5. Pria 10 Juta Dollar

247 11 0
                                    

"Cari tahu alamat perusahaan milik Aiden Miller, Lena. Juga alamat tempat tinggalnya. Dan sampaikan... bahwa Trixie Bradwell ingin bertemu."

***

Manik coklat gelap itu menatap dengan intens ke arah sebuah lukisan semi-abstrak berwarna cerah dengan latar putih. Lukisan yang berpigura tebal dengan ukiran emas yang membingkainya. Benda itu ditaruh di atas sebuah sofa, disandarkan di sana.

"Ck. Seni," decak lelaki itu sembari mendengus tajam. "Sulit dimengerti bagian mana dari lukisan ini yang bernilai tinggi."

Ia memang tidak pernah mengerti seni apa pun bentuk dan rupanya, menurutnya seni hanyalah hal paling tidak berguna, tidak jelas, tidak bermutu dan keberadaannya sangat tidak diperlukan di dunia.

Lelaki itu menarik sepucuk senjata dari balik mantelnya, lalu dengan santai mengetuk-ketukkan bagian moncongnya ke pelipis kirinya. Senjata itu terlihat berkilau memantulkan cahaya dari lampu di balik warnanya yang sehitam malam.

Beberapa saat kemudian ia pun berhenti mengetukkan senjata, lalu tiba-tiba saja mengarahkannya ke sofa, tepat dimana lukisan yang ia beli seharga 10 juta dollar itu berada.

Dua kali suara dentum pelan dari senjata berperedam pun mulai terdengar merobek udara, dan juga ikut merobek lukisan itu hingga membuatnya terbelah menjadi dua.

Peluru yang melesat cepat dari senjata itu kini bersarang di dalam sofa, ikut merobek material berkualitas itu hingga ada beberapa bagian yang rusak.

Serigai samar mewarnai seraut wajah tampan namun dingin itu. Melihat wujud benda yang telah ia beli dengan harga 10 juta dollar itu kini telah hancur, sama sekali tidak menerbitkan raut kecewa di wajahnya.

Ia pun kembali menyimpan senjata hingga tak terlihat di balik mantel hitamnya, lalu melangkah lebih dekat lagi ke lukisan yang telah tak berbentuk di atas sofa.

Ia meraih bagian piguranya, melepasnya dengan paksa dari kanvas lukisan yang masih menempel.

Tanpa ragu, ia memukulkan pigura dari bahan kayu itu ke atas meja di depan sofa. Sengaja membuat kedua benda itu saling beradu, dan membuat pigura yang terbuat dari kayu itu pun semakin hancur dengan serpihan-serpihannya yang berserakan di sekitarnya.

Suara pintu ruangan yang terbuka sama sekali tidak membuat lelaki itu menghentikan perbuatannya, sementara sosok yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu hanya bisa terkejut melihat situasi ruangan yang kacau balau dan berantakan.

Tapi ia tidak berkomentar apa pun, karena memang telah maklum dengan sikap Tuannya yang memang tidak bisa ditebak.

Sosok lelaki paruh baya yang baru masuk itu pun seketika mendehem pelan, mencoba mencuri sedikit perhatian dari lelaki yang jauh lebih muda darinya itu, yang juga masih asik menghancurkan bagian pigura lukisan.

"Ehem. Mr. Miller... ada tamu di luar yang hendak bertemu dengan Anda," ucapnya pelan dan sopan. "Sejak tadi saya mencoba menelepon Anda, tapi tampaknya saluran telepon dimatikan."

Lelaki itu, Aiden Miller, sontak menghentikan perbuatannya dan menatap ke arah Wilson, ajudannya. "Ya, aku memang sengaja memutuskan saluran telepon,' ulang Aiden. "Siapa tamu yang mau bertemu denganku?"

Rasa-rasanya hari ini seingat Aiden ia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun.

Tidak sembarang orang diijinkan untuk bertemu dengan dirinya, yang notabene adalah CEO dari Miller Corporation, salah satu perusahaan game terbesar di dunia.

Jadi jika Wilson menerima tamu itu untuk bertemu dengannya, artinya tamu itu bukanlah orang sembarangan.

"Namanya Miss Trixie Bradwell dari yayasan amal Choose Love, tempat Anda membeli lukisan seharga 10 juta dollar itu..." perkataan Wilson berhenti sebentar ketika tatapannya tertuju kepada lukisan yang telah hancur berantakan dan berserakan mengotori lantai dan sofa.

"...yang ternyata malah sudah Anda hancurkan sendiri," lanjutnya lagi sambil menghela napas pelan.

