26/02/2024 - Pelukan Sahabat

11 2 2
                                    

Day 26:

Buatlah cerita yang mengandung 3 kata ini: Biru, Harmonika, Jendela. Minimal 500 kata. Kata harus ditulis secara berurutan dari Biru-Harmonika-Jendela.

...

Aku mengetuk pintu cokelat kos yang bertulis angka lima dengan pelan. Aku pun menunduk, menanti seseorang yang berkata, "Sebentar!" untuk membuka pintu. Tidak lama, pembatas itu terbuka, menunjukkan seorang lelaki tinggi dengan rambut acak-acakan berkaus oblong putih dan bercelana boxer setengah paha.

Aku lekas memeluknya, menempatkan kepala di ceruk lehernya.

"E-Eh, Re?!" Arga gelagapan dengan tingkahku yang tiba-tiba. Bukan salam atau sapa, tapi malah sahabat yang sedang biru hatinya yang didapati. Namun, Arga tetap menerima dan merengkuhku dalam pelukan tangannya yang besar. "Kamu ada masalah apa, Re?" tanyanya sedih seraya menggosok-gosok punggungku.

Aku tidak menjawab dan terus menenggelamkan diri dalam dekapannya. Kuhirup terus aroma lelaki ini yang dapat menenangkanku.

"Re?" panggilnya. "Kita masuk dulu, ya?"

Aku mengurai peluk, lalu mengangguk pelan.

Arga menutup pintu, sedangkan aku masuk ke kosannya. Tipikal stereotip laki-laki dan kosan, Arga itu. Setiap aku datang ke kamarnya, rasa ingin membereskan menjadi meningkat. Kasur single di sisi kanan penuh dengan pakaian yang belum dilipat, selimut kelabu yang dibiarkan teronggok menggulung, bahkan ada handuk yang masih basah! Tempat sampah di sudut kamar sampai tak dapat lagi menampung daya, cangkang kopi dan sobekan kertas berserakan di bawahnya. Di dinding, kemeja dan jaket menggantung begitu saja. Di sisi lain, meja kecil untuk belajar dan menaruh laptop penuh dengan camilan dan minuman yang belum dibuka. Namun, kali ini aku sedang tidak ingin membereskan apa pun.

Untungnya, tingkap besar yang memanjang sampai ke lantai membuat cahaya matahari mudah masuk dan tidak menjadikan kamar ini semakin pengap.

Sementara Arga mendekati dispenser di dekat meja kecil setelah bertanya, "Mau minum, Re?" yang tidak kujawab, aku berlutut di depan ranjang, menyingkirkan pakaian yang tidak terlipat, lalu merengkuh selimut beraroma Arga yang lain. Kubenamkan wajah dalam-dalam.

Arga duduk di sebelahku. "Minum dulu, Re?" tawarnya lagi. Aku masih tidak menggubrisnya. "Kamu kalau ada masalah cerita, dong, Re." Lelaki itu mendesah pelan. Dia meneguk minumannya pelan sampai terdengar suara 'glek glek' yang keras.

Aku bukannya tidak ingin bercerita. Hanya saja terlalu banyak masalah yang sudah dipendam sampai aku tidak yakin ini perasaan mana yang sedang bergejolak. Makanya dari tadi aku hanya diam saja. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah ditemani. Tidak lebih.

"Re," panggil Arga. "Aku punya hadiah buat kamu."

Kali ini, aku berbalik menatapnya. (Lagi pula aku sudah kehabisan napas.) Dia memberikan alat musik berbentuk batang dengan lubang-lubang di sampingnya.

"Harmonika buatmu." Dia mengangguk yakin. "Biar kamu bisa main alat musik lain selain cajon. Supaya tanganmu enggak sakit karena mukul-mukul kayu terus."

Keningku mengerut heran. "Kamu kan, tahu, aku gak bisa main harmonika," balasku. Suara pertama yang kukeluarkan semenjak datang ke sini.

Arga menunduk, dia mengusap-usap hadiah yang katanya untukku itu. Ah, seharusnya aku tidak menolak pemberian tulusnya.

"Sori, aku kadang emang enggak peka," sesalnya. "Aku samar-samar ingat kamu mau coba main harmonika, ternyata bukan, ya." Dia tertawa hambar.

Uh, sekarang aku yang membuatnya sedih. "Maaf." Aku duduk tegak. Kusandarkan punggung ke ujung ranjang. "Aku yang salah. Tiba-tiba datang, terus kasih silent treatment."

Arga tersenyum simpul. "Enggak apa-apa. Aku tahu kamu kadang butuh yang kayak gitu."

Aku bersyukur atas pengertiannya. Tidak pernah aku menemukan orang seperti Arga yang mau bersusah payah menerima kekuranganku yang satu ini. Aku bahkan tidak pernah menunjukkan hal ini di depan orang tuaku karena tidak ingin membuat mereka khawatir. "Thanks, ya, Ga." Kutengadahkan tangan ke hadapannya. "Sini, harmonikanya. Jarang-jarang aku dapat hadiah dari kamu."

Arga tersenyum lebar sampai matanya menyipit. "Sini, kukasih hadiah yang lain dulu." Dia lalu memelukku erat. Diusap-usapnya kepala dan punggungku dengan lembut. "Jangan lupa kalau aku juga selalu ada buat jadi tempat sampahmu," bisiknya.

Hatiku menghangat, seperti dilimpahi cahaya matahari pagi dari balik jendela.

~~oOo~~

A/N

Aku menulis ini karena aku sedang butuh pelukan hangat T^T

Sepotong Minda - Daily Writing Challenge NPC 2024Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt