22/02/2024 - Konser Amal

9 2 8
                                    

Day 22:

Buatlah cerita tentang seorang pengamen yang sedang menyanyikan lagu karangannya sendiri, minimal memasukkan 1 BAIT LAGU yang dinyanyikan pada dialog pengamen tersebut (Lagu yang dinyanyikan bisa dari puisi atau lagu ciptaan penulis)

...

Ada satu unit kegiatan mahasiswa tidak resmi yang kuikuti di kampus. Karena tidak terdaftar, kami biasa berkumpul di mana saja. Ada kalanya di gazebo dekat gerbang kampus, di salah satu selasar masjid, atau di rerumputan taman dengan pohon-pohon teduh yang menyejukkan. Bersama kami selalu ada kucing-kucing yang mengikuti. Ada yang hitam, putih, telon, sampai kelabu. Masing-masing kami beri nama. Tidak hanya bermain, kami juga sering memberi makan mereka. Namun, kali ini, persediaan makanan kucing kami sudah menipis dan harus segera diisi. Sialnya, keuangan kami semua sedang tidak baik-baik saja.

"Sebagai street-feeder yang bertanggung jawab, kita harus menjaga kelangsungan hidup kucing-kucing manis ini!" Arga berseru sambil mengangkat salah satu anak kucing yang berwarna calico tinggi-tinggi. Si kucing hanya menguap saja diperlakukan seperti ini.

Rapat hari ini berlangsung di salah satu taman kampus di dekat danau buatan yang sering dipakai UKM SAR berlatih. Kami duduk lesehan beralaskan rerumputan. Di pangkuan kami, duduk kucing-kucing pemalas yang sangat senang dielus kepala dan perutnya.

Hanya ada lima orang yang tergabung dalam komunitas ini. Aku, Arga, Naura, Nael dan Zidan. Tebak siapa yang menggagas kelompok ini? Yap, Arga. Tidak mungkin aku.

Arga kembali duduk bersila, menggenapkan lingkaran yang kami bentuk. Dia lantas mengelus kucing kecil yang dia beri nama Sir Alexander. "Ada yang punya ide kita harus cari uangnya gimana?" tanyanya.

Satu per satu ide tertuang dari meminta sumbangan, menjual barang bekas di pasar loak, sampai ke berutang dulu dan nanti akan kami ganti ketika semua punya uang lebih. Tapi, tidak ada yang setuju satu suara, terlebih pilihan terakhir. Berutang untuk kucing liar agaknya terlalu berlebihan.

"Gimana kalau kita ngamen aja?" saranku. "Gelar lapak di dekat gerbang selatan. Arga yang ngegitar sambil nyanyi, yang lain bisa apa aja."

"Oh, kayak konser amal, ya?" Arga mengangguk cepat. "Bagus, tuh, bagus!" Dia mengangkat Sir Alexander sewajah hingga mereka berhadapan. "Nanti kamu jadi backing vocal, ya, Lex?"

Semua tertawa dengan ocehan lelaki itu. Konser menurutku terlalu berlebihan untuk menyebut kegiatan kami nanti.

Sebelum menggunakan tempat di dekat gerbang selatan yang sering digunakan mahasiswa lain untuk nongkrong, kami harus memastikan tidak ada kegiatan lain yang dapat mengganggu. Naura sebagai gadis yang berpengalaman mengurusi hal-hal terkait tempat kegiatan langsung mendapat izin tepat setelah kami rapat. Aku tidak menanyakan pada siapa Naura berurusan, fokusku teralihkan pada hal-hal logistik seperti bangku, alat musik apa yang akan kami pakai, dan lain sebagainya. Kulakukan itu bersama Arga sampai malam hari tiba.

Ini semua hanya untuk kucing, tapi kenapa kami sampai bersusah payah seperti ini?

"Kalau udah cinta, semua juga bakal dilakuin, Re," kata Arga sembari rebahan di ranjangnya. Tangannya sibuk menggulir ponsel, sementara aku mengetik di laptop. Aku sengaja menginap di kos Arga antisipasi anak itu butuh bantuanku.

"Iya, sih," jawabku.

Dari pantulan layar laptopku, Arga menurunkan ponselnya, lalu berbalik padaku. Dia tersenyum penuh arti.

"Jangan mulai." Aku memperingatinya agar tidak berbuat yang aneh-aneh. Dia hanya cengengesan seperti orang tolol.

Esoknya pada sore hari setelah kelas selesai, kami menyusun panggung. Aku dan Nael membawa bangku-bangku, lalu merapikannya. Naura dan Zidan menyusun alat musik. Gitar untuk Arga dan Zidan, bas untuk Nael, dan Cajon (drum akustik yang berbentuk kotak dan hanya dipukul oleh tangan kosong) untukku. Naura membawa kardus sumbangan bertuliskan "Bantu untuk para kucing". Gadis itu juga membawa kucing-kucing lain untuk memeriahkan suasana termasuk Sir Alexander yang mengelus-eluskan tubuh pada kaki Arga yang sedang mengecek senar gitar.

Tentunya persiapan kami itu menarik perhatian para mahasiswa yang lewat. Mereka berbisik-bisik dan menanyakan apa yang kami lakukan. Setiap Arga ditanya apa yang sedang dia perbuat, lelaki itu selalu menjawab, "Ngonser buat kucing!" disertai tawa sampai gigi-giginya terlihat.

Setelah semua selesai, kami ke tempat masing-masing dan bersiap memulai acara. Di ruang terbuka dengan undakan-undakan tinggi mengelilingi seperti koloseum setengah lingkaran, Arga duduk paling depan dengan bangku berdudukan bulat menghadap trotoar kampus. Di belakangnya Nael dan Zidan, sedangkan aku di sisi kanan Arga, menduduki Cajon dengan tangan siap menepuk sisi depannya. Naura di trotoar sambil memegang kardus dan berteriak agar khalayak mendekat.

"Selamat sore, Kawan-Kawan!" sapa Arga riang. "Kami dari komunitas Pemberi Makan Kucing Jalanan mau meminta sumbangan untuk para kucing imut di sekitar kampus yang kelaparan. Kasihan kan, anak-anak yang lucu ini kalau harus maling makan siang kalian. Jadi, kami inisiatif untuk membantu mereka. Kalau enggak bisa pakai makanan kucing, pakai uang juga boleh! Atau cuma buat dengerin kami ngamen pun gak papa, deh!" Dia lalu memberi isyarat kepadaku untuk mulai.

Aku memukul Cajon sesuai ketukan lagu yang telah kami sepakati. Gitar kemudian mengalun diiringi bas. Arga bernyanyi tepat di genjrengannya yang kedua.

Apa kau tak lihat?

Para kucing yang kelaparan.

Mengeong di tengah hujan.

Mencari perlindungan.


Mereka pun makhluk Tuhan.

Sama seperti kalian.

Maka sisihkanlah sebagian.

Rezeki yang telah diberi.


Oooooh.

Kucing-kucing yang lucu.

Mengeong menangis pilu.

Mengais rasa peduli.

Suara Arga lumayan bagi seorang yang jarang melatih vokalnya. Akan tetapi, aku cukup malu dengan lagu yang dinyanyikan. Itu adalah lagu konyol yang kami buat secara spontan dulu karena melihat kucing-kucing yang telantar. Kenapa pula aku setuju dengan lagu itu?

Suara tepuk bergema ketika selesai. Orang-orang yang sedari tadi melihat penampilan kami tertawa karena lirik-lirik lanjutan yang Arga dendangkan. Mereka kemudian memberi uang pada Naura. Ada pula yang mengelus-elus kucing yang berkeliaran.

"Oke, lagu selanjutnya, ya!" Arga kembali memberi isyarat padaku. Aku mengangguk dan memukul Cajon lagi.

Kami selesai tepat sebelum magrib berkumandang. Sebelum bubar dan membereskan barang, kami menghitung penghasilan.

"Cukuplah, buat beli pakan beberapa kilo," lapor Naura yang jadi bendahara kami. "Nanti aku sama Zidan yang beli, ya. Uangnya kita simpan buat tambah-tambahin lagi."

"Hore!" Arga mengangkat Sir Alexander. "Kamu enggak akan kelaparan lagi, Lex! Makasih dulu ke Reksa." Lelaki itu menggoyangkan kaki depan si kucing. Suaranya dibuat-buat kecil cempreng gagal. "Makasih idenya, Kakak Reksa Sayang." Dia lalu beralih pada ketiga orang lainnya. "Makasih juga, Kakak Naura, Nael, dan Zidan!"

Aku bersumpah, sapaannya padaku pasti bermaksud untuk menggoda secara terselubung.

~~oOo~~

A/N

Hari ini, kita kembali bersama Arga dan Reksa alias Re dari Reinc. Cerita-cerita yang ada di sini adalah AU kalau mereka kuliah biasa aja.

Sepotong Minda - Daily Writing Challenge NPC 2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang