11

0 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

The wound you feel today is a new strength in the future.
—Rissinzet—

Esok hari setelah pulang dari pengambilan raport, amarah Sukardi semakin menjadi-jadi. Bagaikan gunung berapi yang sudah muak menahan lava dalam perutnya, kali ini letusan kemarahan itu tidak bisa dihentikan. Mungkin saja hal tersebut akan menghancurkan segalanya. Rumah yang dulu terasa sangat harmonis, satu-satunya harta milik Ubay juga telah direnggut. Sekarang tidak ada lagi harapan, kehangatan dalam rumah itu semakin terkikis.

"Pak—"

Sukardi mengacak rambutnya frustrasi. "APA?! Buat malu aja kamu."

"Bapak, tenang dulu!" Yuli berusaha mendekati suaminya dengan Rafa berada di gendongan sementara Fara merangkul kakinya.

"Tenang kamu bilang?"

Brak

Raport yang dibanting ke meja bukan menjadi hal baru bagi Ubay. Benda itu bagaikan cambuk keras yang selalu mendenging di telinganya. Namun, kali ini terdengar jauh lebih menyakitkan karena kilatan amarah sang ayah meluap-luap dan tidak mampu diredam dengan apapun. Itulah mengapa ia memilih untuk menerima kenyataan bahwa Sukardi telah berubah. "ANAKMU, ANAK KESAYANGANMU INI DAPAT PERINGKAT TERAKHIR DI KELAS!"

Yuli tersentak mendengar jawaban sang suami. Selain karena nada bicara yang naik, kenyataan bahwa Ubay mendapatkan peringkat terakhir membuatnya hampir tidak percaya. "Ke—kenapa bisa begitu?"

"Tanya sendiri, menyesal bapak menyekolahkan anak ini." Kalimat pedas itu berhasil menyayat hati pendengarnya.

Dalam diam, bendungan air mata Ubay sudah tidak kuasa menampung air lagi. Bahkan Sukardi seolah tidak sudi menyebut namanya sekarang. Entah apa masalah yang membuat pria paruh baya itu terlalu kejam dua hari terakhir ini. Dia seperti bukan sosok ayah yang dikenal Ubay.

Sukardi mendekati putra sulungnya kemudian menarik dagu remaja bermata kecoklatan itu agar tidak menunduk. Dalam posisi ini ia mendapati Ubay tengah menangis. "Heh, cah lanang kok nangis, iki caramu menghadapi masalah?!"

"Bapak, apa yang buat njenengan begini sejak kemarin? Kita bicara baik-baik, jangan melampiaskan amarah ke Bang Ubay!" bujuk Yuli.

Bukannya redam, amarah Sukardi malah semakin menjadi-jadi. Tatapan mengerikan dengan mata memerah dilontarkan kepada semua orang disana. Si kembar menjerit karena takut, lalu Yuli memilih untuk pergi dari rumah agar Rafa dan Fara tidak melihatnya lagi.

"Apa janji kamu ke ibuk dulu? Nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan kan? Terus ini apa? Kenapa justru kamu jadi peringkat terakhir? Terus, opo sing kamu pelajari selama ini? Hanya main-main di sekolah? Cih, memalukan." Lontaran pertanyaan panjang itu sangat menusuk. Entah apa yang membuat Sukardi menjadi sensitif dan uring-uringan sejak kemarin.

Ubay hanya bisa menunduk, lagi. Melawan pun tidak akan menghasilkan jawaban apa-apa. Dia rasa ada masalah yang jauh lebih besar tengah mengusik ayahnya. Oleh karena itu wajar jika Sukardi terus marah sejak kemarin. Ubay berusaha memaklumi kejadian hari ini, tetapi pria paruh baya tersebut menarik kerah seragamnya hingga kaki Ubay tidak menempel di tanah. "NGGAK PUNYA MULUT KAMU, HAH?!"

"Harusnya kamu malu ketinggalan jauh sama temen-temen yang lain. Mau jadi apa kalo begini terus?!" bentak Sukardi masih mencengkram kuat kerah seragam putra sulungnya.

"Ba—bapak, sakit ...." rintih Ubay merasa lehernya tercekik. Dituntut untuk selalu bisa mendapatkan nilai terbaik sudah menjadi makanan pokok baginya. Namun, perilaku seperti ini tidak mencerminkan sikap seorang ayah yang baik karena setiap anak punya kemampuan berbeda.

Dalam sekali hempas, tubuh Ubay terkulai di atas lantai ruang tamu. Untungnya Yuli datang tepat waktu —tanpa si kembar— dan menjadi tumpuan kepalanya. Andai sang ibu terlambat sedikit saja, pasti kepala Ubay sudah terluka sekarang. Si kembar sengaja di titipkan ke rumah tetangganya agar aman dari amarah Sukardi.

"CUKUP PAK!" teriak Yuli sudah tidak tertahankan.

"Berani-beraninya kamu bentak bapak!" Suasana kian memanas karena perlawanan yang diberikan Yuli sukses membuat darah Sukardi semakin mendidih. Rahangnya mengeras dengan tatapan menyala-nyala tersulut amarah.

"Karena bapak sudah keterlaluan, apa yang membuat semuanya berubah? Ini bukan bapak yang ibuk kenal," desis Yuli. Ada banyak kekecewaan tergambar di matanya. "Kembalikan bapak yang dulu! Dimana bapak yang penyabar itu?"

Sukardi menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Dia mencoba bersikap tenang seperti biasa, ucapan sang istri mampu menamparnya hingga kembali sadar. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Pria paruh baya itu melangkah ke dalam kamarnya untuk menenangkan diri.

Ubay merasa bersalah, seharusnya dia belajar lebih giat agar mendapatkan hasil maksimal. Mungkin nilai raport yang bagus bisa meredam kemarahan sang ayah. Akan tetapi apa yang dilakukan? Dia justru mengacaukan segalanya. Ubay seperti lupa bahwa dirinya telah berjanji akan belajar sungguh-sungguh setelah masuk ke jenjang madrasah aliyah. Bukannya naik, mata ratingnya justru menjadi paling rendah. Ubay telah mengecewakan ayah dan ibu, juga membohongi diri sendiri.

Dia tidak lagi punya semangat untuk bangkit, langkah menuju kamar pun menjadi gontai akibat banyaknya tekanan beberapa jam terakhir. "Omongan bapakmu jangan dimasukkan hati, le!" hibur Yuli.

Ubay melengahkan pembicaraan sang ibu karena fokus dengan kericuhan yang terjadi di kepalanya. Bola mata kecoklatan itu tidak lagi bernyawa. Satu tetesan air mengalir dari sana, entah berapa banyak lagi butiran kristal bening tersebut akan luruh. Yuli merasa iba, hidup di keluarga serba kekurangan membuat putranya mengalami banyak penderitaan. Selama ini masih ada harapan di pundak Ubay, tapi keharmonisan rumah yang mengokohkan pundak itu pun sudah hilang. Maka dapat dipastikan bahwa Ubay tidak setegar  dulu.

Sang ibu menutup mulut rapat-rapat, berusaha mengendalikan diri agar tangisnya tidak pecah saat itu juga. Apa yang terjadi? Mengapa takdir berlaku sangat kejam kepada putra sulungnya? Apa orang miskin juga tidak boleh berharap anak-anaknya bisa berjaya? Berbagai macam pertanyaan memenuhi isi kepala semua orang dalam rumah itu. Bagaimana kehangatan akan kembali jika tumpuan keluarga dan panglima perangnya saja sudah putus asa?

Tubuh Ubay terhuyung-huyung seperti terjadi gempa besar. Hingga kakinya lunglai dan membuat remaja laki-laki itu meringkuk di atas kasur kerasnya. "Gue gagal, gue gagal, gue gagal!"

Kalimat yang sama diucapkan terus menerus, tenaganya seolah terkuras habis oleh pikiran sendiri. Ubay seperti tidak ingin lagi melanjutkan perjuangan menggapai mimpi-mimpinya. Dia terus mengerang, "Gue nggak mungkin bisa, gue gagal ...."

"Tuhan udah buat gue ketinggalan jauh dari mereka, gue gagal." Rintihan memilukan tidak bisa berhenti keluar dari bibirnya. Keadaan Ubay sangat mengenaskan sekarang, dia mungkin tidak terlalu pandai, tapi ini pertama kali dirinya mendapatkan peringkat 25 dari 25 siswa di kelas. Itu adalah cambukan menyakitkan dalam hidupnya, apa mungkin dia bisa meraih beasiswa ke perguruan tinggi dalam kondisi otak yang begitu lemah?

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now