3. Pegawai Baru

343 50 5
                                    

Wangi masakan terendus oleh hidung mancung milik Davian. Ia bergerak pelan mencari posisi nyaman, sementara kedua matanya masih terpejam. Bunyi spatula beradu dengan wajan seakan menjadi musik yang merdu di pagi hari. Dalam tidurnya, pria itu tersenyum. Mama masak lagi, pikirnya.

Tak lama kemudian, samar-samar terdengar bunyi ponsel berdering, diikuti sebuah teriakan, “Rai, HP kamu bunyi nih. Kenapa ditinggal di dapur?”

Rai? Kenapa ada Rai di rumahnya? Mata Davian membeliak. Ia yang ada di rumah Rai, bukan sebaliknya. Pria itu buru-buru bangkit dari kasur. Tanpa sempat mencuci muka, ia keluar kamar dengan tergesa.

Tepat seperti dugaannya, ketika ia muncul, Nadia yang sedang memasak, meliriknya sinis selama beberapa saat. Sementara yang bisa dilakukan Davian adalah tersenyum seolah tak bersalah. Padahal hatinya tidak tenang akibat tatapan yang menakutkan itu.

***

“Rai, HP kamu bunyi nih. Kenapa ditinggal di dapur?” Nadia meninggikan suara agar Rai yang sedang membuang sampah di depan, mendengarnya.

Ponsel itu berhenti berdering ketika Rai kembali. “Ah, paling nawarin asuransi,” ucapnya ketika melihat nomor yang tidak dikenal.

Kemudian, tanpa basa-basi, Nadia mengomel, “Temen kamu tuh serius mau jadi ART nggak sih? Masa jam segini belum bangun? Kedai aja udah mau buka.”

“Biarin aja lah, Ci, kasih dia bangun siang dulu hari ini. Kasihan dia.”

Nadia mendengkus, bersamaan dengan pintu kamar Rai yang terbuka dengan kasar. Wanita itu otomatis menoleh. Tampillah manusia bernama Davian, dengan rambut acak-acakan, muka bantal, dan mengenakan pakaian milik adiknya. Bagian yang menyebalkan adalah pria itu masih bisa tersenyum bahkan ketika ia dan Rai sibuk bekerja.

Ia mengalihkan pandangan dari Davian kepada masakan di wajan. “Majikan baru bangun nih,” sindirnya.

“Maaf, Ci,” kata Davian sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia berjalan mendekati Nadia. “Saya harus ngapain?”

Wanita itu menunjuk wastafel di sampingnya dengan dagu. “Cuci piring aja.”

Davian sedikit terperangah begitu melihat banyaknya cucian kotor sedang menunggu di sana. Di rumah, ia bahkan hampir tidak pernah mencuci piring bekas makannya sendiri.

“Kenapa bengong?” tegur Nadia.

“Oh, nggak. Saya terharu bisa dapat kerjaan lagi,” dalihnya.

Ragu-ragu, Davian mengambil sabut cuci piring, lalu mengusapnya pelan pada sebuah piring kotor. Ia melakukannya dengan hati-hati seakan takut piring itu pecah berkeping-keping kalau ia memberi sedikit tekanan.

“Kamu dulu di restoran kerjanya apa?” tanya Nadia.

Davian mengerjapkan mata, lalu melirik ke arah Rai. Ia harus jawab apa? Namun, Rai hanya manggut-manggut. Davian sama sekali tidak mendapat petunjuk dari bahasa tubuh Rai. “Ya, kayak gini, Ci. Cuci piring, nyapu, ngepel, banyak deh,” jawabnya takut-takut.

“Emang bos kamu nggak marah ya, kamu cuci piringnya begitu?”

“Kayaknya nyawa lo belum terkumpul deh, Dav. Masih ngantuk ‘kan lo?” Rai menyela dan berdiri di antara mereka, menyelamatkan nyawa Davian dari cicinya. “Sini, gue bantuin.” Ia lalu menoleh pada Nadia, “Kamu lanjut masak aja, Ci, ini biar jadi tugas kita. Pokoknya kamu tau beres deh.”

Lagi, Nadia mendengkus. Ia tahu Rai sengaja membela Davian. Padahal, memojokkan pria itu adalah satu-satunya yang ia ingin lakukan, agar Davian tidak betah tinggal di sana. Selain tidak nyaman harus serumah dengan orang asing, jujur saja situasi ini terasa kurang tepat. Davian itu seorang pria dewasa, harusnya bisa hidup mandiri, bukannya menumpang seperti sekarang.

Hearts IntertwinedWhere stories live. Discover now