04/02/2024 - Bencana Alam

16 6 4
                                    

Day 4:

Buatlah cerita dengan tema apocalypse

...

"Ini kiamat!" rengek seseorang sambil melihat langit yang berwarna merah seperti api. Bukannya lari menyelamatkan diri, dia malah jatuh berlutut di antara orang-orang yang sibuk masuk ke bungker keselamatan.

Gemuruh di langit semakin kencang. Kilat-kilat petir di antara awan seolah bisa kapan saja menyambar bumi. Percik-percik api langit berkobar seperti dua batu yang bergesekan.

Sirene peringatan terus berbunyi diiringi suara pemberitahuan, "Kepada seluruh warga segera mengungsi ke tempat aman. Jangan membawa barang yang tidak perlu," bergema tanpa henti ke seluruh penjuru koloni.

Aku terus mengawal para warga yang terus berdesakan agar tidak saling tabrak. Jauh di belakang sana, ledakan terjadi. Sebuah meteor jatuh dari langit menghasilkan gelombang kejut yang membawa angin panas ke seluruh area. Teriakan semakin kencang. Warga yang berlarian kian beringas, tidak memedulikan orang di sekitar selain diri sendiri.

Aku terus mengawal massa sampai akhirnya semua yang ada di depan mataku berhasil mengungsi. Namun, seorang di kejauhan dengan latar belakang api dan asap datang tergopoh-gopoh sambil meneriakkan namaku.

" ... terjebak!" Denging pengeras suara pasti menulikanku. Aku pasti salah dengar. "Dia terjebak reruntuhan! Cepat atau dia akan mati!" Namun, untuk kesekian kalinya dia menyebutkan nama kekasihku sampai aku kembali ke bumi yang fana.

Aku dan pria itu lekas menjauhi bungker pengungsian. Kukerahkan kaki melewati tanah-tanah yang kini sudah terbakar bermandikan reruntuhan dan abu jenazah yang tidak selamat. Asap membubung. Api bertebaran. Sesekali bebatuan hitam berkobar jatuh dari langit, menghantam tanah membuat bumi berguncang.

"Cepat, dia ada di sana!" tunjuk si pria ke balik gedung bertingkat yang tumpang-tindih. Akan tetapi, gempa seketika mengguncang, membuat tanah merekah seperti mulut yang terbuka lebar.

Kami mundur perlahan. Jalanan tertelan sedikit demi sedikit. Mau tidak mau, kami harus mengambil jalan memutar yang lebih jauh.

Jalanan berbatu. Bangunan-bangunan meluruh menjadi serpihan. Dalam beberapa tahun belakangan, tidak pernah ada bencana seperti ini setelah kabut asap beracun yang melenyapkan sepertujuh populasi bumi. Memang lapisan ozon sudah semakin menipis, tapi aku tidak menyangka bencana ini akan datang tanpa peringatan.

"Dia di sana!" teriak si pria dari atas tanah yang lebih tinggi. Aku mendaki menyusulnya.

Dari atas sini, pemandangan terlihat lebih jelas. Cekungan berasap tempat meteor jatuh. Tanah tandus. Pepohonan kering kerontang. Rumah-rumah yang luluh-lantak. Api yang menjalar di mana-mana. Warga yang masih berlarian mengungsi ke salah satu bungker keselamatan. Namun, aku tidak bisa melihat kekasihku di tempat yang ditunjuk.

"Di mana?" tanyaku.

Namun, sebelum pertanyaanku terjawab, guncangan lain melanda, membuat tanah merekah membentuk jurang lebar yang memisahkan tempat kami dan tanah seberang. Dasarnya tak terlihat, seperti dalamnya Palung Mariana. Hanya ada kegelapan yang ada. Sekarang, bagaimana aku menyelamatkannya?

~~oOo~~

A/N

Tokoh di sini bukan dari  cerita mana-mana. Mereka murni tanpa nama dan keluar begitu saja karena dah gak tau mau nulis apa. :"(

Sepotong Minda - Daily Writing Challenge NPC 2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang