sudah keluar karena hanya menyampaikan mengenai jadwal pelajaran tadi. Jadi, kondisi kelas kembali ricuh oleh obrolan-obrolan yang Ubay tidak paham apa isinya. Mereka sibuk dengan dunia sendiri, hingga mengabaikan dirinya yang duduk di sudut ruangan.

Gadis-gadis di depan Ubay tidak seperti Ria dan Fanya. Mereka justru menatapnya dengan tatapan sinis seolah ini bukan kelas yang layak untuk ditempati Ubay. Tidak ada kenyamanan disini. Remaja laki-laki bertubuh gempal tersebut keluar kelas untuk pergi ke toilet. Bahkan sedikit pergerakannya mampu mengundang atensi seisi kelas dan membuat mereka berbisik-bisik.

Salah satu siswa disana berteriak, "Si Culun mau keluar, woy!"

"Wadooo, bahaya ini. Jangan-jangan dia ngadu ke guru!" sahut siswa lain berniat meledek.

Ubay menunduk, melihat penampilannya yang sederhana. Sepatu agak robek karena memang tidak membeli baru sejak MTs, tapi celananya tampak bersih. Menurutnya tidak ada yang salah, seragam Ubay telah disetrika layaknya siswa lain. Kemudian dia meraba rambut tebal berwarna hitamnya yang disisir lebih rapi dari mereka.

"Cih, lo pikir kita salah mandang lo culun?" gadis itu lagi. Entah siapa namanya, dia mendekati Ubay sambil bersendakap. "Lihat aja penampilan lo, mau sekolah itu modal dikit napa!"

Ubay memilih untuk tersenyum, tapi kali ini senyuman itu tampak mengerikan. "Sorry, gue sekolah buat cari ilmu, bukan adu outfit."

Setelah mengatakan itu, dia pergi meninggalkan kelas yang seketika terdengar hening. Mungkin saja mereka tidak pernah menduga tentang jawaban dari Ubay. Dari kelas IPS menuju toilet, ia berjalan melewati kelas sebelah. Anak-anak IPA terlihat damai, mereka bahkan sudah mulai bergelut dengan angka. Ubay melihat di depan sana ada seorang guru membagikan rumus dasar dan beberapa soal. Lalu siapa saja yang bisa menyelesaikan soal tersebut mendapatkan hadiah.

Ubay terus mengamati kelas IPA melalui jendela hingga niat pergi ke toilet sudah diurungkan. Ternyata matematika itu tampak menyenangkan. Mereka yang gemar mempelajari matematika cenderung bisa berfikir kritis, teliti, dan juga melatih kesabaran. Matematika mampu mengasah kemampuan untuk meningkatkan logika, cara berpikir, sekaligus bagaimana cara mengatasi keadaan bercabang-cabang. Hal itu menarik keinginannya untuk belajar lebih giat.

Untuk menguasai ilmu matematika, Ubay butuh banyak belajar. Namun, dalam kelas IPS mata pelajaran matematika hanya ada satu. Hal tersebut tentu membuatnya kesulitan. Tidak ada cara lain, dia harus memberanikan diri untuk bisa bangkit.

Bu Agnisa, waka kurikulum di MA Tarbiyatul Islam sekaligus guru matematika yang mengajar di kelas IPA keluar dari sana. Beliau mendapati Ubay yang berdiri tepat di depan pintu kelas tersebut. "Kenapa, Nak?"

"Bu, saya mau pindah kelas, boleh?" Ubay mengatakannya dalam satu tarikan nafas. Tidak pernah dibayangkan bahwa hal ini benar-benar berani dikatakan.

"Kamu temui waka kesiswaan, dan konsultasi dengan beliau!"

Ubay mengangguk antusias, "Baik terima kasih banyak, Bu!"

Duduk di kantor tata usaha sekolah cukup membiatnya berdebar. Jika dikatakan penakut maka kalian salah karena Ubay hanya merasa gemetar setiap menghadapi suatu keadaan. Dia selalu kesulitan mengambil langkah dan terkadang sering terkena serangan gugup.

Seorang guru datang menemuinya, lelaki berkulit putih tersebut menyunggingkan senyum setelah Ubay mencium punggung tangannya. "Ada perlu apa?"

Ubay menunduk lagi, memainkan jemarinya untuk mengurangi rasa gugup. Setelah berfikir cukup lama, dia memberanikan diri untuk menatap sang guru. "Saya—"

Menarik nafas dalam-dalam, remaja laki-laki bertubuh gempal itu mencoba untuk memilih kalimat yang tepat. "Saya ingin mengajukan diri untuk pindah kelas, dari jurusan IPS ke jurusan IPA, Pak."

Pak Basyir Nadzir tampak menimang, "Kemarin bukannya sudah ujian?"

"Iya, Pak, tapi sepertinya saya kurang cocok berada di kelas IPS," terang Ubay.

"Siapa nama kamu?" Guru yang sering dipanggil Pak Nadzir itu duduk di tempatnya untuk mencari dokumen berisi nama-nama siswa baru.

"Abimanyu Ravendra, Pak."

"Coba beri alasan kenapa kamu ingin pindah kelas!" perintah beliau terlihat santai saja.

Ubay sedikit merasakan takut dalam menjelaskan hal ini. Namun, jika dia tidak mengatakannya maka tiga tahun ke depan dia tidak akan pernah merasa nyaman. "Sejujurnya saya kurang nyaman dengan teman-teman, Pak. Disamping itu, saya juga ingin mempelajari matematika secara detail."

"Baiklah kalau begitu,  karena ini masih awal jadi masih bisa pindah jurusan dengan mudah. Tapi hari ini kamu tinggal di IPS dulu, besok baru masuk ke kelas IPA." Pak Nadzir berdiri dan menepuk pundak Ubay yang sedang duduk di depan mejanya. "Saya senang dengan semangatmu!"

Pupil mata kecoklatan milik Ubay membesar, dia sangat gembira dengan sambutan baik dari sang guru. "Terima kasih banyak, Pak. Saya permisi!"

***

Hari yang sangat melelahkan, Ubay merebahkan tubuh lelahnya setelah sampai di rumah. Seragam putih abu-abu masih dia kenakan lengkap dengan sepatu dan dasi. Belum ada niatan untuk mengganti baju apalagi mandi, terik matahari terlalu menyengat hingga membuatnya terlalu lelah. Terlebih lagi jarak tempuh antara rumah dengan sekolah yang dua kali lebih jauh dari sebelumnya, dan harus dilalui dengan mengayuh sepeda.

"Le, masih capek?" tanya Yuli berdiri di ambang pintu kamar putra sulungnya.

Ubay berdiri menghampiri sang ibu. "Enggak kok, ibuk butuh bantuan apa?"

"Pakan sapi habis, bapakmu juga sibuk kerja sekarang. Jadi kalau udah nggak capek Bang Ubay pergi ke ladang buat ¹ngarit!"

"Oke, Ubay ganti baju dulu." Ubay menatap pantulan dirinya pada cermin, "Gue nggak boleh capek!"

Dia bergegas mengganti seragamnya dengan kaos berwarna maroon dan celana hitam panjangnya selutut. Kemudian Ubay mengambil topi dan pergi ke luar kamar untuk mengambil sabit dan karung. Ia langsung berangkat ke ladang tanpa alas kaki karena tanah disana becek.

Setelah menemukan rumput yang panjang dan hijau, Ubay langsung duduk dan memotongnya menggunakan sabit. Sampai rumput liat tersebut terkumpul hampir setengah karung, dia berhenti sejenak. "Ternyata jadi orang dewasa itu nggak mudah."

Lamunannya mengarah pada sang ayah yang setiap hari melakukan hal ini. Di sekolah tugas Ubay hanya belajar lalu setelah pulang bisa kembali beristirahat. Namun, itu tidak berlaku bagi orang dewasa. Mereka pergi bekerja untuk kebutuhan keluarganya, setelah pulang harus mencari pakan hewan ternak, belum lagi mengurus banyak hal sendirian. "Baru gini aja punggung gue udah sakit, gimana bapak kalo tiap hari harus kerja berat, ya?"

Inilah alasan mengapa seorang pelajar harus tetap semangat menjalani hari-hari mereka di sekolah. Pelajar tidak pernah tahu bahwa dibalik itu ada keringat ayah, dan air mata ibunya yang mengalir agar putra putri beliau bisa hidup bahagia. Kawan, tugasmu hanya belajar jadi jangan buang waktu lagi!

FYI : 1. Ngarit : mencari rumput dengan menggunakan sabit.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now