3

8 3 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Kamu harus menjadi lebih kuat lagi untuk bisa menguatkan orang-orang di sekitarmu.
—Sukardi—

Remaja laki-laki dengan style rambut fringe haircut menghembuskan nafas gusar. Setelah melaksanakan sholat dhuhur dia memberanikan diri untuk melangkah ke luar kamar. Isi kepalanya sudah terlalu berat hingga tidak ada pilihan lagi selain menemui keluarga. "Sepertinya gue harus berjuang lebih keras lagi. Demi mereka!"

Pandangan Ubay terpaku pada dua adik kembar yang memakan buah kersen dengan lahap sambil bermain boneka. Tidak jauh dari situ, ayahnya duduk di dekat dapur menikmati secangkir kopi. Namun, dia tidak mendapati sang ibu ada disana. "Ubay nggak lihat ibuk, Pak?"

Sukardi menyesap kopi lalu menatap bola mata kecoklatan putranya. "Nyuci baju."

Remaja laki-laki berkaos hitam dan celana pendek itu duduk di kursi depan sang ayah dengan meja panjang sebagai pemisahnya. Ubay memperhatikan pria paruh baya tersebut mulai mengeluarkan sebatang rokok lalu mematiknya. Keriput samar sudah menghiasi kulit gelapnya. Wajah yang berusaha selalu tampak tegar, kini tidak kuasa menyembunyikan kelelahan. Setelah rokok dihisap, asap keluar sangat banyak membuat Ubay terbatuk karena tidak tahan pengap.

"Main sama adek-adekmu sana, bapak tau kamu nggak suka bau rokok." Sukardi menggeser asbak sebagai sarana membuang putung rokoknya.

Ubay terpaku, dia sangat ingin mengajak ayahnya berpicara tetapi tidak tahu bagaimana cara memulai. Remaja laki-laki itu memainkan ujung kaos di bawah meja sambil menundukkan kepala. Sesekali pandangannya kembali tertuju pada Sukardi yang tengah menatapnya heran.

"Ada masalah?" tanya Sukardi terus terang.

Ubay menggelengkan kepala, di detik berikutnya ia mengangguk. Hal itu sontak membuat Sukardi bingung hingga si pria paruh baya memilih untuk berhenti menghisap rokok.

"Le!" tegur Sukardi berusaha memahami.

Ubay memberanikan diri mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Dia mengambil nafas dalam-dalam sebelum mulai angkat bicara. "Ubay mau minta saran dari bapak."

Sepertinya pembicaraan ini akan serius, sehingga Sukardi memilih untuk menggeser kursinya dan duduk di dekat Ubay. "Saran apa?"

"Ubay pengen lanjut sekolah, tapi takut kalau bapak sama ibuk terbebani. Biaya sekolah jenjang SMA kan mahal." Suara Ubay terdengar sangat lirih.

"Apa yang kamu takuti, Bay?"

Remaja berkaos hitam tersebut lagi-lagi menundukkan kepala. "Kita orang susah, bapak kerja berat cuma buat biaya sekolah, dan makan sehari-hari pun kadang kurang. Ubay nggak pengen lihat bapak begitu lebih lama lagi. Di usia sekarang, harusnya njenengan¹ istirahat."

"Tapi kamu masih mau sekolah lagi? Masih punya cita-cita kan?" tebak sang ayah.

Ubay mengangguk ragu. Lalu, dia mengangkat kepala menatap mata ayahnya untuk menegaskan perbuatan barusan. "Bapak nggak perlu khawatir, Ubay nggak apa-apa kalau lulus MTs langsung bantu kerja."

Sukardi tersenyum simpul, "Bapak tahu bukan itu yang kamu mau."

"Ubay punya impian besar buat merubah nasib kita ..." Jawab Ubay dengan nada bicara yang bergetar tidak sanggup menahan tangis. "Siapa yang akan menjunjung derajat bapak sama ibuk kalo bukan Ubay? Tapi, Ubay nggak mau lihat bapak terus-terusan menyiksa diri demi sekolah Ubay."

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now