'Dasar orang kaya,' batin Wilson dalam hati. 10 juta dollar bagi Aiden mungkin tak lebih dari debu yang begitu mudahnya disingkirkan di sepatunya.

"KETEMU!" Sergah Aiden tiba-tiba dengan nada gembira, mengabaikan perkataan Wilson yang menyindirnya barusan. Ia menemukan benda yang ia telah ia cari selama ini!

Wilson mengernyitkan keningnya melihat benda kecil berkilau yang ada di tangan Tuannya. Ia melihat Aiden mengangkat benda kecil berkilau itu hingga ke atas kepala sambil mendongak, seolah seperti sedang menerawang ke arah lampu.

"Apa itu, Mr. Miller?" Tanya Wilson heran. Sekarang ia bisa melihat bahwa benda yang dipegang Aiden Miller adalah serupa dengan kaca kecil berbentuk kotak yang tidak lebih besar dari kotak korek api.

Mirip seperti wadah kaca untuk menaruh preparat sebelum dilihat melalui mikroskop.

Aiden menurunkan benda serupa kaca itu, lalu menolehkan kepalanya kepada ajudannya. Seulas senyum penuh kepuasan terukir dari bibirnya.

"INI," ucapnya sembari melemparkan benda itu ke atas dan menangkapnya kembali, "...adalah MASA DEPAN. Aku sedang menggenggam masa depan dunia kita saat ini, Wilson. Benda ini sangat berharga, sekaligus juga sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah."

"Well, itu terdengar seperti sebuah ironi, Mr. Miller. Benda itu akan sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah? Lalu apakah Anda yakin bahwa Anda adalah tangan yang benar?"

Aiden tertawa kecil mendengar perkataan yang lagi-lagi berupa sindiran dari ajudannya sendiri. Ia sudah menganggap Wilson seperti keluarga, jadi Aiden tidak pernah tersinggung dengan mulut pedas lelaki paruh baya itu.

Lagipula, perkataannya tidak bisa disalahkan juga walaupun tidak bisa dikatakan 100% benar.

"Kamu tahu aku berada di pihak yang mana, Wilson. Ck. Jangan terlalu menganggapku rendah," balas Aiden sambil berdecak serta melemparkan tatapan memicing sebal.

Wilson mengangguk mengerti. "Ya, tentu saya tahu. Anda berada di pihak yang akan memberikan uang yang paling besar," tandas lelaki itu lagi berucap tanpa ragu.

"Whatever." Aiden memutar kedua bola matanya sembari menyimpan benda kaca itu ke dalam saku. "By the way, persilahkan saja Trixie Bradwell itu masuk. Dikunjungi wanita cantik pasti sangat menyenangkan setelah olahraga kecil tadi," ucapnya sambil terkekeh pelan.

Sejenak, Wilson terlihat ragu melihat ruangan yang berantakan dan tak habis pikir kenapa atasannya ini terlihat cuek saja.

"Mr. Miller, apa Anda tidak merasa canggung jika Miss Trixie melihat benda yang ia jual kepada Anda hancur begitu?" Tanyanya.

Aiden mengedikkan bahunya yang bidang dengan sikap santai. "Lukisan itu telah menjadi milikku. Aku menyumbangkan 10 juta dollar untuk kemanusiaan karena membelinya, Wilson. Jadi terserah padaku mau diapakan benda itu," tandasnya tegas.

"Tapi tetap saja... ah, sudahlah. Bagaimana jika saya bereskan kekacauan ini semua lebih dulu sebelum Miss Trixie masuk ke sini?" Tawar lelaki itu akhirnya.

"Tidak perlu," tolak Aiden tegas sembari menatap tajam ajudannya yang sontak terdiam jika atasannya sudah memberikan titah yang tidak ingin dibantah lagi.

"Suruh saja Trixie Bradwell masuk ke sini sekarang juga. Oh ya, apa dia datang seorang diri?"

Wilson menggeleng. "Miss Trixie datang bersama seorang wanita, Mr. Miller."

"Hm. Kalau begitu, katakan padanya agar datang seorang diri jika ingin bertemu denganku," ucap Aiden sembari menyeringai dan mengusap bibirnya, teringat kembali dengan cumbuan panas mereka di tempat Trixie sebelumnya.

Cumbuan yang cukup menyenangkan, dan tampaknya ingin ia ulang.

"Dan tolong jangan ada gangguan apa pun selama pertemuanku dengan Trixie Bradwell, Wilson. Aku butuh privasi, mengerti?"

***

The Mafia BillionaireWhere stories live. Discover now