11/02/2024 - Relawan

11 4 4
                                    

Day 11:

Buatlah cerita dengan setting pasca tsunami

...

Matahari baru pemanasan di ufuk timur ketika aku dan Arga tiba di lokasi bencana sebagai relawan. Langit biru tanpa penghalang. Tidak ada bangunan. Tidak ada pepohonan. Semua rata dengan tanah. Puing-puing berserakan bersama genangan air di sana-sini. Samar-samar tercium aroma samudra yang bercampur dengan bau mayat saat angin berembus. Aku refleks menutup mulut yang sudah berbalut masker.

"Ayo, Re," ajak Arga. Matanya sayu penuh kesedihan.

Aku mengikutinya bersama rombongan relawan lain ke posko pengungsian untuk persiapan.

Posko berupa tenda-tenda besar yang penuh sesak. Di salah satu sisi, terdapat dapur umum di mana para pengungsi mengantre untuk mendapat jatah makan. Meskipun terlihat suram, anak-anak yang ada berlari ke sana-kemari seperti tidak memiliki beban. Namun, saat seorang anak kecil keluar dari tenda sambil mengucek mata dan bertanya di mana ayah dan ibunya kepada anak lain, semua menjadi bungkam. Lalu, anak kecil yang ditanya menangis, membuat semua anak yang ada ikut mengeluarkan air mata dalam paduan suara serak para bocah.

Arga dengan sigap menghampiri para anak kecil itu. Dia mengatakan sesuatu panjang lebar tanpa bisa aku dengar, kemudian sedetik selanjutnya mereka semua diam sambil mengisap ingus. Hebat. Dia sangat ahli dengan anak kecil.

Ketua relawan kemudian memanggil. Aku dan Arga bergegas ke tempat pertemuan. Kami dibagi beberapa tugas. Aku, Arga, dan beberapa lainnya ditugaskan untuk menyisir reruntuhan dan mencari korban-korban yang tersisa, baik yang selamat ataupun tidak.

Seharusnya aku tidak mengeluh dan tidak kaget dengan hal ini. Sudah risikonya menjadi relawan. Namun, aku tetap saja tidak siap bila nanti akan bertemu dengan jenazah-jenazah yang sudah tidak utuh lagi.

Arga mencengkeram bahuku. "Kamu enggak apa-apa, Re?" tanyanya risau. Keningnya mengerut dalam.

Aku hanya tersenyum miris, meskipun tidak yakin terlihat dari balik masker.

Kami menyisir pesisir pantai. Kayu-kayu lapuk, bongkah-bongkah beton, serpihan bebatuan, semua berserakan di mana-mana. Debur ombak menemani, disertai rasa waswas saat air laut maju-mundur karena ombak. Bagaimana kalau ada tsunami susulan?

"Kasihan ya, mereka," celetuk Arga ketika kami naik ke sebuah puing-puing yang diperkirakan ada korban di dalamnya.

"Siapa?" tanyaku. Kunaikkan kaki ke atas beton yang bercampur dengan potongan kayu.

"Anak-anak kecil itu. Mereka udah enggak punya orang tua lagi," jawabnya sambil mengulurkan tangan dari atas. Aku menyambutnya.

"Tadi kamu bilang apa ke mereka?" tanyaku penasaran.

"Aku bilang kalau orang tua mereka lagi pergi, terus nanti balik lagi."

"Bohong banget. Aku enggak nyangka kamu bisa tega bohongin anak kecil."

"Mereka masih bocah, Re!" tampik Arga. "Mereka harusnya masih punya ayah-ibu, masih bisa senang-senang bareng, tapi nyatanya mereka disapu tsunami! Enggak tahu juga masih hidup atau enggak. Kalau mereka betulan udah meninggal gimana?"

"Takdir." Aku tidak tahu apa itu jawaban yang terlalu dingin atau tidak, tetapi Arga sepertinya tidak senang. Wajahnya keruh dan matanya yang kuyu semakin murung.

"Memang, tapi rasanya enggak adil aja."

"Dunia enggak pernah adil, Ga. Kamu tahu itu." Aku berdiri di atas puing-puing, menatap daerah yang lebih luas. Orang-orang berjalan ke sana-kemari dengan berbagai benda, salah satunya kantong mayat yang jumlahnya puluhan. "Tuhan memberikan kehidupan, dan Dia bisa mengambilnya kembali setiap saat. Dunia enggak pernah adil, tapi Tuhan Maha Adil."

Seorang relawan di kelompok kami melambai dari puing-puing rumah di kejauhan, satu tangannya memegang tali kekang anjing. Sepertinya mereka telah menemukan jenazah lain yang terkubur.

"Ayo, Ga," ajakku. Saatnya mengumpulkan sisa-sisa kehidupan.

~~oOo~~

A/N

Nulis mepet deadline makanya dikit. Harus riset pula, mana sempet!

Sepotong Minda - Daily Writing Challenge NPC 2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang