9. Sebuah Janji

226 11 0
                                    

"Hm. Sepertinya kini aku telah berubah pikiran. Ayo kita lembur malam ini, Trixie."

Bola mata biru safir Trixie pun spontan melotot horor mendengarnya. Apa? Lembur katanya??

"Jangan gila, Mr. Miller!" Desis gadis bersurai emas itu dengan nada galak. "Aku sudah memberimu ijin untuk memeluk. Jadi jangan serakah!"

Sebenarnya Trixie juga merasakan panas dingin dan jatungnya yang serasa berdetak berkali-kali lebih kencang, saat mendengar suara serak Aiden dengan kalimatnya yang membuatnya merinding.

Setengah dirinya mencoba untuk berulangkali mengingatkan bahwa dia bukanlah Leon, namun sebagian lagi seolah tak ingin mendengarnya.

"Yayaa, baiklah~~ memeluk wanita secantik bidadari selama tidur tak kalah menyenangkan juga dibanding bercinta," cetus Aiden sambil menyeringai.

"Baiklah, untuk saat ini kamu bisa merasa tenang." Aiden pun mempererat pelukannya dan menyurukkan wajahnya ke dalam helai-helai rambut pirang Trixie yang beraroma menenangkan.

"Tapi besok? Lihat saja, aku benar-benar akan menidurimu, Angel. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka."

***

Pagi itu, Trixie terbangun ketika mendengar suara "klik" yang sepertinya berasal dari pintu kamar mandi.

Kelopak matanya terasa berat untuk terbuka, mengingat hampir semalaman gadis itu tidak berani memejamkan mata.

Ia terlalu takut jika Aiden berbuat curang mengingkari perkataannya sendiri, lalu menyerangnya ketika sedang terlelap.

Alhasil, Trixie berusaha sekuat tenaga menahan kantuk sementara mendengarkan dengkuran halus Aiden sepanjang malam.

Bisa saja semalam lelaki itu sedang berakting seperti orang yang mendengkur, kan?

Meskipun sangat enggan, Trixie pun akhirnya membuka matanya perlahan. Kantuk yang masih bergelayut membuat pandangannya tidak begitu jelas, namun ia pun mengernyit saat melihat sosok yang sedang berdiri di depan cermin besar dan memunggunginya.

"AAAAHHH!!! PRIA GILAAA!! PAKAI BAJUMU, SIAAALAAAN!!!"

Trixie menjerit sekuat tenaga dan menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya, saat baru menyadari bahwa Aiden keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan busana sehelai pun di tubuhnya.

Dengan santai, lelaki itu pun membalikkan badannya ke arah Trixie. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat buntalan selimut di atas ranjang yang membentuk siluet tubuh seksi Trixie.

Sambil bersiul pelan menyenandungkan irama entah lagu apa, Aiden meraih boxer brief dan mengenakannya. Lalu mengenakan celana panjang yang sebelum ke kamar mandi tadi telah ia ambil dari walk in closet. 

Lelaki itu memang sengaja ingin mengenakan busana di depan Trixie. Berpikir siapa tahu saja gadis cantik ini tergoda dan berminat untuk olahraga pagi di atas ranjang.

Tadi Aiden sempat melirik dari pantulan cermin bagaimana kulit wajah Trixie yang putih terlihat merona. Apa dia merasa malu? Sungguh langka!

Aiden sudah terbiasa dengan wanita-wanita berani yang justru akan tertarik dan mendekatinya, alih-alih malu-malu seperti gadis polos begini.

"Hei, Angel." Aiden mendekati ranjang tempat Trixie masih berbaring sambil menutupi seluruh tubuhnya.

"Buka saja selimutnya, Trixie. Aku sudah berpakaian kok," ucap Aiden yang kini menundukkan tubuh dengan menumpu kedua tangan di lututnya, bermaksud agar wajahnya agak sejajar dengan wajah Trixie.

"Ck. Kamu pasti bohong," sembur Trixie yang masih tidak bergeming di bawah selimut, tidak serta merta percaya ucapan Aiden begitu saja.

"Yah, sejujurnya saat ini aku hanya mengenakan celana sih," sahut Aiden sambil terkekeh pelan, merasa lucu karena Trixie ternyata tidak sepolos yang ia kira.

Aiden melihat selimut itu perlahan bergerak turun, dan wajah bangun tidur Trixie pun perlahan menyembul.

CUP

Trixie hanya bisa terkesiap dan tak bisa mengelak, ketika Aiden tiba-tiba saja mencuri sebuah kecupan kilat di bibirnya.

