18

0 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Bersikaplah seperti air yang selalu mengalir tanpa menyingkirkan bebatuan besar yang menghalangi arusnya.
—Abimanyu Ravendra—

Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa kini Ubay telah berada di jenjang paling atas yaitu kelas dua belas. Berbagai macam piala berhasil diraih oleh Ubay, prestasinya terus meningkat sampai sekarang. Seperti saat ini, entah untuk mengambil piala yang ke berapa ia kembali maju ke halaman sekolah saat upacara karena memenangkan olimpiade matematika tingkat provinsi. Sambutan meriah diiringi apresiasi tepuk tangan seantero madrasah semakin membuatnya tersenyum bangga.

Medali perak bertengger manis di lehernya setelah kepala madrasah mengalungkan benda tersebut. Walaupun mendapatkan juara kedua, tapi semangat Ubay selalu membara. Kebiasaan belajar dan membaca membawanya berada pada posisi ini. Namun, kondisi persahabatan Ubay semakin memburuk saja. Diantara banyaknya teman satu angkatan kelas dua belas, tidak ada yang suka mengenai kemenangan-kemenangannya. Tepuk tangan meriah tadi bahkan terasa hambar karena didasari oleh totalitas belaka.

"Dipersilakan untuk Kak Abimanyu Ravendra agar menyampaikan beberapa patah kata!" ucap seorang MC upacara yang merupakan adik kelas Ubay.

Remaja bertubuh gempal dengan rambut tebal tersebut mengambil alih mikrofon kemudian mulai berbicara. "Terima kasih telah mrmberikan kesempatan bagi saya untuk berbicara. Berdirinya saya disini ingin mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada bapak ibu guru dan teman-teman sekalian atas apresiasi yang telah diberikan."

Ubay mengambil nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. "Mungkin pada prestasi yang saya raih sebelumnya tidak ada ucapan apapun selain terima kasih. Namun, pada kesempatan kali ini izinkan saya menyampaikan apa yang saya rasakan."

Peserta upacara yang sedang istirahat di tempat termenung. Menunggu kalimat apa yang akan disampaikan oleh Ubay. "Ada banyak perubahan yang saya rasakan ketika berada di Madrasah Aliyah Tarbiyatul Islam. Dulu saya hanya anak pengecut yang mudah menyerah, tidak berani menampakkan diri di keramaian, bahkan selalu gemetar hanya karena mendengar berita akan diadakan ulangan harian. Saya bukan anak hebat karena keberhasilan ini pun diraih dari kebodohan saya di masa lalu. Saya percaya pada do'a dan kerja keras, hingga kelemahan itu membuat saya bangkit menjadi sosok Abimanyu Ravendra yang sekarang."

"Seorang Ubaynya teman-teman yang pemberani, tidak lagi takut menghadapi soal-soal. Menurut saya, ulangan harian, semester, dan banyak hal yang melibatkan permasalahan menyelesaikan soal-soal hanya berfungsi untuk menjadikan kita sebagai pelajar yang tanggap dan teliti. Jadi, untuk teman-teman sekalian jangan pernah takut menghadapi ujian, karena hanya ujian lah yang membawa kita naik kelas." Ubay tersenyum sambil menyisir keramaian dengan tatapan matanya. Ada sesuatu yang membuatnya bersedih, tapi itu tidak bertahan lama. Dia memilih kembali ke tempat semula sambil menggenggam piala.

"Terima kasih atas prestasi sekaligus motivasi dari Abimanyu. Teruntuk anak-anakku sekalian, mohon do'anya karena besok kami akan berangkat ke kota sebagai delegasi dari provinsi untuk melaksanakan satu olimpiade yang ditunggu-tunggu yaitu olimpiade matematika tingkat nasional. Semoga sekolah kita mampu membawa pulang medali emas." Pak Nadzir mengambil alih mikrofon setelah Ubay kembali ke barisan upacara.

"Aamiin," jawab para siswa serentak.

Barisan dibubarkan, seperti biasanya, Ubay berusaha memperbaiki hubungan dengan Izar. Sudah satu tahun cowok itu bersikap buruk kepada Ubay. Namun, hal tersebut tidak membuat Ubay membalas apalagi memusuhi sang sahabat. "Izar lo mau makan apa nanti di kantin? Gue yang traktir, gimana?"

Respon buruk didapati oleh Ubay, diiringi tatapan sinis Izar. "Nggak perlu, mendingan lo belajar aja terus, ngapain ingat gue."

"Zar, kalo gue ada salah ngomong. Udah hampir satu tahun lo begini terus, sekarang kita udah mau lulus kenapa lo—"

"Nggak usah bacot lo," potong Izar seolah sangat muak mendengar suara Ubay. "Gue ingetin lagi kalo lo lupa, gara-gara lo yang selalu dipuji banyak orang, gue jadi dibandingin terus sama lo. Lagian nggak usah sok asik mau nraktir gue, waktu itu aja lo nggak dateng pas mau ngrayain ulang tahun gue dan lo malah sibuk belajar terus. Yaudah, temenan aja sama buku, dia yang udah buat lo berhasil kan?"

Ubay menarik tangan Izar tetapi ditepis kasar oleh sang empu. "Izar gue kan udah jelasin kalo itu cuma salah paham, dan mereka yang ngebandingin kita itu—"

"DIEM! Nggak guna lo ngebacot disini." Ucapan kasar dan menusuk dari Izar sudah terlalu sering didengar. Oleh karena itu Ubay tidak lagi terkejut tentang perlakuan seperti ini.

***

Mana piala lo, Zar? Katanya keberhasilan seseorang tergantung dengan siapa dia berteman kan? Kok lo temenan sama anak jenius nggak jadi pinter?

Iya, padahal dulu lo lebih hebat dari dia, kenapa sekarang jadi kalah, sih?

Minta diajarin Ubay, Zar! Biar kalian pinter bareng-bareng gitu.

Betul banget, nggak etis juga temennya mau berangkat olimpiade nasional, tapi lo masih duduk diam disini.

"DIA BUKAN TEMEN GUE, ANJ—"

"Astagfirullah hal adzim, istigfar, Zafran Abizar!" tegur Ubay yang tidak sengaja melewati kerumunan siswa disana.

Izar menatap tajam ke arah sang sahabat yang sudah siap berangkat ke kota mengenakan jaz olimpiade nasional berwarna hijau, dan tumpukan buku di dekapannya. Si jakung menyunggingkan smrik yang menakutkan dengan tangan mengepal kuat di sisi tubuh. "Puas lo? PUAS BUAT GUE TERHINA KAYAK GINI?!"

"Ini semua diluar kendali gue, Zar. Lo nggak bisa hancurin persahabatan kita karena ucapan mereka," tutur Ubay dengan bahasa yang sangat lembut. Namun, itu tidak bisa berubah kenyataan bahwa Izar terlanjur membencinya.

"Cih, persahabatan. Nggak usah ngaku-ngaku, gue temenin lo cuma karena kasihan. Jadi jangan ngarep lebih!"

Diantara banyaknya kalimat pedas yang dilontarkan oleh Izar, inilah yang paling menusuk. Ubay tidak lagi sanggup menahan diri untuk terluka. Seolah ditampar keras keadaan, ucapan seseorang yang telah dianggap sahabat baik itu jauh lebih menyakitkan. Ia bungkam dan tidak sanggup lagi mengeluarkan kalimat dari bibirnya.

"Gue nggak akan biarin lo berhasil dan semakin membuat harga diri gue diinjak banyak orang!" Izar menarik paksa tumpukan buku berisi kisi-kisi olimpiade nasional dari tangan Ubay kemudian membawanya berlari meninggalkan cowok itu.

Ubay berusaha meraih kembali tumpukan buku itu karena berisi file penting untuk perlombaan. Jika saja kisi-kisi soal hilang, maka Ubay tidak bisa belajar lagi. "Zar, please jangan gini!"

Ubay berusaha mengimbangi langkah kaki Izar yang berlari semakin cepat meninggalkannya. Sampai pada ujung tangga cowok itu berhenti dengan mulut yang menganga lebar karena terkejut. "IZARR!"

Ubay sudah tidak bisa berkata apapun ketika melihat tubuh Izar yang terguling hingga lantai bawah. Darah segar mengalir dari kaki si jakung hingga menimbulkan kerumunan. Ubay menepuk-nepuk pelan pipi sang sahabat yang sudah lemas karena kehabisan banyak darah. "Zar, bangun!"

Suasana semakin buruk setelah Izar perlahan-lahan menutup mata. Kepalanya berada di pangkuan Ubay dengan tangan yang digenggamnya kuat itu menjadi lemas. Ubay menangis sejadi-jadinya karena terlalu panik, dia tidak bisa melihat darah terus mengalir dari kaki sang sahabat. "SIAPAPUN TOLONG BANTU, JANGAN DILIHATIN DOANG, BEGO!"

Siswa siswi yang sejak tadi hanya melihat mereka kini berhambur mencari pertolongan. "Ubay, hari ini olimpiade nasional dilaksanakan. Lo udah ditunggu sama—"

"Gue nggak peduli, selamatkan Izar dulu!"

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now