"Morning," guman pelan Aiden seraya melayangkan senyum nakal menggoda.

Trixie terdiam tak menjawab. Manik birunya menatap wajah rupawan yang hanya berjarak kurang dari sejengkal darinya.

Semalam Aiden menepati janji untuk tidak menyentuh dirinya, dan Trixie benar-benar bersyukur karena itu.

Mereka tidak melakukan apa-apa semalam kecuali tidur di ranjang yang sama dan dengan Aiden yang memeluknya dari belakang, namun kenapa Trixie merasa jengah saat ini?

Trixie pun melemparkan tatapan matanya ke arah lain karena rasa malu yang tiba-tiba menyergapnya. "Uhm... morning," gumannya pelan menyahut sapaan Aiden.

"Hari ini aku mau mengajakmu sarapan di taman," ucap Aiden yang menatap lucu pada rona cerah jingga yang menghiasi kulit wajah Trixie dan manik bening biru gadis itu yang menghindarinya.

"Pasti kamu belum pernah merasakan sensasi sarapan pagi hari di tengah hutan belantara, kan?"

Aiden meluruskan tubuhnya lalu membalikkan badan. Ia berjalan kembali ke depan cermin besar untuk mengenakan busana bagian atasnya.

Trixie mengerjap kaget saat melihat bagian punggung penuh otot lelaki itu yang ternyata juga dipenuhi oleh... bekas luka.

Mata bening beriris biru safirnya membelalak lebar melihat bekas jahitan yang melintang miring di pinggang, kulit di bagian bahu yang sedikit melesak seperti luka bekas tembakan, dan beberapa lebam biru yang mirip seperti bekas pukulan.

Trixie segera membuka selimutnya dan bangkit dari ranjang, melangkah perlahan menuju ke arah Aiden berada memunggunginya.

Lelaki itu meraih kaus santai berwarna putih bersih dan mengenakannya, sebelum melapisinya lagi dengan jaket hoodie tebal berwarna hijau gelap.

"Kenapa tubuhmu penuh luka?"

Mendengar suara renyah yang bertanya dari arah belakangnya, Aiden pun membalikkan badan hingga akhirnya saling beradu tatap dengan Trixie.

Ia tidak langsung menjawab, namun lebih memilih mengamati gadis cantik dengan surainya yang kusut dan piyama wolnya.

"Sebenarnya kamu ini siapa, Aiden? Kenapa ada begitu banyak yang ingin membuatmu celaka?"

Satu sudut bibir lelaki itu melekuk naik membentuk seringai samar. Trixie pasti menarik kesimpulan setelah beberapa kejadian bertubi-tubi kemarin, dan gadis itu memang sama sekali tidak salah.

"Aku memiliki banyak musuh di luar sana," sahut Aiden setelah sejenak terdiam. "Musuh yang akan dengan senang hati melihat kematianku, maka aku pun harus membunuh mereka semua terlebih dahulu."

Seketika Trixie pun terkesiap mendengar kalimat mengerikan yang diucapkan dengan nada dingin itu.

Benaknya kemudian memutar kembali memori ketika Aiden berkelahi dengan seseorang di yayasan, yang kemudian mengakibatkan tewasnya orang asing itu. Meskipun entah kemana gerangan mayatnya menghilang.

"Kenapa? Apa sekarang kamu takut padaku?"

Pertanyaan Aiden itu membuat lamunan Trixie seketika buyar. Kedua manik mereka pun kembali bertemu, lekat menatap untuk saling menyelami.

"Entahlah," sahut Trixie kemudian dengan matanya yang masih terpaku pada sorot coklat gelap Aiden yang seolah menghipnotisnya untuk terus menatap. "Apakah aku harus takut?"

Aiden mendengus pelan, lalu melangkahkan kakinya mendekat untuk mengikis jarak antara mereka.

"Sangat wajar jika kamu takut, Trixie. Karena aku bukanlah Leon Morgan yang seorang bankir dan lelaki baik-baik," ucapnya sembari mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Trixie.

"Tapi sekarang ini sudah terlambat jika kamu ingin lari dan menjauh dariku. Percayalah, kamu justru akan semakin aman jika berada di sisiku."

Aiden menundukkan wajahnya untuk mengecup ujung hidung bangir Trixie.

"Karena aku berjanji, tidak akan ada yang bisa menyakiti wanita yang telah aku klaim hanya akan menjadi milikku. Kecuali mereka ingin mati dengan sangat perlahan dan penuh siksaan."

***

The Mafia BillionaireWhere stories live. Discover now